Kamis, 14 Februari 2013

Bisakah Redenominasi Sukses?


Bisakah Redenominasi Sukses?
Purbayu Budi Santosa   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
REPUBLIKA, 13 Februari 2013


Masyarakat kebanyakan masih bertanya-tanya soal perlunya redenominasi. Ingatan kebanyakan masyarakat masih terpaku pada dampak sanering yang dilakukan pada zaman Presiden Soekarno dengan pengaruh kepanikan yang cukup besar di masyarakat. Berdasarkan pengertian yang ada memang antara redenominasi dan sanering itu berbeda. Bank Indonesia paling tidak memberikan pembedaan dalam beberapa hal.

Pertama, redenominasi adalah penyederhanaan pecahan (denominasi)  mata uang menjadi pecahan yang lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang. Misal uang senilai Rp 1.000 menjadi Rp 1. Hal yang sama dilakukan pada harga barang-barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berkurang. Adapun sanering adalah pemotongan nilai uang, tanpa disertai pemotongan harga pada barang-barang, sehingga daya beli masyarakat mengalami penurunan. 

Contoh yang dapat dikemukakan dengan uang Rp 4,5 (penyederhanaan rupiah tiga digit) dapat membeli satu liter premium, karena harganya RP 4.500.
Jika pada sanering per seribu rupiah, maka dengan uang Rp 4,5 hanya dapat membeli premium 0,001 liter. Jadi, pada redenominasi jumlah barang yang dibeli tetap, sedangkan pada sanering mengalami penurunan.

Kedua, redenominasi dilakukan saat kondisi ekonomi makro yang baik, sedangkan sanering dilakukan karena inflasi yang sangat tinggi. Ketiga, tujuan redenominasi adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam bertransaksi, sedangkan sanering bertujuan untuk mengurangi jumlah uang beredar yang terlalu banyak karena masalah kenaikan harga- harga barang yang tidak terkendali (hyperinflation). 
Tujuan yang lebih penting lagi adalah perbaikan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing yang sudah demikian rendah. Dengan kata lain, tujuan dilakukan redenominasi adalah penyetaraan ekonomi Indonesia dengan negara lain dalam hal nilai tukarnya. 

Siapa pun yang pernah ke luar negeri, terlebih saat melakukan ibadah haji, dapat dibuat 
terhenyak bagaimana orang Arab akan menerima uang rupiah dengan omelan yang tidak mengenakkan. Jika terjadi transaksi pembelian suatu barang dan di bayar dengan rupiah, kebanyakan dari penjual mengeluh menerima rupiah begitu banyak akan tetapi nilainya rendah. 

Kalau langkah redenominasi berhasil maka diperkirakan akan terjadi perbaikan dalam nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Jika sekarang ini nilai tukar rupiah terhadap satu dolar AS sebesar Rp 9.680 maka dapat menjadi Rp 9,6 terhadap setiap dolar AS. Keadaan nilai tukar ini akan sebanding dengan nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dolar yang 3,05 ringgit, peso Filipina sebesar 41,92, bath Thailand sebesar 30,52, dan dolar Singapura yang 1,23 terhadap dolar AS. 

Memang, nilai pecahan mata uang Indonesia sekarang ini menempati urutan ketiga terbesar di dunia. Uang pecahan Rp 100 ribu hanya kalah dari dong Vietnam yang punya pecahan 500 ribu dan uang Zimbabwe dengan pecahan satu juta. Semakin besar pecahan mata uang, punya kemungkinan kemampuan daya beli (purchasing power) masyarakat yang menurun terhadap negara lain.

Perlu Sosialisasi

Tujuan yang baik dari redenominasi memang menimbulkan gejolak yang beragam. Yang mendukung langkah baik dari pemerintah tersebut cukup banyak, tetapi tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahaya yang muncul dari kebijakan redenominasi. Rizal Ramli dalam dengar pendapat umum dengan komisi XI DPR menyatakan, bahaya inflasi yang akan muncul karena kebijakan tersebut. Demikian juga kebijakan ini akan menguntungkan 0,5 persen penduduk Indonesia dan merugikan mayoritas khususnya pada tingkat akar rumput. Pemerintah hendaknya tidak menutup berbagai kritik yang muncul, akan tetapi hendaknya mengantisipasi dari kebijakan yang diambil.

Pembelajaran kepada negara lain yang berhasil dan gagal dengan kebijakan redenominasi perlu dilakukan. Menteri Keuangan RI mencontohkan bagaimana Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina berhasil dengan kebijakan redenominasinya. Keberhasilan disebabkan dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, parlemen, dan pelaku bisnis. Kedua, redenominasi dilakukan saat perekonomian stabil dan ketiga, perlu landasan hukum juga langkah sosialisasi yang tepat dan mendidik. 

Kegagalan di beberapa negara seperti Rusia, Brasil, Argentina, dan Zimbabwe perlu jadi pelajaran yang berharga. Tetapi, umumnya sebenarnya disebabkan kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat kebanyakan tidak menanggapi secara baik.
RUU tentang Redenominasi telah masuk dalam kajian DPR dan jika segera disetujui, maka pada 2014 bakal dimunculkan uang baru hasil redenominasi. Akibatnya pada 2014 akan muncul dua mata uang yang beredar. Hal ini juga perlu keberhati-hatian karena, pertama masyarakat mungkin akan bingung dengan dua mata uang tersebut, dan ini perlu penjelasan secara intens melalui media massa yang tersedia. 

Kedua, jumlah uang yang beredar akan bertambah, yang kalau tidak hati-hati akan memicu inflasi. Langkah untuk mengatasi kenaikan inflasi harus dilakukan, misalnya, dengan langkah mengurangi jumlah uang beredar atau produksi barang dan jasa diperbanyak. Kekhawatiran Rizal Ramli dapat diatasi di samping dengan langkah sosialisasi kepada kalangan masyarakat bawah yang hendaknya mendidik juga. 
Pemerintah dapat melakukan langkah lainnya yang prorakyat kebanyakan, misal, memberikan bantuan modal untuk rakyat kecil maupun kebijakan ekonomi kerakyatan lainnya. 

Rencananya kalau kebijakan redenominasi berjalan sesuai dengan harapan, maka pada 2017 mata uang lama akan hilang dari peredaran dan hanya ada mata uang yang baru hasil redenominasi. Tenaga dan biaya besar yang dilakukan untuk melakukan kebijakan redenominasi dapatlah berhasil apabila dilakukan dengan langkah sosialisasi yang mengenai sasaran. Semoga kebijakan ini dapat berhasil dan tidak sesulit menyebut nama kebijakan tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar