Selasa, 01 Juni 2021

 

Celah Ketimpangan Vaksin Gotong Royong

Rusli Abdulah ; Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

KOMPAS, 31 Mei 2021

 

 

                                                           

Bagai oase di padang gersang, keberadaan vaksin gotong royong yang digagas dunia usaha mengurangi letih pemerintah dalam mewujudkan kekebalan kelompok. Vaksin gotong-royong memungkinkan percepatan pertambahan laju cakupan vaksinasi nasional. Hasilnya, pencapaian kekebalan masyarakat bisa lebih cepat tercapai.

 

Melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 10 Tahun 2021, vaksinasi gotong royong resmi dilaksanakan per 18 Mei 2021. Vaksinasi jalur mandiri ini diberikan kepada karyawan/karyawati, keluarga, dan individu lain terkait dalam keluarga yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan kepada badan hukum atau badan usaha.

 

Pada titik optimal, vaksinasi gotong royong bisa melingkupi 60 juta orang atau 30 persen syarat pencapaian kekebalan kelompok. Angka ini diperoleh dari 15 juta peserta vaksin gotong royong yang terdaftar di BPJS ditambah 45 juta anggota keluarga pekerja. Angka 45 juta diperoleh dari rata-rata satu pekerja peserta vaksinasi gotong royong mengikutsertakan satu istri atau suami dan dua orang anak.

 

Perlu diketahui, dibutuhkan setidaknya 180 juta vaksinasi agar bisa mencapai 70 persen penduduk Indonesia. Meski demikian, kondisi ideal tersebut sulit terealisasi. Ada tiga alasan, yakni suplai vaksin, perbedaan kemampuan antar perusahaan, dan sifat vaksin sebagai barang publik.

 

Pasokan vaksin global terbatas dan setiap negara memiliki perbedaan kemampuan akses. Keterbatasan suplai global diperparah dengan dengan adanya kebijakan penutupan ekspor vaksin dari India akibat tsunami Covid-19 di negara asal film Bollywood tersebut. Keterbatasan pasokan vaksin diperparah dengan perbedaan akses terhadap vaksin.

 

The Economist Intelligence Unit dalam laporannya bertajuk Coronavirus vaccines: expect delays, Q1 global forecast 2021 menginformasikan bahwa ada ketimpangan akses vaksin antara negara kaya dan miskin. Dalam laporan tersebut, Indonesia diestimasikan baru akan mendapatkan vaksin Covid-19 dalam jumlah besar pada awal 2023. Proyeksi ini bisa lebih panjang lagi apabila tsunami Covid-19 di India tidak kunjung berakhir dan terjadi gelombang besar lanjutan di negara-negara produsen vaksin.

 

Ketimpangan akses

 

Meski sudah ada 22.000 lebih perusahaan yang mendaftar vaksin gotong royong per 18 Mei 2021, ketimpangan akses tidak bisa dihindari. Ketimpangan akses ini muncul karena setiap perusahaan memiliki kemampuan akses yang berbeda-beda terhadap vaksin gotong royong. Perbedaan ini mencakup perbedaan kemampuan keuangan dan lokasi perusahaan. Alhasil, kondisi ideal untuk mencapai setidaknya angka 60 juta atau setidaknya 15 juta vaksin sulit tercapai.

 

Terkait dengan kemampuan keuangan, perusahaan yang memiliki kemampuan dana kuat akan lebih cepat mendapatkan akses vaksin. Selanjutnya lokasi usaha. Perusahaan yang berlokasi yang jauh dari Jakarta, terutama yang berada di luar Jawa, akan memiliki kecenderungan keterlambatan akses vaksin gotong royong dibandingkan dengan perusahaan yang berada di Jakarta dan sekitarnya.

 

Vaksin gotong royong lebih mahal dibandingkan dengan vaksin pemerintah. Total biaya vaksin Rp 879.140, terdiri dari harga tertinggi vaksin Rp 321.660 dan tarif layanan vaksinasi tertinggi Rp 117.910 untuk setiap satu dosis vaksin. Angka tersebut belum belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara vaksinasi yang digadang oleh pemerintah menggunakan vaksin Sinovac, Novavax, dan Astrazeneca. Di antara ketiga vaksin tersebut, Sinovac memiliki harga tertinggi, yakni 13,3 dollar AS (Rp 194.921) per dosis atau Rp 389.842 untuk dua kali suntik.

 

Apabila sebuah perusahaan mempunyai 10.000 pekerja, dibutuhkan biaya setidaknya Rp 87,9 miliar. Angka tersebut belum termasuk keluarga pekerja apabila hendak ingin divaksinasi bersama perusahaan. Meski dibayarkan oleh pekerja, ketika pekerja tidak memiliki kemampuan finansial cukup, bisa jadi ada opsi pekerja berutang kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan vaksin keluarganya.

 

Meski ada ketentuan bahwa biaya vaksin tidak boleh dibebankan kepada pekerja, pertanyaannya adalah dari mana biaya vaksinasi yang dikeluarkan perusahaan? Apakah dari pemotongan modal disetor para pemilik modal, pemotongan keuntungan bersih, atau dibebankan kepada ongkos produksi? Dalam perspektif ilmu ekonomi dimana people respond to incentive, probabilitas terbesar biaya vaksin akan dibebankan kepada ongkos produksi. Toh, hal ini tidak dilarang dalam permenkes.

 

Vaksin gotong royong menimbulkan ekses positif dan negatif. Vaksin gotong royong mendorong percepatan cakupan vaksin dan, kedua, mendorong peningkatan utilisasi kapasitas produksi pabrik atau unit usaha. Pabrik atau perusahaan yang telah melakukan vaksinasi setidaknya bisa menjadikan pabrik atau unit usahanya terutilisasi di atas level 50 persen, di atas batas ketentuan PSBB atau PPKM mikro.

 

Dampak negatif vaksinasi gotong royong tidak bisa diremehkan, yakni potensi kecemburuan di masyarakat. Bisa dipastikan, pekerja (dan keluarganya) yang akan mendapatkan vaksin pertama kali adalah mereka yang bekerja di perusahaan yang telah mendaftar program dan memiliki kemampuan keuangan memadai. Selain itu, potensi kecemburuan antara pekerja formal dan informal juga bisa terjadi.

 

Pada akhirnya, hal ini bisa memicu gaduh yang memperlambat proses pengendalian pandemi Covid-19. Celah akses vaksinasi tersebut bertolak belakang dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan vaksinasi sebaiknya ditujukan untuk kelompok rentan atau usia lanjut.

 

Selain itu, vaksin gotong royong bisa mendorong ongkos produksi. Hal ini terjadi apabila biaya vaksin perusahaan dibebankan kepada ongkos produksi barang atau jasa. Pada titik ekstrem, apabila 15 juta pekerja yang masuk dalam kategori pekerja formal dan terdaftar BPJS mengikuti vaksinasi perusahaan, akan ada tambahan biaya ongkos barang dan jasa dalam perekonomian Rp 13,19 triliun. Angka ini diperolah dari biaya vaksin gotong royong dikalikan dengan 15 juta pekerja.

 

Vaksin gratis

 

Tujuan utama yang harus diperhatikan dalam program vaksinasi gotong royong adalah mempercepat pencapaian kekebalan komunitas (herd immunity) di tengah keterbatasan infrastruktur kesehatan pemerintah. Agar pencapaian kekebalan komunitas tidak menimbulkan riak yang tidak diinginkan, semua vaksin Covid-19 yang disuntikkan di wilayah Indonesia didorong supaya gratis, tak terkecuali vaksin gotong royong.

 

Meski bernama gotong royong, keberadaan vaksin ini berpotensi menegasikan vaksin sebagai barang publik dalam rangka pencapaian kekebalan masyarakat. Keterbatasan suplai global menjadikan sifat non-rivalrous menjadi tidak eksis dalam vaksin covid-19 saat ini. Non-rivalrous berarti konsumsi atas barang tersebut tidak mengurangi jumlah barang yang tersedia.

 

Konsumsi atas vaksin di dalam kondisi suplai terbatas akan mengurangi jumlah barang yang tersedia, tetapi tidak menghilangkan sifat nonexludable. Alasannya adalah semakin banyak orang yang divaksin, manfaat yang dipetik publik akan semakin besar. Manfaat ini antara lain mendekatkan pada kekebalan komunitas dan mengurangi lonjakan kasus Covid-19. Non-excludable berarti tidak terkecuali tersedia serta bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

 

Ketersediaan vaksin Covid-19 secara gratis atau sebagai publik adalah hal paling esensial di masa pandemi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah mengenai gratisnya vaksin Covid-19 bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, hal ini sejalan dengan WHO yang menyerukan bahwa vaksin Covid-19 harus menjadi barang publik secara global.

 

Vaksin sebagai barang publik akan mempercepat distribusi dan memperluas akses terhadap vaksin. Selain itu juga menegasikan beragam ekses vaksinasi Covid-19 yang tidak mendahulukan kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan usaha pencapaian kekebalan komunitas yang berkejaran dengan penyebaran pandemi. Sebagai barang publik, vaksin harus bersifat non-rivalrous dan nonexludable.

 

Urun rembuk

 

Pemerintah dan pengusaha harus duduk bersama setidaknya untuk membahas akses vaksin antarpengusaha, memastikan vaksinasi gotong royong menjadi vaksin gratis dan menjadikannya sebagai barang publik. Dalam hal ini, perlu diperhatikan funding (pendanaan) dan financing (pembiayaan).

 

Selama pendanaan dari uang pajak, barang tersebut bisa dikategorikan publik, yang penyediaannya dilaksanakan pemerintah. Oleh karena itu, vaksin gotong royong bisa diambil alih pemerintah dengan penggunaan dana pajak.

 

Apabila pembiayaan vaksin 100 persen dana APBN. Maka, setidaknya, diperlukan Rp 97,7 triliun. Angka ini diperolah dari biaya vaksin Rp 539.842 (harga vaksin Sinovac dosis komplet ditambah Rp 150 biaya lainnya) dikali 181 juta orang sebagai syarat 70 persen populasi tervaksinasi.

 

Anggaran Rp 97,7 triliun hanya sekira 5,6 persen dari APBN 2021 yang senilai Rp 1.743,6 triliun. Angka tersebut jauh dari angka kebocoran APBN 30 persen di masa Orde Baru yang pernah didengungkan salah satu begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikoesoemo. Terlebih, KKN saat ini lebih parah dibandingkan dengan zaman Orde Baru.

 

Manfaat pembiayaan vaksin dari dana pajak adalah memastikan akses vaksin berdiri di atas asas kesetaraan. Hal ini untuk menjaga agar tidak ada narasi superioritas sebuah entitas bisnis atas bisnis lainnya dalam program vaksinasi. Selain itu juga agar tidak ada rasa utang budi pemerintah terhadap entitas bisnis tertentu yang pada akhirnya bisa memunculkan konflik kepentingan di masa mendatang. Selain itu, hal ini untuk mengantisipasi adanya pemburu rente vaksin gotong royong.

 

Selain itu, hal lain yang perlu menjadi perhatian implementasinya adalah prioritas berdasarkan sektor usaha dan lokasi usaha. Sektor usaha padat karya, padat modal, dan atau usaha yang berada di zona merah bisa menjadi yang pertama. Misalnya usaha di industri tekstil masuk skala prioritas karena padat karya dan menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Skala prioritas akan meminimalkan potensi ketimpangan akses antarunit usaha. Beberapa poin prioritas sudah termaktub dalam Permenkes Nomor 10 Tahun 2021.

 

Selanjutnya, swasta berpartisipasi dalam rangka membantu penyediaan infrastruktur pendukung vaksinasi. Hal ini penting agar distribusi vaksin semakin lancar dan dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Swasta bisa memperoleh kompensasi insentif pajak atas partisipasinya tersebut. Penulis kira, tidak akan menjadi kendala apabila skema ini diterapkan mengingat kegentingan dalam rangka pencapaian kekebalan komunitas. Semoga pandemi segera berlalu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar