Kamis, 10 Juni 2021

 

Terkurung dalam Cangkang Kesepian

Putu Fajar Arcana ;  Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas

KOMPAS, 09 Juni 2021

 

 

                                                           

Percakapan dua sahabat yang sudah sama sepuh bisa melantur ke mana-mana. Estragon dan Vladimir telah menunggu Godot berhari-hari di sebuah petang dalam naungan pohon yang meranggas. Awalnya, mereka meragukan dirinya sendiri, apakah benar telah berjanji bertemu Godot di bawah pohon tua itu? Apakah ini hari Sabtu, sepertinya sama saja dengan Minggu? Jangan-jangan ini hari Kamis?

 

Dalam percakapan serba pelan, tetapi mengusik, keduanya saling bertanya lagi: apakah benar orang bernama Godot yang mereka tunggu? Sesungguhnya untuk apa mereka menunggu? Mungkin minta semacam saran atau doa untuk menemukan kepastian (hidup).

 

Samuel Beckett, penulis lakon berjudul Menunggu Godot (1952), tak pernah secara lugas mengakui bahwa kisah penantian Estragon dan Vladimir sebagai drama paling absurd dalam hidup manusia. Pertanyaan hakikat tentang siapa sesungguhnya diri kita dan untuk apa kita ada (di sini) menjadi semacam penantian yang tak kunjung berakhir. Jika Rene Descartes jauh-jauh hari seolah memberi jawaban tentang pertanyaan, mengapa kita berada di sini hari ini, dengan sebaris kalimat, cogito ergo sum, nyatanya sampai kini tak menuntaskan pencarian manusia.

 

Bahwa ”aku berpikir maka aku ada”, bagi Beckett tidaklah sesederhana hidup Estragon dan Vladimir. Pengendalian pikiran oleh sebuah kekuatan ”besar” di luar diri, yang ditolak oleh Descartes mengingat berpikir telah membuktikan  eksistensi manusia, seakan didramatisasi dalam lakon dua babak itu oleh Beckett. ”Godot” adalah ”seseorang” atau ”sesuatu” yang ada di luar diri manusia dan sejauh ini seluruh pertanyaan tiada guna mempertanyakan keberadaannya. Setiap pertanyaan membentur dinding absurditas yang tebal. Ini serupa dengan pencarian diri orang-orang Jawa, yang dinukilkan dalam ungkapan ”manunggaling kawula lan Gusti”. Bahwa pencarian akhir dari pengembaraan manusia justru menemukan kebenaran itu di dalam diri, yakni ”bersatunya” diri dengan Tuhan.

 

Usaha menunggu Godot, bahkan membuat Estragon dan Vladimir nyaris frustrasi. Keduanya sempat berpikir ingin menggantung diri di ranting pohon tua di  dekat sebuah bukit kecil, di mana mereka menunggu ”seseorang”. Namun, usaha bunuh diri tak sepenuhnya memecahkan persoalan karena mereka justru berharap pada diri Godot. Jawaban dari penantian panjang sampai usia renta ada pada diri Godot.

 

Kalau kau perhatikan, negeri maju dan modern seperti Jepang sedang berada diambang ”kebangkrutan” moral. Banyak ahli telah menduga bahwa angka peristiwa ”aksi” bunuh diri yang melebihi angka kematian akibat terpapar Covid-19 bermula dari perasaan kesepian. Laman Kompas.id, Kamis (27/5/2021), mencatat, sepanjang tahun 2020, sebanyak 20.919 warga Jepang mati bunuh diri. Angka ini melebihi angka kematian akibat Covid-19, yang berjumlah 3.460 orang pada periode waktu yang sama. Celakanya, di kalangan pelajar dan anak muda, jumlah kematian akibat bunuh diri sebanyak 499 orang. Angka ini menjadi angka tertinggi sejak 1980 dan jika dibandingkan tahun 2019, kenaikannya mencapai 140 persen!

 

Tentang para pelajar dan anak muda itu, ”Mereka cemas akan masa depan. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Dulu bisa melepaskan ketegangan dengan berbicara kepada teman. Sekarang ke karaoke saja tidak bisa,” kata Akiko Mura, seorang konselor di Pusat Bunuh Diri Tokyo, seperti dilansir Kompas.id.

 

Tak main-main Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga tercengang akan peningkatan jumlah kasus bunuh diri akibat kesepian di Jepang. Oleh sebab itu, ia menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi menteri yang mengurusi cara warga Jepang mengatasi kesepian.

 

Seorang teman dosen kebudayaan yang tinggal di Yokohama, Maiko Nakano, sering kali berkata kepadaku bahwa kehidupan di Jepang sangat monoton. Orang-orang muda banyak yang frustrasi karena tak tahu tujuan hidup. Bahkan, di antara anak muda yang bekerja pun frustrasi karena penghasilan mereka dipotong pemerintah untuk menyubsidi orang-orang tua, yang terus berusia makin panjang.

 

”Ini absurd ya? Kami bekerja keras, tetapi untuk para orang tua, yang tak mati-mati…,” katanya dengan nada ketus. Di sisi lain, anak-anak muda cepat mengambil keputusan bunuh diri jika merasa tak menemukan jalan keluar dari kesepian yang mencekam. ”Ada degradasi moralitas yang mencekam, saya takut,” katanya.

 

Maiko merasa beruntung karena memiliki banyak teman di luar negeri. Jadi, dia bisa menikmati kesendirian, tanpa takut dibekap oleh perasaan ingin bunuh diri. ”Saya bisa terbang ke Bali kalau nanti sudah tua,” katanya.

 

Biasanya, kata Maiko, kesepian di Jepang seperti hantu. Tidak saja anak-anak muda, tetapi orang-orang tua, yang ditinggal pasangan juga kesepian. Otak manusia, kata Maiko, akan rusak kalau tiga hari tidak tidur misalnya. ”Kalau sudah rusak bisa sakit jiwa dan keputusannya bunuh diri agar tak memberatkan orang lain,” tutur Maiko.

 

Jika Estragon dan Vladimir meletakkan Godot, sebagai the others, subyek lain di luar dirinya, untuk terus berupaya memelihara harapan dalam penantian, orang-orang Jepang tidak mengenal konsep ”orang lain”. Mungkin mereka seperti yang diucapkan oleh penyair Chairil Anwar, ”Bukan maksudku mau berbagi nasib/nasib adalah kesunyian masing-masing…//” (Pemberian Tahu-1946).

 

Banyak anak-anak yang terkurung di apartemen sendirian karena orangtua mereka sibuk bekerja. Namun, kata Maiko, kebanyakan kasus bunuh diri pelajar dan anak muda karena ”ditindas” di sekolah, lalu mereka tak punya tempat untuk berbagi duka. ”Ya intinya memang kesepian,” kata perempuan yang lama menetap di Bali dan Jakarta itu.

 

Estragon dan Vladimir mengurungkan niatnya bunuh diri justru karena ada Godot. Dalam filsafat Timur, barangkali Godot tak lain adalah Tuhan atau Acintya, sesuatu yang tidak terpikirkan, bahkan tidak terbayangkan. Oleh sebab itulah, seperti yang sudah kukatakan pekan lalu, Tuhan itu wyapi wyapaka nirwikara, Tuhan berada di mana-mana, termasuk dalam diri manusia, dan tidak berubah karena Ia kekal.

 

Ketika orang-orang tua mencoba menanti Godot di bawah pohon besar yang meranggas, dalam pandangan Timur, Beckett telah bermain-main di wilayah simbol. Orang tua dan pohon meranggas, dua metafora dengan makna bersisian. Bukankah keduanya sedang sama-sama menunggu dilindas usia? Apalagi yang bisa dilakukan seorang tua di tapal batas usia? Selain pikiran-pikiran yang melantur dan ingatan yang terjebak pada masa muda yang cemerlang, cuma bayangan tentang hari kematian yang setiap hari menjadi hantu. Kapankah nyawa akan meloncat dari tubuh tua ini, lalu roboh di padang gersang di bawah pohon meranggas?

 

Beckett pengikut setia rasionalisme. Ia tidak mau terjebak dalam permainan dogma. Coba kita simak dialog di bagian akhir dari lakon ini. Aku menggubahnya menjadi bentuk yang lebih prosais:

 

”Kenapa kita tidak gantung diri?” kata Estragon.

 

”Dengan apa?” tanya Vladimir.

 

”Kau bahkan tak punya seutas tali?”

 

”Tidak.”

 

”Kalau begitu kita tidak bisa melakukannya,” ujar Estragon.

 

(Hening)

 

”Ayo pergi,” kata Vladimir kemudian.

 

”Tunggu. Ada sabukku.”

 

”Tapi terlalu pendek.”

 

”Kau dapat bergantung pada kakiku.”

 

”Lalu siapa yang bergantung di kakiku?” Vladimir bertanya.

 

”Benar.”

 

”Semuanya sama saja…”

 

(Estragon mengendurkan tali yang menggantung di celananya yang kedodoran untuknya, jatuh di sekitar mata kakinya. Mereka melihat tali yang jatuh).

 

”…kita mungkin dapat berhasil dengan menggunakan jepitan. Tapi apakah tali ini cukup kuat?” tambah Vladimir.

 

”Kita akan segera tahu. Ini…”

 

(Mereka masing-masing memegang ujung tali dan menariknya. Tali itu putus. Mereka hampir jatuh).

 

”Tidak lebih dari sebuah kutukan.”

 

(Hening)

 

”Katamu kita harus kembali besok?” kata Estragon.

 

Tidak bisa tidak, kita harus mengartikan bahwa Godot itu sebuah harapan yang menghampar di cakrawala. Sejauh-jauh pergi, kau tidak akan mungkin meraihnya. Kau hanya mampu merasakan kesejukan dan kedamaian yang mengalir dari matamu, kemudian memenuhi bilik-bilik di dalam hatimu. Dalam setiap napasmu kemudian kau bisa merasakan kehadirannya. Bukti bahwa kau masih memahami dirimu sendiri, sebenarnya ketika kau menyadari bahwa kau masih bernapas. Udara yang keluar masuk tubuhmu adalah bukti eksistensimu di dunia ini.

 

Mungkin di situlah kita berpisah jalan dengan Descartes yang sebagaimana juga Beckett ”terlalu” rasional. Rasionalitas terbukti tak mampu menjawab, mengapa anak-anak muda di Jepang mengambil ”jalan pintas” bunuh diri? Apakah benar mereka terkurung dalam cangkang kesepian yang mencekam?

 

Maiko memang merujuk kepada tradisi harakiri di zaman Samurai sekitar abad ke-12 Masehi. Tradisi ini kemudian makin meluas pada era Restorasi Meiji tahun 1868, di mana tindakan bunuh diri dilakukan seorang ksatria Samurai untuk mengembalikan kehormatan. Prinsipnya, kata Maiko, lebih baik mati daripada hidup menanggung malu.

 

”Masih banyak orang Jepang berpikiran bunuh diri itu terhormat,” kata Maiko. Jujur aku tercenung. Pernyataan ini melayangkan ingatanku pada sebuah hutan bernama Aokigahara, di barat laut Gunung Fuji, kira-kira 100 kilometer sebelah barat Tokyo. Di hutan seluas 30 kilometer persegi ini masih sering dijumpai orang-orang Jepang melakukan aksi gantung diri. Dulu, hutan yang lebat ini pernah dipergunakan sebagai ubasute, sebuah ”ritual” mengasingkan para manula agar tidak memberatkan kehidupan keluarga.

 

Sebuah puisi anonim tentang ubasute berbunyi begini: ”//Di kedalaman pengunungan/untuk siapa ibu tua itu patah/Satu ranting demi satu?/Tidak perduli pada diri/Dia melakukannya demi putranya…//”.

 

Kalau kita coba memikirkan bunuh diri, harakiri, dan ubasute di Jepang, semuanya tentang kehormatan dengan cara ”melenyapkan” diri dari ”permainan”’ absurditas hidup. Pertama-tama jalan kematian ditempuh karena kungkungan cangkang kesepian, sesudahnya kehormatan menjadi pertimbangan, agar tak memberatkan mereka yang hidup. Namun, kehormatan apa yang hendak digapai oleh Estragon dan Vladimir kalau mereka tahu Godot itu tak kunjung datang? Kehormatan terkadang hanya berupa untaian doa, yang kalau kita rapalkan terus-menerus akan menerbitkan cahaya dari kedalaman hatimu.

 

Jadi kapan Maiko ke Bali? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar