Gelap Terang Shinzo
Abe (Bagian II) Sekar Kinasih : Jurnalis Tirto.id |
TIRTO.ID, 15 Juli 2022
Shinzo Abe,
Perdana Menteri Jepang paling lama yang meninggal karena ditembak pada 8 Juli
lalu, dikenal luas sebagai sosok konservatif sekaligus nasionalis garis
keras. Pandangan tersebut membuat rekam jejaknya memiliki banyak sisi kelam. Menormalisasi Sejarah Berdarah Salah satu
sisi kelam yang paling sering disorot ketika membicarakan Abe adalah bahwa ia
bagian dari kelompok sayap kanan terbesar di Jepang yang dibentuk pada 1997,
Nippon Kaigi. Nippon Kaigi bercita-cita mengembalikan kejayaan kekaisaran
yang penuh darah. Mereka juga bertekad menormalisasi militerisme sehingga
menormalisasi bahkan mengelak telah mencatatkan sejarah kelam. Ideologi
inilah dasar mengapa pada 2013 lalu Abe mengunjungi Kuil Yasukuni dan
mendoakan arwah tentara Jepang termasuk para penjahat perang (Abe mengulang
ritual ini tak lama setelah mundur sebagai perdana menteri pada 2020). Sikap ini
memicu kemarahan publik Cina dan Korea Selatan. Yasukuni dianggap simbol
agresi Tokyo selama Perang Dunia II. Ketika itu Jepang menduduki sebagian
besar Cina dan semenanjung Korea. Dikutip dari
The Economist, anggota Nippon Kaigi kerap bertindak keras terhadap pihak yang
berseberangan dengan mereka. Nippon Kaigi, misalnya, pernah mengajukan petisi
atau meneror lewat telepon penyelenggara pameran bertema kejahatan perang
Jepang di masa lalu. Nippon Kaigi
jugalah pihak yang berupaya menjadikan hari ulang tahun Hirohito, Kaisar
Jepang era perang, sebagai hari libur nasional. Organisasi ini
berupaya menjejalkan kepercayaan mereka kepada masyarakat sejak dini, yaitu
lewat institusi pendidikan. Mereka pernah mengumpulkan 3,6 juta tanda tangan
untuk meloloskan aturan hukum yang mengharuskan patriotisme diajarkan kepada
murid sekolah. Upaya ini
berbuah manis. Pada periode pertama administrasi Abe tahun 2006-2007,
pemerintah mengesahkan peraturan yang menjabarkan bahwa pendidikan bertujuan
mendorong murid agar “menjunjung tinggi tradisi bangsa dan budaya, serta
menumbuhkan sikap cinta kepada bangsa dan tanah air.” Pada 2013,
administrasi Abe mengadvokasikan pemakaian buku teks konservatif dengan
nilai-nilai patriotisme yang kuat meski itu ikut berperan melengserkannya
saat pertama berkuasa pada 2007 silam. Kala itu, administrasi Abe berusaha
menghapus kalimat tentang tentara Jepang yang memaksa warga sipil di Okinawa
untuk bunuh diri massal pada era perang. Upaya tersebut
membuahkan hasil pada 2017. Sebanyak 50 SMP dilaporkan menggunakan buku teks
sejarah yang tidak menyinggung ribu kematian dalam Pembantaian Nanking 1937
maupun 400 ribu perempuan yang dipaksa jadi budak seks tentara Jepang. Buku tersebut
juga mengindikasikan bahwa serangan pilot Jepang ke Pearl Harbour pada 1941
dapat dijustifikasi karena pemerintah AS lebih dulu menabuh genderang perang
dengan menerapkan embargo. Selain buku
teks, Kementerian Pendidikan juga mengizinkan diajarkannya lagi bela diri
yang akarnya dari pelatihan tentara pada dekade 1930-an, jūkendō, di tingkat
SMP. Abe juga
memberikan dukungan finansial kepada lembaga sayap kanan. Pada 2017, ia dan
istrinya, Akie, disinyalir memberikan donasi sampai satu juta yen (kira-kira
lebih dari 100 juta rupiah) untuk Moritomo Gakuen, lembaga pendidikan di
Osaka yang dibuat oleh kelompok sayap kanan. Moritomo Gakuen mengoperasikan
taman kanak-kanak dengan misi mengajarkan “patriotisme dan kebanggaan” lewat
sistem pendidikan yang terinspirasi era militeristik pra-Perang Dunia II. Ketika itu,
meski tak ada aturan yang dilanggar, Abe tetap dikritik karena dianggap
melakukan sesuatu yang tidak etis. Terungkap pula
bahwa Abe dan kepala sekolah tersebut, yang suka memberikan komentar-komentar
merendahkan tentang masyarakat Cina dan Korea, Yasunori Kagoike, sama-sama
anggota Nippon Kaigi. Nippon Kaigi
begitu penting bagi Abe sampai-sampai seorang peneliti, Tamotsu Sugano,
mengatakan ia tidak mungkin kembali ke pucuk pemerintahan pada pemilu 2012
tanpa dukungan dari organisasi ini. Sebanyak 289 dari 480 dewan di parlemen
Diet adalah anggotanya, dan sejumlah besar dari mereka berasal dari partai
penyokong Abe, LDP. 10 dari 19 anggota kabinet Abe juga anggota Nippon Kaigi,
sementara Abe menjabat sebagai “penasihat khusus”. Mengancam Kebebasan Pers Sisi kelam
lain adalah administrasi Abe berusaha memberangus media yang dianggap bias
atau kritis terhadap pemerintah. Salah satu
buktinya adalah pada 2013 lalu pemerintah meloloskan peraturan yang dapat
memenjarakan wartawan sampai lima tahun jika mereka mengulik informasi yang
termasuk kategori rahasia negara. Lalu, setahun kemudian, kawan dekat Abe,
pebisnis konservatif Katsuto Momii, diangkat jadi kepala NHK, jaringan berita
utama nasional. Momii menegaskan siarannya tidak boleh tidak mendukung
pemerintah. Harian liberal
berhaluan tengah-kiri yang sirkulasinya termasuk paling tinggi, Asahi
Shimbun, dimusuhi oleh administrasi Abe dan kalangan nasionalis sebab mereka
gencar melayangkan kritik. Salah satunya tentang keterbatasan keamanan dan
pemotongan anggaran di balik bencana Fukushima ketika pemerintah justru masih
gencar mengampanyekan pemanfaatan energi nuklir. Pada 2014,
Asahi merilis permohonan maaf karena pada dekade 1980-1990 pernah menerbitkan
reportase tentang budak seks era perang yang narasumbernya tidak kredibel.
Beberapa artikel ditarik. Akibatnya, kalangan konservatif jadi punya alasan
untuk menyudutkan media ini: menyebut riwayat tentang budak seks hanya bualan
belaka dan menyebarluaskan pandangan bahwa para perempuan di negeri jajahan
tidak dipaksa melainkan memang ingin melacurkan tubuhnya. Pemerintah
turut andil memanaskan suasana. Koichi Nakano, pakar politik dari Sophia
University di Tokyo, mengatakan pada Washington Post bahwa “pemerintah
berusaha—dan tindakan mereka menuai sukses di Jepang—untuk membuat kesan
bahwa isu tentang comfort women adalah fabrikasi dari Asahi.” Abe sendiri
menyebut reportase Asahi sudah menimbulkan “penderitaan banyak orang dan
mendiskreditkan posisi Jepang di mata komunitas internasional.” Kemudian, pada
2016, giliran Mendagri Sanae Takaichi yang bicara. Ia mengancam media massa
akan kehilangan hak siar jika menyampaikan berita politik secara tidak
berimbang. Tak berapa
lama, tiga penyiar yang dikenal berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam
tentang kebijakan pemerintah kehilangan pekerjaan. Kabarnya, sebelum
(terpaksa) pergi atau mengundurkan diri, bos-bos mereka sempat pergi makan
malam bersama Abe. Iklim penuh
intimidasi ini memicu sensor mandiri, yaitu ketika wartawan menyeleksi
sendiri konten-konten kritis demi menghindari persekusi dari penguasa. “Ancaman dari
pemerintahan Abe terhadap independensi media, pergantian staf media dalam
beberapa bulan terakhir dan bertambahnya sensor mandiri oleh outlet media terkemuka,
membahayakan fondasi demokrasi di Jepang,” demikian simpulan laporan
Reporters Without Borders pada 2016. Atas semua
ini, tidak heran jika indeks kebebasan media di Jepang merosot. Indeks
kebebasan pers tahun itu menempatkan Jepang di peringkat ke-72 dari 180
negara—turun drastis dari peringkat ke-11 pada 2010. Ambisi Merevisi Konstitusi Ambisi
terbesar yang mencerminkan ideologi Abe tidak lain adalah merevisi konstitusi
pasifis. Pasal 9 melarang Jepang memiliki militer yang ofensif. Tujuannya agar
mereka tak lagi menjadi negara imperialis. Aturan ini dibuat setelah Jepang
kalah Perang Dunia II dan ketika sedang diduduki Sekutu yang dipimpin AS. Keinginan ini
telah Abe upayakan terus-menerus, tapi tidak pernah kesampaian sampai masa
baktinya selesai. Hasil paling
pol tercatat pada 2014, yaitu diadopsinya resolusi tentang interpretasi ulang
pasal 9. Penafsiran baru ini memungkinkan pasukan bela diri dikirim ke luar
negeri untuk melindungi rakyat Jepang yang terancam konflik, membantu divisi
persenjataan di militer AS ketika sedang melindungi Jepang, atau menyokong
militer asing di zona nontempur. Setahun
kemudian, ketika Abe mencoba mengajukan RUU ke parlemen agar pasukan Jepang
diizinkan membela negara lain yang diserang musuh, ia disambut dengan
gelombang protes. Jumlahnya sampai 120 ribu demonstran, terbesar kedua sejak
protes antinuklir pada 2011. Suara publik
tentang wacana revisi konstitusi pun terpecah belah. Sampai Mei 2020, survei
oleh media sayap kiri maupun kanan menunjukkan suara pro dan kontra
masing-masing berkisar di angka 40-an persen. Selain itu, revisi juga
dipandang sulit dicapai karena partai penyokong Abe, LDP, sangat bergantung
pada mitra junior Komeito, partai yang mayoritas basis pendukungnya adalah
pasifis. Pada waktu
sama, Abe berusaha memperkuat posisi militer Jepang dan teknologi
pertahanannya, dari mulai membuka keran ekspor senjata sampai menghapus batas
anggaran belanja militer yang sebelumnya maksimal hanya satu persen dari PDB.
Tujuannya, menurut Abe, tak lain untuk “melindungi bangsa kita, melindungi
nyawa rakyat Jepang dengan efisien, dengan mempertimbangkan situasi keamanan
di Asia-Pasifik termasuk situasi keuangan.” Advokasi Abe
berbuah manis. Setelah Abe mundur, elite partai LDP terus mengupayakan agar
Jepang ikut memenuhi target NATO (meskipun bukan anggota), yakni dua persen
anggaran militer dari PDB atau kira-kira sampai 10 triliun yen. Seiring itu,
anggaran militer menunjukkan tren naik sejak era Abe, sampai akhirnya
mencapai rekor tertinggi 5,4 triliun yen untuk tahun anggaran 2022. Keseriusan
administrasi Abe dan penerusnya di sektor pertahanan juga tercermin dari
konsistensi pasukan Jepang selama satu dekade terakhir bergabung dalam
pelatihan angkatan laut terbesar di dunia: Rim of the Pacific Exercise (RIMPAC).
Program ini dinakhodai oleh militer AS dan berlangsung setiap dua tahun. Ironisnya,
partisipasi pasukan marinir Jepang atau Maritime Self-Defense Force (MSDF) di
RIMPAC tahun ini berlangsung persis pada hari Abe tewas ditembak oleh
seseorang yang kebetulan pernah jadi bagian dari MSDF. ● |
Sumber
: https://tirto.id/gelap-terang-shinzo-abe-bagian-ii-gt2F
Tidak ada komentar:
Posting Komentar