Kamis, 10 Juni 2021

 

Pemulihan Ekonomi Hijau, Titik Balik Pemulihan Ekonomi Indonesia

Widhyawan Prawiraatmadja ;  Pengamat Energi

KOMPAS, 09 Juni 2021

 

 

                                                           

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi global. Untuk memutus penyebaran virus, interaksi manusia dibatasi. Hal ini mengakibatkan mobilitas masyarakat dan produksi industri menurun sehingga menurunkan perkembangan ekonomi, termasuk Indonesia.

 

Negara ini resmi mengalami resesi setelah dua kali berturut-turut mengalami kontraksi laju ekonomi pada kuartal kedua dan ketiga tahun 2020. Akibatnya, angka pengangguran meningkat, kesenjangan dan ketidaksetaraan ekonomi meningkat, serta terjadi fluktuasi harga komoditas.

 

Hasil simulasi SMERU tahun 2020 yang mengangkat dampak pandemi pada tingkat kemiskinan Indonesia menyatakan bahwa angka kemiskinan akan mencapai 12,4 persen (meningkat 3,2 persen dari angka kemiskinan pada September 2019). Artinya, akan terjadi penambahan 8,5 juta orang kurang mampu.

 

Kini bergaung strategi Green Economic Recovery atau Pemulihan Ekonomi Hijau untuk meningkatkan daya lenting ekonomi Indonesia dengan perspektif lebih berkelanjutan. Komponen dalam strategi ini, antara lain, pengembangan energi terbarukan, teknologi efisiensi energi, skema insentif untuk kendaraan rendah karbon, perluasan jaringan energi, infrastruktur transportasi hijau, hingga investasi dan stimulus. International Energy Agency menyatakan bahwa stimulus hijau memberikan manfaat makro ekonomi sebesar 0,1—0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam dua tahun, tergantung pada ukuran stimulusnya.

 

Green stimulus atau stimulus hijau pernah dilakukan Uni Eropa, Amerika Serikat, China, dan Jepang pada tahun 2008. Penerapan kebijakan stimulus hijau dianggap berhasil karena krisis keuangan global memengaruhi penurunan PDB berkisar 3-5 persen.

 

Dengan stimulus hijau pula, krisis keuangan tahun 2008-2009 menghasilkan intensitas karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan krisis ekonomi pada 1980-an hingga 1990-an. Peningkatan tahunan intensitas karbon dalam periode itu adalah 1,5-1,8 persen, sementara hanya 0,9 persen dalam periode 2008-2009.

 

Agar benar-benar kembali bangkit, Indonesia perlu menciptakan iklim ramah investasi dan mengakomodasi tren global. Saat ini Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) Funds menjadi patokan investasi bagi para investor global. Investasi berbasis ESG berarti emiten dari proses usaha telah mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik.

 

Pada 2020, ESG Funds berhasil mencatat rekor dana segar 51,1 miliar dollar AS dari para investor. Dua kali lebih besar dibanding tahun 2019 yang ”hanya” 21 miliar dollar AS. Tren ESG Funds ini menjadi angin segar bagi negara-negara yang telah menjalankan prinsip berkelanjutan dalam kegiatan usahanya.

 

Dengan pengesahan UU Cipta Kerja tahun lalu, Pemerintah Indonesia sempat mendapat surat keprihatinan dari puluhan investor global karena regulasi ini ditengarai melanggar standar praktik terbaik investasi internasional dan membahayakan aktivitas bisnis investor yang akan masuk ke Indonesia, dari risiko reputasi hingga operasional. Pada saat yang sama, beberapa negara dalam G-20 mengadopsi Pemulihan Ekonomi Hijau. Bahkan, Korea Selatan mengeluarkan kebijakan Green New Deal yang fokus pada energi terbarukan dan kendaraan listrik. Indonesia akan menjadi ramah investasi apabila kebijakan investasinya selaras dengan tren tersebut.

 

Dalam konteks pembangunan rendah karbon, sektor-sektor yang menjadi target empuk investasi internasional sangat jelas terbaca, yaitu sektor penghasil karbon tertinggi sehingga tidak heran bila Korea Selatan menyebut energi terbarukan dan kendaraan listrik. Inilah celah bagi Indonesia karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait kendaraan listrik berbasis baterai dan berniat mengembangkan industri baterai. Apalagi Indonesia dikatakan memiliki stok nikel terbesar di dunia.

 

Tidak bisa dimungkiri, kendaraan listrik mayoritas mendapat pasokan energi berbasis fosil. Namun, dalam konteks transportasi rendah karbon sangat mungkin kita bertransisi ke arah kendaraan listrik yang bersumber dari energi terbarukan.

 

IRENA (Global Renewables Outlook 2020) mengatakan, dengan meningkatkan porsi energi terbarukan global sebanyak enam kali lipat dari bauran energi saat ini, GDP Global akan meningkat hingga 2,4 persen pada 2050, setara dengan 98 triliun dollar AS. Meningkatnya GDP tersebut diiringi peningkatan kesejahteraan global hingga 13,5 persen dan tersedianya lebih dari 42 juta lapangan pekerjaan di sektor energi terbarukan.

 

Saat ini, biaya pembangkitan listrik energi terbarukan global menurun signifikan. Solar PV menurun sebesar 82 persen, turbin angin sebesar 39 persen, dan teknologi baterai sebesar 89 persen bila dibandingkan tahun 2010 dan 2019.

 

Pengembangan infrastruktur energi terbarukan merupakan kunci pemulihan ekonomi hijau di sektor transportasi. Momentumnya, sekarang. Kesempatannya, sekarang. Pertama, mengalihkan subsidi bahan bakar fosil agar lebih tepat sasaran. Kedua, memperbaiki tata kelola sektor transportasi dan energi, khususnya pada terobosan iklim investasi kendaraan listrik dan energi terbarukan. Ketiga, mengevaluasi asumsi perencanaan dan menganalisis setiap skenario kebijakan yang dapat terjadi.

 

Dengan terobosan yang tepat, dalam kebijakan, pendanaan, teknologi, dan SDM, Indonesia dapat menjadi negara terdepan dalam pertumbuhan ekonomi hijau. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar