Mencla-mencle
Gaudensius
Suhardi : Redaksi
Media Group |
MEDIA INDONESIA, 13 Juli 2022
SEORANG teman
uring-uringan di kedai kopi. Dia mengaku kecewa atas kebijakan pejabat di
negeri ini yang ia sebut ibarat pagi kedelai, sore tempe. Ungkapan itu dimaksudkan
sebagai sindiran terhadap sikap inkonsistensi, plin-plan, mencla-mencle. Ia terus saja nyerocos. Kata dia, lidah para pemimpin di negeri
ini memang tidak bertulang. Kemudian ia melantunkan sepenggal lirik lagu
Tinggi Gunung Seribu Janji dari Bob Tutupoly: ‘memang lidah tak bertulang tak
berbekas kata-kata’. Saya mencoba menyimak jalan pikiran teman itu. Dalam hati, saya
membenarkannya sebab para pemimpin itu amat kampiun dalam hal bersilat lidah.
Dan, ciri paling menonjol dari para jago bicara ialah inkonsistensi. Kemudian saya menasihati temanku. “Apa yang engkau katakan 100%
benar, tapi belum 100% yang benar engkau katakan.” Bukankah Presiden Joko
Widodo, saat pidato dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021, sudah
mengakui kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan mencla-mencle? Presiden mengatakan tujuan dan arah kebijakan tetap dipegang
secara konsisten, tetapi strategi dan manajemen lapangan harus dinamis
menyesuaikan permasalahan dan tantangan. “Pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat, misalnya,
harus dilakukan paling lama setiap minggu dengan merujuk kepada data-data
terkini. Mungkin hal ini sering dibaca sebagai kebijakan yang berubah-ubah
atau sering dibaca sebagai kebijakan yang tidak konsisten,” kata Jokowi
menjelaskan kebijakan di masa pandemi covid-19. Elok nian bila para pejabat menjelaskan secara terbuka latar
belakang perubahan sebuah keputusan sehingga tidak disebut plin-plan. Itu
karena ucapan merupakan cermin pikiran dan pribadi seseorang. Ambil contoh kebijakan pemerintah pusat yang merevisi kenaikan
level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di Jakarta dari 2
ke 1 hanya dalam satu hari. Alasan revisi yang disampaikan Direktur Jenderal Bina
Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri Syafrizal ialah terkait angka
penularan dan kematian covid-19 yang melandai setelah sempat ada kenaikan.
Tetap saja penjelasan tersebut belum mampu menjawab persoalan perubahan
kebijakan hanya dalam waktu satu hari. Begitu juga menyangkut kebijakan pencabutan izin Pondok
Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, yang hanya berumur empat
hari. Saat membekukan izin pada 7 Juli 2022, Direktur Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Kemenag, Waryono, memastikan pihaknya sebagai regulator
memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di
dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat. Ketika mengumumkan pembatalan pencabutan izin operasian pondok
pesantren pada 12 Juli 2022, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pembatalan itu atas arahan dari
Presiden Joko Widodo. Masih ada kebijakan lain yang berumur pendek. Misalnya,
kebijakan larangan ekspor batu bara hanya berlaku selama 12 hari. Begitu juga
terkait kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO yang mampu bertahan
selama tiga pekan. Kebijakan berumur pendek bisa dilihat dari dua sisi. Pertama,
pemerintah terkesan tergesa-gesa mengambil kebijakan untuk mengatasi
persoalan yang amat mendesak. Kedua, setelah menyadari ada kekeliruan dalam
mengambil keputusan, pemerintah tidak malu-malu mencabut kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik tentu saja kebijakan yang terbuka untuk
dikoreksi jika terbukti ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Bukan soal
panjang pendek umur kebijakan, jauh lebih penting ialah kebijakan itu
bermanfaat untuk masyarakat. Meski demikian, elok nian bila dalam mengambil keputusan akal
mendahului tindakan sehingga tidak malu kemudian. Kiranya wejangan Felix A
Nigro dan Lloyd Nigro, keduanya ahli kebijakan publik, selalu menjadi
rujukan. Setidaknya ada dua dari tujuh kesalahan yang perlu dihindari
dalam proses pembuatan kebijakan. Pertama, cara berpikir yang sempit. Membuat
keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan
antisipasi ke masa depan seperti dalam kasus pembatalan pencabutan izin
pondok pesantren. Kedua, terlalu menyederhanakan sesuatu seperti dalam kasus
larangan ekspor batu bara dan minyak goreng. Keputusan diambil hanya
mempertimbangkan gejala-gejala di depan mata tanpa mencoba mempelajari secara
mendalam sebab-sebab timbulnya masalah tersebut. Teman saya masih saja uring-uringan. Saya meyakinkan dia bahwa
semua kebijakan yang diambil pemerintah pasti dilandasi niat baik. Akan
tetapi, jika terlalu sering gonta-ganti kebijakan dalam waktu singkat, yang
salah pasti pejabatnya, mencla-mencle. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2502-mencla-mencle |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar