Bagaimana Thailand
Melegalkan Ganja Budiarti Utami Putri : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
WANGI kembang ganja
menguar hampir di sepanjang Khao San Road, pusat Kota Bangkok, Senin malam,
11 Juli lalu. Kawasan hiburan sejarak setengah kilometer itu berubah menjadi
pasar mariyuana sejak legalisasi ganja diberlakukan oleh pemerintah Thailand
pada 9 Juni lalu. Tak ada polisi yang melotot atau berancang-ancang memborgol
pembeli ganja di jalan yang riuh oleh jedak-jeduk musik itu. Bahkan penduduk Bangkok
yang tak memiliki toko ikut berjualan kanabis di atas meja kayu. Berbeda
dengan toko-toko yang menyimpan stok ganja di dalam stoples, mereka
menyediakan mariyuana yang sudah digulung. Harganya 70-200 baht atau Rp 30-90
ribu per linting. Jarak satu penjual dengan pedagang lain ada yang tak sampai
sepelemparan sandal. Beberapa di antaranya melambaikan tangan ke arah
sejumlah turis sebagai ajakan mampir. Arena ganja di Khao San
Road lebih ramai ketimbang kota seperti Amsterdam, Belanda, yang lebih dulu
melegalkan ganja tapi hanya di tempat yang telah berizin. Di satu ruas
terparkir foodtruck yang menjual berbagai jenis kembang ganja lengkap dengan
alat linting dan kertasnya. “Saya biasanya menyarankan orang untuk tidak
merokok secara terbuka,” kata pegawai foodtruck N’Louis Happy Buds itu. Dua kali menyambangi Khao
San, saya tak mendapati orang nyimeng atau mencium bau asap mariyuana di
sepanjang jalan. Pemerintah Thailand melarang bakar-bakar ganja di area
publik. Pembeli ganja juga harus berusia 20 tahun ke atas. Para pegawai toko
kerap meminta identitas pengunjung. Suasana serupa terlihat di
Jalan Lat Phrao, Kota Bangkok. Di Highland Cafe, yang memajang gambar ganja
di sebuah plang berlampu, budtender—sebutan bagi pegawai di toko ganja—sibuk
menjelaskan berbagai jenis bunga ganja kepada calon pembeli. Tapi, di balkon
lantai dua Highland, dua turis berkebangsaan Inggris terlihat santai menyesap
selinting ganja bergiliran. Jimmy dan Azza Sanderson
nama mereka. Kakak-adik itu mengaku sudah dua jam duduk di sana dan
menghabiskan empat linting ganja. Mereka membeli kembang kanabis jenis Dutch
Kush dari galur indica. Di layar keterangan Highland Cafe, varian itu
memiliki rasa peach dan apricot serta menimbulkan efek lapar dan mengantuk.
Satu gramnya dibanderol 400 baht atau sekitar Rp 178 ribu. Kendati ada marka dilarang
merokok ganja di kafe itu, Azza mengaku tak ditegur oleh anggota staf kafe.
Pegawai yang datang bahkan menanyakan rasa dan kualitas ganja yang mereka
isap. “Kami cuma pengen chill dan rileks,” ucap Azza. Kami sempat berbincang
soal kenikmatan ganja. Jimmy tercengang ketika mendengar cerita bahwa di
Indonesia pengisap ganja bisa dipenjara bertahun-tahun. Legalisasi ganja di
Thailand juga terlihat di pelbagai produk makanan dan minuman, seperti kue
kering, brownie, dan teh. Ketika berjalan-jalan di Pasar Akhir Pekan
Chatuchak, Bangkok, pada Sabtu, 9 Juli lalu, saya menjajal teh yang berasal
dari daun ganja di Green Cup Cafe. Harganya 89 baht atau sekitar Rp 40 ribu,
lebih mahal ketimbang es latte yang dijual 50 baht. Pemilik Green Cup Cafe,
Aod, 48 tahun, mengatakan cannabis tea jualannya berasal dari daun ganja yang
mengandung cannabidiol (CBD), senyawa ganja yang tidak memabukkan. “Ini bagus
untuk kesehatan,” kata Aod berpromosi. Ia benar. Tak ada rasa pusing setelah
saya minum teh ganja. Berjalan pun saya tetap lurus tanpa doyong. Hanya,
perasaan saat itu sedikit lebih tenang. ••• THAILAND menjadi negara
pertama di Asia yang melegalkan ganja untuk kebutuhan medis dan rekreasi. Di
Indonesia, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan draf yang melegalkan riset
ganja medis, masih teramat jauh untuk konsumsi ganja secara bebas. Hingga
kini draf tersebut masih teronggok di Istana Presiden. Perjalanan pemerintah
Thailand melegalkan ganja dan tanaman rami dimulai hampir empat tahun lalu.
Pada Desember 2018, pemerintah Thailand sudah menyetujui penggunaan ganja
untuk tujuan medis dan penelitian. Sosok yang paling berperan
di balik legalisasi ganja penuh di Negeri Gajah Putih adalah Wakil Perdana
Menteri sekaligus Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand, Anutin Charnvirakul.
Ia juga menjabat Ketua Umum Partai Bhumjaithai, yang kini bergabung dalam
koalisi pemenang, Phalang Pracharat, yang dibekingi junta militer. Kepada Tempo pada Rabu, 13
Juli lalu, Anutin Charnvirakul mengatakan ganja sangat bermanfaat untuk
rakyat negaranya. Terutama untuk mengatasi persoalan kesehatan. “Kami percaya
ganja bisa dipakai untuk pasien dengan berbagai penyakit,” ucap Anutin
melalui telekonferensi video. Toh, Anutin juga
terang-terangan mengakui legalisasi ganja membantu partainya mendulang suara
dalam pemilihan umum yang digelar pada Maret 2019. Partai Bhumjaithai
menjadikan legalisasi kanabis sebagai bahan kampanye politik. “Kebijakan ini
tidak ujug-ujug,” kata Anutin. Anutin bercerita, tim
strategi Partai Bhumjaithai mengkaji kebijakan terbaik yang bisa disodorkan
kepada calon pemilih. Setelah mempelajari pelbagai jurnal kesehatan dan
mengumpulkan informasi dari pakar pengobatan tradisional Thailand, mereka
menyimpulkan ganja bisa bermanfaat secara medis dan ekonomi. “Tanaman ganja
bisa meningkatkan perekonomian dan mengerek citra Thailand sebagai pusat
ganja medis untuk Asia dan dunia,” tutur Anutin. Ia mengklaim kampanye
legalisasi ganja menyentuh hati banyak orang sehingga partainya mendapat
suara berlipat. Sebelas tahun lalu, Bhumjaithai hanya mendapat 1,2 juta suara
dan menempatkan 34 dari 500 kursi parlemen. Pada Pemilu 2019, partai itu
memperoleh 3,7 juta suara atau 10,5 persen dari total pemilih dan menempati
posisi kelima. Jumlahnya kursinya meroket jadi 51 kursi, dan bertambah
menjadi 61 karena anggota parlemen dari partai lain pindah ke Bhumjaithai. Terpilih menjadi Menteri
Kesehatan sejak 2019, Anutin mengatakan sudah menjadi tugasnya untuk menepati
janji melegalkan ganja. Ia menggandeng sejumlah ahli untuk menggodok
kebijakan itu. Termasuk di antaranya pebisnis Julpas Kruesopon dan Parnthep
Pourpongpan, Ketua Dekan Institute of Integrated Medicine and Anti-aging
Medicine, Rangsit University. “Kami sangat bergantung
pada orang-orang seperti Tom—sapaan Julpas—dan dokter Parnthep,” kata Anutin.
Namun ada juga pakar lain yang tak bisa ia sebut namanya. Anutin mengklaim
Kementerian Kesehatan mengumpulkan berbagai rekomendasi dan informasi dari
banyak orang serta institusi ternama. Kedekatan Anutin dan Tom
terlihat saat keduanya menjadi narasumber dalam diskusi forum jurnalis asing
Thailand yang membahas masa depan ganja pada Rabu, 6 Juli lalu. Sebelum
menjawab pertanyaan seorang wartawan, Anutin dibisiki oleh Tom yang duduk di
sebelahnya. Sedangkan Parnthep menjadi juru bicara Komisi Legislasi yang
membahas Rancangan Undang-Undang Ganja dan Tanaman Rami (Cannabis and Hemp
Act) di parlemen Thailand. Menurut Julpas “Tom”
Kruesopon, diskusinya dengan Anutin ihwal legalisasi ganja dimulai sekitar
empat tahun lalu. Ia menanyakan alasan Anutin ingin melegalkan ganja di
Thailand. “Dia bilang semua riset menunjukkan ganja lebih banyak membantu
daripada menyakiti orang-orang,” tutur Tom. Terlepas dari kampanye
politik Anutin, legalisasi ganja di Thailand juga sudah lama disuarakan
sejumlah aktivis. Rattapon Sanrak, misalnya, mendirikan komunitas Highland
yang bertujuan mengkampanyekan legalisasi ganja pada 2013. Laki-laki 34 tahun
ini bercerita, ia menginisiasi Highland setelah ibunya meninggal karena
kanker, menyusul kakek, nenek, dan ayahnya yang meninggal akibat penyakit
yang sama. Rattapon yang merasakan
manfaat ganja tatkala kuliah di Amerika Serikat gagal membujuk mamanya
menggunakan ganja untuk mengurangi rasa sakit. “Itu karena sekian lama kami
diajari bahwa ganja adalah narkotik dan berbahaya,” Rattapon berkisah kepada
Tempo pada Kamis, 7 Juli lalu. “Ibu saya meninggal dengan kondisi kesakitan.” Di Amerika Serikat,
Rattapon rutin mengkonsumsi ganja sebagai remedi atas migrain yang kerap
mengganggu aktivitasnya. Manjurnya ganja membuat dia mencari informasi lebih
dalam. Ia lantas mendapat kabar pemakaian ganja oleh komunitas pasien kanker
di Negeri Abang Sam. “Ganja tidak menyembuhkan, tapi mengurangi rasa sakit
dan meningkatkan kualitas hidup mereka,” katanya. Mengkampanyekan manfaat
ganja untuk kesehatan, Rattapon juga memberikan masukan kepada pemerintah.
Pada 2017, ia diundang menghadiri rapat komite pemerintah untuk reformasi
Undang-Undang Narkotik. Ketika itu, pemerintah Thailand menyadari kegagalan
perang melawan narkotik, psikotropika, dan obat terlarang atau war on drugs. Merujuk pada data Federasi
Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) yang dirilis tahun ini, jumlah
narapidana di Thailand mencapai 282 ribu per Desember 2021. Sebanyak 81
persen di antaranya diterungku karena kasus narkoba, termasuk kepemilikan
ganja dalam jumlah kecil. Mirip dengan di Indonesia. Rattapon mengatakan saat
itu ia mengusulkan agar ganja dikeluarkan dari daftar narkotik. Baru pada
Desember tahun lalu revisi Undang-Undang Narkotik disahkan. Salah satu
perubahannya, orang yang tertangkap menggunakan ganja dikirim ke rehabilitasi
dulu alih-alih langsung masuk penjara. Jika lolos rehabilitasi, mereka
dibebaskan dan tak memiliki catatan kejahatan. “Tidak seratus persen
berubah, tapi setidaknya orang tidak dikirim ke penjara karena alasan yang
stupid,” ujar Rattapon. Pada Januari 2022, Badan Pengendali
Narkotik Thailand menyetujui usul Menteri Anutin Charnvirakul untuk
mengeluarkan ganja dan tanaman rami dari daftar narkotik kategori 5.
Berselang satu bulan kemudian, tepatnya pada 9 Februari, Kementerian
Kesehatan mengumumkan legalisasi ganja untuk ditanam dan dikonsumsi dalam
makanan serta minuman. Aturan inilah yang berlaku mulai 9 Juni lalu. Anutin sebenarnya
menjanjikan undang-undang baru untuk menaungi kebijakan itu telah siap
diterbitkan seiring dengan dikeluarkannya ganja dari daftar narkotik. Partai
Bhumjaithai yang ia pimpin mengusulkan Rancangan Undang-Undang Ganja dan
Tanaman Rami ke parlemen. Namun rencana itu tertunda dalam proses politik di
parlemen. Anutin mengklaim draf tersebut rampung pada Agustus atau September
mendatang. Seorang pejabat di
Kementerian Kesehatan mengatakan tarik-menarik kepentingan politik membuat
pembahasan aturan itu tertahan. Sejumlah partai ingin membebaskan penggunaan
ganja untuk rekreasi. Namun draf yang disodorkan Partai Bhumjaithai justru
tak menyinggung penggunaan ganja untuk senang-senang. Satu dokter yang
mengetahui perkembangan pembahasan itu bercerita, ada partai yang berusaha
menunda pembahasan. Sebabnya, mereka khawatir pemilihnya bakal beralih ke
Partai Bhumjaithai, yang menginisiasi RUU Ganja. Walhasil, mereka ingin ganja
tetap ilegal tapi tak berani menentang secara blakblakan. Ditanyai ihwal
tarik-menarik politik ini, Menteri Anutin mengatakan pembahasan RUU Ganja
sudah di luar kewenangannya. Kementerian Kesehatan hanya bisa menyuplai
informasi yang diperlukan oleh Komisi Legislasi di parlemen yang sedang
memfinalkan substansi RUU Ganja. “Kami harus menunggu,” ucapnya. Belum adanya payung hukum
itu menuai kekhawatiran sejumlah pihak. Pegiat legalisasi ganja, Chokwan
Chopaka, mengatakan ketiadaan aturan memicu munculnya pemain-pemain nakal
yang cuma mengincar keuntungan. Misalnya menjual bunga ganja berkualitas
rendah atau tidak membeli ganja dari petani dengan harga layak. “Mereka akan
mengganggu kami yang ingin berbisnis ganja dalam jangka panjang,” kata
Chokwan, yang membuka toko ganja di Bangkok. Gubernur Bangkok Chadchart
Sittipunt—maju dari jalur independen—sempat melontarkan kekhawatiran soal
penjualan produk yang mengandung ganja di sekolah-sekolah. Ia menerima
laporan empat orang masuk rumah sakit karena overdosis ganja. Dua di
antaranya pelajar berusia di bawah 20 tahun. Sedangkan seorang pasien
laki-laki berusia 51 tahun meninggal kemudian. Anutin membantah jika
kematian itu disebut terjadi lantaran overdosis mariyuana. Ia mengklaim
investigasi lanjutan menunjukkan adanya penyebab kematian lain. Mengisi
ketiadaan undang-undang saat ini, Anutin meneken peraturan yang menetapkan
ganja sebagai tanaman yang dikontrol. Ekstrak bunga ganja dengan kadar
tetrahydrocannabinol (THC) lebih dari 0,2 persen tetap dinyatakan sebagai
narkotik. Ia pun mewajibkan segala
produk ganja terdaftar dan mendapat sertifikat badan pengawas obat dan
makanan. Penjual juga dilarang meladeni orang-orang berusia di bawah 20
tahun. Begitu pula merokok di publik tak diperbolehkan. Pendiri dan Direktur
Golden Triangle Group, perusahaan industri ganja terkemuka di Thailand, Kris
Thirakaosal, optimistis Rancangan Undang-Undang Ganja bisa segera disahkan
dan berlaku akhir tahun ini. Bos perusahaan yang berbasis di Provinsi Chiang
Rai ini terlibat memberi masukan dalam penyusunan dan pembahasan aturan itu.
“Aturan ganja ini dibahas di jalur ekspres,” tutur Kris kepada Tempo pada
Selasa, 12 Juli lalu. ••• KENDATI ganja medis baru
dilegalkan pada 2019, tanaman cannabis bukan barang anyar bagi orang-orang
Thailand. Sejumlah narasumber dari berbagai kalangan usia yang ditemui Tempo
menganggap tanaman ini ampuh untuk mengatasi sulit tidur atau insomnia.
Faktor historis para pendahulu Thailand turut mempengaruhi anggapan ini. Rattapon Sanrak, pendiri
komunitas Highland yang mengkampanyekan legalisasi ganja, mengatakan catatan
sejarah menunjukkan kanabis dipakai untuk kesehatan sejak zaman Raja Narai di
abad ke-16. “Resep pengobatan tradisional Thailand banyak melibatkan ganja.
Leluhur kami juga pakai di masakan meskipun itu ilegal,” ucap Rattapon. Sebelum pemerintah
melegalkan ganja, sebagian penduduk Thailand sudah menanam dan
mengkonsumsinya demi alasan kebugaran. Rei Nitchaken, 24 tahun, mengatakan
keluarganya menanam ganja di rumah mereka di Provinsi Chiang Mai sejak
beberapa tahun lalu. Menurut dia, banyak penduduk Thailand lain juga sudah
menanam ganja sebelum dilegalkan. Mahasiswa perfilman ini
bercerita, ia dan keluarga hanya memakai ganja untuk dicampur dengan masakan,
minuman, atau penganan. Khasiatnya membuat rileks dan membantu tidur. Rei
mengaku dia dan keluarganya tak gemar merokok ganja. “It’s not everyone’s cup
of tea,” ujarnya. Daycha Siripatra, praktisi
pengobatan tradisional, mengaku sudah memakai ganja selama 10 tahun untuk
menjaga kesehatan. Pria 75 tahun ini bercerita, ia mengetahui manfaat ganja
justru dari para biksu yang ditemuinya. Sempat tak percaya, Daycha
lantas mengujinya ke diri sendiri. Daycha mengklaim ganja menyembuhkan gejala
parkinson yang ia alami sekitar satu dekade silam. Setelah itu, dia mulai
membagi-bagikan formula ganja ramuannya kepada pasien kanker secara gratis. Namun, pada 3 April 2019,
ia berurusan dengan polisi dan Badan Pengendali Narkotik Thailand. Penegak
hukum menggeledah kantor Yayasan Khao Kwan yang ia dirikan di Provinsi Suphan
Buri, menyita 200 tanaman dan minyak hasil ekstraksi tanaman ganja. Kala itu pemerintah
Thailand sebenarnya sudah melegalkan ganja medis, tapi masih melarang
kepemilikan ganja. Alasan lain yang disebutkan aparat ialah Daycha bukanlah
dokter. Namun dia urung dihukum lantaran protes membanjiri pemerintah. Ia
malah dinobatkan sebagai dokter pengobatan tradisional. Daycha mengatakan formula
ganja ramuannya berbeda dengan ekstrak CBD atau THC yang banyak dikembangkan
negara Barat. Sebaliknya, ia memakai semua bagian dari tanaman tersebut.
Ramuan ini diklaimnya lebih murah dan manjur. Departemen Pengobatan
Tradisional dan Alternatif Thailand (DTAM) milik pemerintah juga memakai
formula Daycha. Tempo menemukan produk
formula Daycha itu saat mampir di stan milik DTAM di Herbal Expo yang digelar
di Muang Thong Thani, Provinsi Nonthaburi, pada Rabu, 6 Juli lalu. Pengunjung
yang mampir di departemen milik Kementerian Kesehatan itu disediakan
konsultasi dan minyak ganja secara gratis. Salah satu pengunjung yang
enggan menyebutkan namanya bercerita, ia datang karena sulit tidur. Perempuan
79 tahun itu mengaku pernah menjajal kemanjuran minyak ganja ramuan Daycha. Klinik Bangkok Integrative
Medicine di kawasan Silom, Bangkok, yang melayani pengobatan ganja, juga
memakai formula tersebut setelah legalisasi ganja medis. “Harganya 300 baht
(sekitar Rp 133 ribu),” kata Natramada Sitthiraat, resepsionis di Bangkok
Integrative Medicine, kepada Tempo pada Rabu, 13 Juli lalu. “Saya pakai untuk
insomnia dan manjur.” ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166444/bagaimana-thailand-melegalkan-ganja |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar