Rabu, 20 Februari 2013

Kontroversi Kasus Indosat-IM2


Kontroversi Kasus Indosat-IM2
Rudi D Siregar Wakil Ketua Komite Tetap Advokasi Hukum Kadin
SUARA KARYA, 19 Februari 2013


Lagi-lagi, kemelut hukum yang memprihatinkan bagi kalangan bisnis dan investor kembali mencuat. Kali ini tentang dakwaan pidana korupsi oleh Kejagung terhadap Indosat-IM2 dengan tuduhan penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 ghz/3 G oleh IM2 yang merupakan anak perusahaan Indosat di mana beberapa mantan direkturnya menjadi terdakwa.

Dalam kasus Indosat-IM2, hingga kini Kejagung sebagai penyidik tetap bersikeras menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi (tipikor) oleh IM2 yang berakibat merugikan negara triliunan rupiah. Di lain pihak, banyak pakar hukum dan akademisi memberikan 
tanggapan bahwa kasus Indosat-IM2 bukan merupakan perbuatan pidana korupsi. 

Kalaupun terbukti Indosat-IM2 melakukan perbuatan melawan hukum atau pidana maka yang diterapkan adalah pasal 22 UU No.36 Tahun 1999, yaitu penyalahgunaan spektrum frekuensi, bukan diberlakukan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 dan 3, tentang tindak pidana korupsi. Karena, kasus penyalahgunaan frekuensi adalah Lex spesialis sehingga yang berlaku adalah ketentuan UU Telekomunikasi dan tidak seharusnya setiap perbuatan yang merugikan negara digeneralisir sebagai perbuatan pidana korupsi.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai regulator di sektor telekomunikasi pun telah mengeluarkan surat kepada pihak Kejagung yang isinya menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh IM2. Hal ini diperkuat oleh pernyataan mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil, yang disampaikan dalam acara diskusi Bedah Kasus IM2 dari Sisi Kelangsungan Industri Telekomunikasi (12 Desember 2012) yang digelar Telkomedia Forum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa Kejaksaan tidak bisa membedakan antara jaringan dan frekuensi.

Oleh karena itu, permasalahan ini harus segera diluruskan agar tidak terjadi salah tafsir secara terus-menerus. Kejaksaan menilai ada tindak pidana, karena IM2 dianggap menggunakan frekuensi Indosat tanpa izin pemerintah. Sementara pihak IM2 menegaskan tidak mungkin menggunakan frekuensi bersama karena tidak mungkin ada dua pengguna menggunakan satu frekuensi. IM2 juga bukan penyelenggara jaringan, karena tidak memiliki infrastruktur seperti BTS, dan lain-lain.

Selama ini IM2 hanya menyediakan layanan, seperti dongle internet, yang jaringannya milik Indosat Namun, yang menjadi dasar penuntutan Kejagung adalah sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan bahwa IM2 telah melakukan penyalahgunaan frekuensi sehingga merugikan negara Rp 1,3 triliun. Padahal, berdasarkan PP No.7/2009 dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang berhak melakukan penghitungan kerugian negara pada kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah BPK.

Oleh karenanya, kuasa hukum Indosat-IM2 mengajukan gugatan TUN terhadap Kejagung sehingga PTUN memenangkan gugatannya. Pertimbangan di atas dijadikan dasar oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menunda pelaksanaan proses sidang di Pengadilan Tipikor. Banyak kalangan menyambut positif putusan PTUN tersebut. Pasalnya, jika kasus ini dipidanakan, maka akan banyak industri berbasis internet, seperti Telkomsel dan XL akan terancam dipidana juga, apabila hasil audit BPKP digunakan sebagai alat bukti di persidangan Tipikor.

Dakwaan atau tuntutan hukum yang dianggap tidak adil dan tidak menjamin kepastian hukum tersebut bukan pertama kalinya hadir di tengah semangat pemberantasan korupsi yang terkesan kebablasan. Dengan demikian, kasus ini pun telah memunculkan opini di kalangan para pelaku bisnis khususnya investor asing yang menilai masih lemahnya kepastian hukum bagi pelaku usaha di Indonesia.

Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan menghambat dan menggangu masuknya investasi di negara ini karena pelaku bisnis akan takut untuk menanamkan modalnya karena tidak adanya kepastian hukum di Indonesia akibat para penegak hukum kurang kompeten dan kurang memahami dengan baik tentang permasalahan yang terkait dengan bisnis dan investasi yang sangat spesifik tersebut. Investor mana yang ingin mengeluarkan uangnya di negara yang tidak dapat menjamin keamanan investor atas regulasi yang berlaku saat berinvestasi? Hal ini tentu akan berdampak menurunkan daya saing Indonesia di masa mendatang. Kalangan pengusaha di Indonesia juga pernah mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap hal ini. Kadin dan Apindo terus berkeluh kesah atas nasib pengusaha yang kerap terjerat masalah hukum akibat tidak adanya kepastian hukum dalam iklim bisnis di Indonesia. Pengusaha asing pun pernah menyerukan hal serupa. Ibarat penyakit bisul yang tak kunjung sembuh di badan, mungkin tidak mematikan, namun sangat mengganggu dan membuat tubuh sangat tidak nyaman dalam beraktivitas.Ketidakpastian hukum juga acapkali membuat pengusaha menjadi sasaran empuk oknum birokrat dan penegak hukum yang tidak bertanggung jawab. Sehingga, menyebabkan biaya ekonomi tinggi dalam kegiatan bisnis di Indonesia dan dampaknya juga akan dibebankan kepada masyarakat berupa harga barang yang relatif mahal.

Hal ini tentunya bukanlah gambaran yang ingin dicitrakan oleh pemerintah dalam mencapai kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di masa depan. Apalagi, dengan adanya cetak biru rencana pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berambisi dapat memperkuat ekonomi Indonesia tahun 2025. Paling tidak, keputusan hukum PTUN boleh jadi akan memberikan angin segar bagi para pelaku bisnis bahwa masih ada peluang bagi pengusaha untuk mendapatkan rasa aman dalam berinvestasi di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar