Pancasila,
Tidak Kurang Tidak Lebih Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar
Emeritus Sekolah Tinggi filsafat Driyarkara |
KOMPAS, 31 Mei 2021
Beberapa hari lalu saya
membaca sebuah WA: ”Perlakuan sebagian kalangan terhadap Pancasila sekarang
sudah agak mencemaskan karena mau mengangkatnya sekarang sebagai ’akidah
agama’. Walau secara resmi tidak dikatakan demikian, tetapi perilakunya
mengatakan itu”. WA tersebut ditutup:
”Harus ditegaskan: Pancasila bukan akidah agama”. Apa peringatan itu berarti
perhatian pada Pancasila berlebihan lagi? Waktu Reformasi, omongan tentang
Pancasila pernah hilang. Suatu reaksi atas overload omongan Pancasila Orde
Baru. Padahal, di waktu Reformasi, Pancasila justru membuktikan diri. Amat mengesankan bagaimana
pada masa teramat kritis itu dua presiden pertama Reformasi, BJ Habibie dan
Abdurrahman Wahid; ketua MPR terpilih pertama Amien Rais, dan banyak tokoh
lain, berhasil membawa Indonesia menjadi demokrasi tulen (meski belum
sempurna) tetap atas dasar Pancasila. Yang membawa Pancasila
kembali ke wacana publik adalah masuknya radikalisme agama ke Indonesia.
Radikalisme adalah ancaman karena menolak nilai-nilai, bahkan identitas
bangsa. Cukup melihat Suriah, Irak, Libya, juga Mozambik dan Nigeria.
Negara-negara itu tersobek-sobek atas dasar identitas agama dan sering juga
suku. Karena itu, Pancasila
pantas disyukuri. Indonesia terdiri atas ratusan komunitas etnik, budaya, dan
agama, masing-masing dengan identitasnya sendiri. Namun, dengan menyepakati
lima sila Pancasila sebagai dasar etika dan kemanusiaan bersama, Indonesia
berhasil mencapai sesuatu yang di Myanmar atau di Etiopia tak berhasil
diwujudkan: yakni bahwa identitas setiap komunitas tak ditindas, tetapi
dilindungi dan diangkat oleh identitas nasional. Sebagai orang beridentitas
Indonesia, orang Jawa bisa tetap Jawa dan orang Minang tetap Minang, orang
Katolik bisa tetap 100 persen Katolik dan orang Islam bisa 100 persen setia
pada akidahnya. Itulah peran kunci Pancasila. Bukan
menyaingi agama Atas dasar Pancasila, tiga
orientasi dasar masyarakat Indonesia bersatu: mereka yang secara politis
berfokus pada kebangsaan, lalu seluruh mainstream Islam Indonesia, dengan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai representannya, serta
komunitas-komunitas agama dan kepercayaan lain. Persatuan Indonesia begitu
kuat karena tiga orientasi itu mau bersatu dan mereka bisa bersatu atas dasar
Pancasila. Namun, dan itu menentukan:
Pancasila hanya dapat memainkan peranannya apabila tak dijadikan semacam
filsafat hidup yang malah menyaingi agama. Begitu pula segala ”pemerasan”
untuk mencari semacam ”hakikat Pancasila” sudah tepat kalau ditolak (tanpa
perlu menyangkal bahwa ’sosio-nasionalisme’ dan ’sosio-demokrasi’, atau
’gotong royong’ bisa ditemukan di dalam). Pancasila, padanya ”negara
Republik Indonesia … berdasar” adalah persis, dan secara eksklusif, lima sila
yang disebut pada akhir Pembukaan UUD 1945, seperti yang ditetapkan pada 18
Agustus 1945. Tidak kurang, tetapi juga tidak lebih. Yang mempersatukan ratusan
komunitas etnik, budaya dan agama Indonesia yang berbeda, baik mayoritas
maupun minoritas, yang memungkinkan mereka hidup bersama dalam damai, adalah
bahwa mereka dapat mendasarkan diri pada lima sila itu. Sementara realisasi
Pancasila dalam perpolitikan konkret, misalnya bagaimana keadilan sosial
diwujudkan, harus disepakati terus-menerus dalam proses pencarian arah bangsa
secara demokratis. Perlu diingat bahwa
manusia Indonesia bukannya beretika dan beragama karena ia ber-Pancasila,
melainkan ia ber-Pancasila karena ia beretika dan beragama. Apa yang baik dan
yang jahat, jujur atau curang, begitu pula keagamaannya, sudah
diinternalisasikan manusia Indonesia di tahun-tahun paling pertama hidupnya:
dari ibunya, dari lingkungannya, dari umatnya, dari budayanya, jauh sebelum
ia untuk pertama kali mendengar kata Pancasila. Kita justru merangkul
Pancasila karena dalam lima silanya kita menemukan suatu etika luhur, dan
orang beragama bisa meyakini Pancasila karena lima silanya ternyata amat
sesuai dengan agamanya. Maka, melebih-lebihkan
Pancasila mau dijadikan semacam filsafat hidup seluruh bangsa justru akan
kontraproduktif. Itu kiranya yang dimaksud oleh peringatan di atas agar
Pancasila jangan diangkat menjadi mirip akidah agama. Sangat cukup jika
Pancasila terus dipromosikan sebagai lima prinsip etika bangsa yang
disepakati semua, yang karena itu memungkinkan kita saling menerima, saling
menghormati, bahkan saling menghargai dalam perbedaan, juga dalam perbedaan
beragama. Suatu keberhasilan yang
luar biasa bangsa Indonesia! Yang semakin diakui dunia internasional. Karena
itu, kita perlu menghindar dari memberi kesan bahwa Pancasila mau mengurangi
semangat agama. Kalau kita mau terus
memantapkan NKRI berhadapan dengan sekian tantangan, tidak hanya radikalisme,
tetapi juga globalisme ekonomis dan sebagainya, kita harus tegas-tegas
mendasarkan diri pada lima prinsip atau sila di Pembukaan UUD 1945 yang kita
sebut Pancasila. Tak kurang, tak lebih. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar