Demokrasi memakan korban
anak-anaknya sendiri. Musibah yang menimpa Presiden Partai Keadilan
Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq bukanlah yang terakhir. Apabila KPK bekerja
jujur tanpa pandang bulu, masih ada beberapa ketua partai dan pembesar
negeri ini yang bisa ditangkap karena kejahatan korupsi.
Cukup terang bahwa demokrasi padat modal
adalah kuburan moral yang bisa membunuh cita-cita demokrasi. Apabila kita
ingin menyelamatkan demokrasi dengan melakukan pertobatan nasional seperti
yang dipekikkan presiden baru PKS, Anis Matta, harus ada perubahan
fundamental dalam modus
vivendi dan operandinya. Demokrasi tidak bisa dijalankan hanya dengan
mengikuti rutinitas prosedural tanpa memenuhi prasyarat, prinsip, dan
penyesuaiannya dalam konteks keindonesiaan.
Harus disadari, betapapun kita memilih
demokrasi sebagai takdir kebangsaan, pemerintahan demokratis sungguh sulit
kita jalankan. Pendiri bangsa memandang demokrasi sebagai pilihan yang tak
terelakkan. Baik pendukung republik maupun monarki sepakat bahwa kepala
negara Indonesia hendaklah dipilih oleh rakyat. Alasan utamanya, seperti
dikatakan Muhammad Yamin, ”negara Indonesia merdeka tidak bisa dihubungkan
begitu saja dengan tradisi monarki dahulu”, karena tak satu pun monarki
terdahulu yang diterima legitimasi kekuasaannya oleh rakyat di seluruh
Tanah Air.
Meski memilih pemerintahan demokratis,
para pendiri bangsa menyadari benar perlunya mengembangkan sistem sendiri,
mengingat ketidakcukupan prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan
demokrasi ala Amerika Serikat (AS). Demokrasi pada hakikatnya pemerintahan
dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara: kesetaraan dalam
pemilikan sumber daya politik dan distribusi kekuasaan. Ketika Republik
Amerika Serikat didirikan, kondisi rakyatnya memenuhi prasyarat kesetaraan,
kecuali orang-orang kulit hitam, Indian, dan perempuan yang pada mulanya
dikucilkan secara politik. Sebagai imigran dengan ”kaki telanjang”, rakyat
AS relatif setara dalam kekayaan, penghasilan, dan kedudukan sosial; juga
dalam derajat pengetahuan-pendidikan. Mereka juga memiliki kesetaraan dalam
melakukan kontrol atas pemerintah.
Prasyarat seperti itu tak hadir ketika
Republik Indonesia didirikan. Sebagai masyarakat pascakolonial yang
terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri
ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian,
membiarkan rakyat di sektor tradisional terus termarjinalkan. Hal ini
berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan—hingga kini pun sekitar 70
persen warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarki
tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas
legal dan kontrol warga atas pemerintah.
Dalam multidimensi ketidaksetaraan, watak
pemerintahan yang akan muncul, baik di bawah rezim otokratik maupun
demokratik, tetap saja akan bersifat oligarki. Bedanya, jika oligarki di
masa otoritarianisme bercorak militeristik, di masa demokrasi liberal
bercorak kapitalistik. Dengan kata lain, Indonesia belum bisa menjalankan
demokrasi substantif. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel
demokrasi.
Sementara pemerintahan berwatak oligarki,
kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada
kesetaraan, tetapi bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi
politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya
ketimpangan sosial, bisa memperkuat dominasi pemodal besar. Pertumbuhan
ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para
pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi.
Menyadari potensi destruktif demokrasi
liberal dalam konteks ketidaksetaraan rakyat Indonesia, para pendiri bangsa
berusaha merancang demokrasi ”sistem sendiri”. Disadari, untuk jangka
tertentu, watak demokrasi Indonesia masih akan bersifat oligarki. Desain
sistem harus mengupayakan agar oligarki yang muncul adalah oligarki benevolent
yang berhikmat kebijaksanaan, yang berempati pada penderitaan rakyat dengan
memperjuangkan keadilan sosial.
Mengantisipasi kemungkinan prinsip
keadilan liberal berbasis ”equal
liberty” bisa mengarah pada ketidaksetaraan yang lebih lebar, sistem
sendiri berusaha mengimbanginya dengan prinsip keadilan multikulturalisme
berbasis the
principle of difference, dengan melakukan pengakuan politik atas
kelompok-kelompok marjinal.
Arsitek demokrasi di era Reformasi
tampaknya melupakan imperatif prasyarat demokrasi; langsung mengadopsi
institusi demokrasi liberal yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi
sosio-historis Indonesia. Kegagalan paling nyata dari desain demokrasi
cangkokan ini adalah ketidakmampuan institusi demokrasi menciutkan
kesenjangan guna menghadirkan kesetaraan sebagai prasyarat demokrasi.
Dengan institusi demokrasi yang menggelembungkan
biaya kekuasaan, kekuatan modal mendikte demokrasi. Penguatan partai
politik identik dengan penguatan modal. Korupsi politik menjadi tak
terelakkan. Parpol secara tak sadar melakukan bunuh diri. Pertobatan
nasional mengharuskan kita segera keluar dari jalan sesat ini jika kita
sungguh-sungguh ingin berdemokrasi demi kebaikan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar