Kamis, 10 Juni 2021

 

Pajak Karbon, Beban atau Dividen untuk Negara?

Lury Sofyan ;  Alumnus Doctoral Program in Behavioural Economics, University of Nottingham, UK; Koordinator Indonesia Behavioural Economics Forum

KOMPAS, 09 Juni 2021

 

 

                                                           

Konferensi Perubahan Iklim atau Climate Change Conference of the Parties (COP26) akan diselenggarakan pada November 2021. Glasgow, Inggris, akan menjadi tuan rumah tahun ini. Salah satu isu krusial yang akan dibahas adalah penanganan emisi karbon. Isu ini mengemuka di Indonesia seiring persiapan konferensi tersebut.

 

Pajak karbon masuk dalam rancangan perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun ini. Namun, sejak satu dekade lalu pajak karbon sudah menjadi isu hangat di berbagai negara berkembang.

 

Sejak 2009, Indonesia menerbitkan pedoman kebijakan ekonomi dan fiskal berkelanjutan yang tercantum dalam Green Paper Ministry of Finance. Dalam dokumen tersebut, Pajak karbon menjadi poin penting sebagai alat untuk mendorong pelaku usaha agar beralih ke energi terbarukan.

 

Hal ini dipicu oleh fakta sejak 2009 total emisi negara berkembang mencapai 53,3 persen, atau melampaui negara maju yang sebesar 46,6 persen (EDGAR, 2009). Selain itu, pertumbuhan populasi juga menjadi faktor pendorong peningkatan emisi di negara berkembang. Terlebih, populasi penduduk negara berkembang sudah mencapai 75 persen penduduk dunia (Todaro et al., 1995).

 

Selain pajak karbon, pendekatan cap-and-trade juga digunakan untuk mengurangi emisi karbon. Dalam cap-and–trade, terlebih dahulu ditentukan batas atas (cap) jumlah emisi karbon yang diperbolehkan. Setelah itu, jumlah tersebut akan dilelang ke pasar dan pemenang akan mendapatkan sejenis ”hak” untuk mengeluarkan karbon. Cap-and–trade memerlukan pengaturan yang lebih kompleks dan diperlukan kelembagaan baru untuk menerapkannya.

 

Dibanding cap-and-trade, pajak karbon lebih mudah untuk diadopsi karena lebih sederhana dan pengelolaannya dapat dilekatkan pada institusi perpajakan yang sudah ada. Pajak karbon dikenakan berdasarkan jumlah karbon yang dikeluarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pajak karbon pada industri hulu energi berdasarkan jumlah rata-rata karbon per ton yang terdapat pada setiap energi tersebut.

 

Namun, seperti halnya kebijakan perpajakan lain, sangat sulit mengenalkan jenis pajak baru kepada para pelaku ekonomi. Sebab, pajak tidak hanya berkaitan dengan kepentingan bisnis, tetapi juga ranah politik. Tak heran jika konsep pajak karbon yang dahulu telah diinisiasi hilang dalam dalam perjalanan.

 

Dividen pajak karbon

 

Berefleksi atas kondisi di atas, penting untuk menjadi diskursus bersama adalah memahami lebih jauh manfaat pajak karbon bagi bangsa dan negara Indonesia secara utuh agar persepsi kita tidak bias dan salah kaprah.

 

Sejatinya, keengganan mengadopsi pajak karbon karena kepentingan segelintir pihak atau kepentingan sesaat saja melupakan generasi masa depan tidak menggentarkan ikhtiar baik untuk mendulang dividen dari pajak karbon.

 

Setidaknya, ada tiga dividen yang dapat diperoleh melalui pajak karbon.  Pertama, memberikan sinyal yang tepat kepada pelaku ekonomi untuk beralih ke energi terbarukan. Dengan meningkatnya harga barang berkadar karbon tinggi (carbon intensive goods), pelaku pasar akan mendapatkan insentif untuk mencari produk alternatif sehingga menggerakkan inovasi produk-produk ramah lingkungan. Ini sangat penting jika Indonesia ingin memiliki industri domestik dan budaya konsumsi yang siap bersaing dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di belahan dunia lain yang mengarah pada energi terbarukan.

 

Kedua, pajak karbon dapat mengurangi kesenjangan ekonomi. Studi yang dilakukan Azis dan Resosudarmo (2007) menggarisbawahi hal ini. Studi dengan metode berbeda oleh Sofyan (2011) juga menemukan hal yang sama bahwa pola pengeluaran (expenditure pattern) di Indonesia menjadi faktor pembedanya. Di Indonesia, konsumsi energi memiliki hubungan linier dengan pendapatan— semakin kaya seseorang, semakin besar konsumsi energinya.

 

Efek progresivitas ini dapat mempersempit kesenjangan ekonomi. Sebagai contoh, simulasi oleh Sofyan (2011) menemukan bahwa pajak karbon sebesar Rp 280.000 per tCO2 berpotensi mengurangi indeks kesenjangan ekonomi 1,6 basis poin.

 

Efek ini bahkan berpotensi menjadi lebih besar ketika pendapatan dari pajak karbon dikembalikan ke ekonomi (revenue cycling). Pajak karbon dapat memberikan tambahan penerimaan negara dan ini menjadi dividen ketiga yang sangat menguntungkan.

 

Penerimaan negara dari pajak karbon memang bukan menjadi tujuan utama, tetapi memiliki dana ekstra seperti itu akan sangat membantu mengatasi ekses marginal yang disebabkan oleh pajak karbon seperti kenaikan harga BBM dan barang atau jasa lainnya. Antisipasi terutama diperlukan untuk kalangan berpendapatan rendah ketika ada kejutan inflasi yang memberatkan rakyat kecil.

 

Antisipasi dampak lain

 

Walaupun risiko di atas dapat muncul dalam jangka pendek, pada jangka menengah-panjang, jalur pertumbuhan ekonomi dapat kembali normal bahkan lebih sehat karena didorong oleh industri produk ramah lingkungan.

 

Dengan insentif yang berikan oleh pajak karbon kepada produk berkarbon rendah, industri produk ramah lingkungan ini menjadi berkembang, budaya konsumsi baru pun tumbuh menggerakkan roda ekonomi di keseimbangan baru. Seperti halnya yang terjadi di Swedia, pajak karbon berhasil mengurangi 26 persen emisi karbonnya dalam waktu 27 tahun, dalam waktu itu, perekonomian tumbuh 78 persen (thebalance.com).

 

Belajar dari kesalahan masa lalu, kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja tanpa menghiraukan lingkungan akan berbahaya dalam jangka panjang. Pajak karbon berpotensi memadukan dua kepentingan yang sering bertolak belakang ini, yaitu pertumbuhan (growth) dan keberlangsungan (sustainability).

 

Sementara pajak karbon berpotensi memberikan dividen yang berharga bagi keberlanjutan dan kebersaingan sistem perekonomian kita, ada isu perubahan iklim lain yang belum tersentuh dan butuh perhatian ekstra. Pajak karbon berpotensi mengurangi emisi karbon yang bersumber dari kegiatan manusia seperti proses industri, transportasi dan kegiatan lain yang berhubungan dengan penggunaan tenaga fosil.

 

Namun, emisi karbon yang bersumber dari pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan lain (forestry and other land use/FOLU) yang merupakan porsi terbesar dari emisi karbon di Indonesia perlu juga menjadi perhatian. Kebijakan pajak karbon harus juga diselaraskan dengan upaya pengurangan emisi karbon dari sumber tersebut.

 

Tidak kalah penting, upaya mikro untuk menyasar sisi permintaan (demand side) melalui perubahan perilaku (behavioural change) juga harus dilakukan. Pendekatan ini menyasar agar perilaku konsumsi masyarakat lebih bertanggung jawab. Guna mencapai target emisi karbon yang diharapkan, perlu orkestasi yang baik antara instrumen pajak karbon dan instrumen lainnya. ●

 

2 komentar:

  1. Terimakasih Sharingnya, sangat bermanfaat

    mungkin link berikut bisa menjadi tambahan referensi untuk pembahasan selanjutnya

    https://www.krishandsoftware.com/blog/1022/penerapan-pajak-karbon-di-indonesia/

    BalasHapus
  2. Dalam artikel pajak karbon sebelumnya sudah kita bahas pengertian dan gambaran umum mengenai pajak karbon. Pada artikel kali ini kita akan dibahas lebih lanjut mengenai peta jalur pajak karbon. Sebelum itu kita bahas terlebih dahulu mengenai latar belakang adanya pajak karbon. Selengkapnya di https://www.krishandsoftware.com/blog/1055/peta-jalur-pajak-karbon/

    BalasHapus