Tembakau,
Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat Lisda Sundari ; Ketua Lentera Anak, Pegiat
Pengendalian Tembakau |
KOMPAS, 31 Mei 2021
Organisasi Kesehatan Dunia
atau WHO menyatakan tembakau menghilangkan nyawa setengah dari seluruh
penggunanya. Setiap tahun, enam juta orang meninggal akibat mengisap rokok
secara aktif dan 900.000 orang lainnya meninggal karena menjadi perokok
pasif. Di Indonesia, setiap tahun sekitar 225.700 orang meninggal akibat
merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau. Laporan US Surgeon General
(2010) menegaskan bahwa asap tembakau menimbulkan kecanduan, dan bahwa rokok
memang dirancang untuk menimbulkan kecanduan. Salah satu senyawa kimia utama yang
menimbulkan efek kecanduan rokok yang kuat adalah nikotin. Kondisi kecanduan nikotin
membuat penderitanya tidak bisa lagi lepas dari pengaruh nikotin meskipun hal
tersebut bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatannya. Studi Surgeon juga
menyebutkan rokok mengandung 7.000 zat kimia dan 69 karsinogenik penyebab
kanker. Namun, seolah abai dengan
dampak rokok bagi kesehatan, jumlah perokok di Indonesia justru sangat
tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun
2018, prevalensi merokok di Indonesia sekitar 75 juta orang atau 33 persen
dari jumlah penduduk Indonesia, dengan angka tertinggi terjadi pada kelompok
usia 10-49 tahun. Angka ini merupakan urutan ketiga tertinggi di dunia. Data peningkatan jumlah
perokok anak juga sangat mencengangkan. Pada 2018, berdasarkan data
Riskesdas, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen
atau sekitar 3,2 juta dari sebelumnya 7,2 persen pada tahun 2013. Padahal,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan
perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019. Tingginya jumlah perokok
anak sangat mengkhawatirkan karena dampak merokok pada anak selain
menimbulkan kecanduan juga berpotensi merusak perkembangan otak mereka. Hal
ini sangat berbahaya karena tumbuh kembang anak dan perkembangan otak manusia
dimulai sejak anak masih di dalam kandungan dan berlangsung hingga berusia 18
tahun. Perkembangan paling lambat
terjadi pada otak bagian depan atau prefrontal cortex (PFC), tepat di
belakang dahi, yang berlangsung hingga anak berusia 20 tahun. PFC bertanggung
jawab terhadap kemampuan kognitif, yaitu fungsi kecerdasan, kemampuan
analisis, stabilitas emosi, dan pengambilan keputusan, tetapi ia sangat
rentan dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat adiksi, termasuk konsumsi
nikotin. Anak-anak yang terpapar
asap rokok dari para perokok juga sangat berisiko terkena penyakit serius
hingga kematian. Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (Perki) pada 2018, sebanyak 40 juta anak di Indonesia menjadi
perokok pasif. Anak-anak juga berpotensi
menjadi third-hand smoker (perokok pihak ketiga) apabila terpapar residu dari
asap rokok yang menempel pada permukaan benda-benda yang terpajan asap rokok.
Jika orangtua dan dewasa di rumah merokok, residu rokok akan melekat di
seluruh rumah, seperti di rambut, kulit, baju, sofa, tirai, dan tempat tidur,
dan anak-anak menjadi pihak yang paling berpotensi menghirup racun residu
rokok yang berdampak meningkatkan risiko masalah pernapasan, termasuk
pneumonia. Hal yang tak kalah
menyedihkan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tentang
pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk Indonesia sepanjang
tahun 2020 mencatat pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau
lainnya lebih besar dari belanja makanan pokok (beras). BPS mencatat,
pengeluaran rokok dan tembakau sebesar 5,99 persen dari seluruh pengeluaran
bulanan, sedangkan belanja beras hanya 5,45 persen. Hal tersebut sangat
memprihatinkan karena besarnya pengeluaran untuk membeli rokok akan
mengurangi alokasi untuk membeli makanan bergizi, pendidikan, dan layanan
kesehatan. Ini berpotensi mengancam hak-hak dasar anak, yaitu hidup, tumbuh
kembang, kesehatan, dan pendidikan, di mana anak-anak berpotensi kekurangan
gizi, putus sekolah, dan tidak mendapat layanan kesehatan ketika sakit. Pengendalian
lemah Peningkatan prevalensi
perokok anak di Indonesia menjadi bukti lemahnya pengendalian tembakau.
Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan. Namun, implementasi regulasi ini gagal melindungi anak dari adiksi
rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Ini karena iklan, promosi, dan
sponsor rokok masih dibolehkan; akses
rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli di mana-mana; serta perilaku
merokok dianggap hal yang biasa. Berbagai studi menunjukkan
terpaan iklan dan promosi rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif
dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka (2007) menunjukkan, 46,3 persen
remaja mengaku iklan rokok memengaruhi untuk mulai merokok. Studi Surgeon
General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya
dan mendorong anak-anak mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal
yang wajar (WHO, 2009). Laporan WHO pada 2013 juga
menyebutkan iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi bentuk terdepan
industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka dengan
menormalisasikan produk rokok. Berbagai aktivitas promosi dilakukan
menggunakan strategi subliminal advertising untuk menjadikan rokok terlihat
sebagai produk normal dan mengaburkan bahaya rokok. Subliminal advertising
adalah teknik yang mengekspos individu pada suatu gambaran produk, nama
dagang, atau rangsangan lainnya yang terasosiasi dengan kebiasaan targetnya,
di mana individu tidak menyadari bahwa dirinya sedang terekspos (Liza
Djaprie, 2017). Anak yang terpapar iklan rokok terus-menerus dengan citra
positif, akan tertanam di alam bawah sadarnya bahwa rokok produk yang normal
dan baik. Apalagi hampir semua iklan rokok menggambarkan gaya hidup remaja
yang keren, macho, kreatif, dan hebat. Setiap hari, iklan dan
promosi rokok mengepung anak dan remaja dari segala sisi, mulai dari iklan rokok
di televisi dan internet hingga paparan reklame dan promosi rokok di
warung-warung dekat rumah dan sekolah. Hasil Survei Yayasan Lentera Anak
bersama SFA dan YPMA pada 2015 menunjukkan 85 persen sekolah, mulai TK hingga
SMA, di lima kota dikepung iklan rokok. Data Global Youth Tobacco
Survey 2019 menunjukkan sebanyak 19,20 persen pelajar adalah perokok aktif
dan 65,2 persen pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan. Ada 60,9
persen pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, 56,8 persen pelajar melihat
iklan rokok di televisi, dan 36,2 persen pelajar melihat iklan rokok di
internet. Memang di sisi lain kita
bersyukur pemerintah sudah memiliki komitmen yang tertuang dalam Peraturan
Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, untuk menargetkan
penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 melalui revisi
PP No 109/2012. Namun, hingga kini penyelesaian revisi PP No 109/2012 untuk
mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia terus tertunda. Hari ini, tanggal 31 Mei
2021, yang merupakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO menetapkan tema commit
to quit atau berkomitmen untuk berhenti. Ini seharusnya dapat menjadi
momentum bagi semua pihak untuk berhenti melakukan hal negatif yang berdampak
pada kesehatan anak. Orangtua harus berhenti
merokok di dekat anak agar anak tidak menjadi perokok pasif dan third-hand
smoker. Industri rokok harus berhenti memasarkan rokok kepada anak dengan
strategi manipulatif yang menjadikan rokok terlihat seperti produk normal.
Pemerintah harus berhenti menolak segala intervensi yang dapat melemahkan
regulasi pengendalian tembakau, sehingga jangan sampai pemerintah dan DPR
terkesan abai mendesakkan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Meskipun saat ini
Kementerian Kesehatan fokus pada upaya penanganan Covid-19, jangan menafikan
program kesehatan yang bertujuan melindungi kesehatan anak. Sebab, tidak
cukup menyelesaikan pandemi melalui penguatan 3T (testing, tracing,
treatment), vaksinasi, dan protokol kesehatan yang ketat, tetapi juga
dibutuhkan sosialisasi bahaya rokok yang masif serta urgensi merevisi PP No
109/2012 agar regulasi ini memiliki kekuatan untuk mengatur secara ketat
peredaran semua jenis produk tembakau dan iklan/promosi produk rokok. Apalagi di masa pandemi
Covid-19 anak-anak menjadi kaum yang paling rentan karena berpotensi menjadi
perokok pasif akibat terpapar asap rokok dari orangtua dan orang dewasa
lainnya yang merokok di rumah. Dampak serius lainnya adalah anak-anak yang di
masa pandemi Covid-19 banyak melakukan aktivitas belajar dari rumah
berpotensi terpapar iklan dan promosi rokok yang masif di media sosial. Dalam UUD 1945 Pasal 28 B
Ayat (2) disebutkan bahwa ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Dalam Pasal 28 H Ayat (1) disebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak setiap anak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan juga didukung UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Undang-undang ini menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan anak
dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga remaja; termasuk upaya
pemeliharaan kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan perlindungan. Selain itu, dalam PP No
59/2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, Pasal 6 Huruf
(c), disebutkan bahwa pemantauan pelaksanaan pemenuhan hak anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 Huruf (a) dilakukan terhadap pemenuhan hak kesehatan
dasar dan kesejahteraan. Masyarakat sangat
mendukung upaya pemerintah untuk mengejar target Indonesia bebas dari
Covid-19, tetapi tentu tidak dengan mengabaikan regulasi dan program
kesehatan untuk melindungi anak. Sangat mustahil menurunkan prevalensi
perokok anak apabila tidak ada komitmen pemerintah membuat regulasi tembakau
yang kuat dan tegas. Bappenas sudah
memproyeksikan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 16
persen pada 2030 apabila tidak ada upaya dan komitmen yang kuat dari seluruh
sektor. Inilah urgensi pentingnya regulasi yang kuat seperti revisi PP No
109/2012 untuk melindungi anak Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar