Antisipasi
Persekusi Jelang Pilkada 2018
Yulhasni ; Anggota KPU Sumatra Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Juni 2017
DI tengah usaha DPR menyepakati sejumlah poin penting RUU
Pemilu dan teror bom yang melanda Tanah Air, kita disuguhi satu lagi
perbincangan yang menarik perhatian, tentang persekusi. Kamus Wikipedia
menyebut persekusi (bahasa Inggris: persecution) adalah perlakuan buruk atau
penganiayaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu
atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik.
Persekusi adalah salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang didefinisikan di
dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.
Timbulnya penderitaan, pelecehan, penahanan, ketakutan,
dan berbagai faktor lain dapat menjadi indikator munculnya persekusi, tetapi
hanya penderitaan yang cukup berat yang dapat dikelompokkan sebagai
persekusi. Persekusi yang merambah ke tengah-tengah masyarakat muncul sebagai
akibat mewabahnya media sosial. Semula jejaring sosial seperti Facebook,
Twitter, dan Instagram merupakan sarana berkomunikasi, sekarang menjadi ranah
teror yang menakutkan. Orang mulai berhati-hati mem-posting kritik terhadap sesuatu,
apalagi kritik itu dialamatkan pada kelompok tertentu.
Menariknya peristiwa persekusi pertama terjadi di Solok,
Sumbar, terhadap dr Fiera Lovita. Perempuan berjilbab itu diintimidasi ormas
tertentu karena mengunggah pernyataan bernada miring terhadap pemimpin FPI,
Rizieq Shihab, di akun Facebook-nya. Peristiwa yang terjadi di daerah yang
justru dikenal masyarakatnya sangat menghargai perbedaan pendapat itu patut
membuat kita prihatin. Kasus Fiera Lovita seperti bola salju dan merembes ke
berbagai daerah di Tanah Air. Di alam demokrasi kita, kritik sepertinya masih
bersifat tabu.
Tentu saja itu tidak sehat jika memasuki pesta demokrasi
seperti pilkada. Meski Pilkada 2018 belum masuk pada tahapan penyelenggaraan,
bahaya persekusi sepertinya penting untuk diantisipasi sejak dini. Ketua
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan Misbah melansir pernyataan
kekhawatiran terjadinya persekusi di Pilkada 2018. Hal itu terkait dengan
kampanye di media sosial yang menjurus SARA. Pilkada DKI yang baru saja usai bolehlah
menjadi catatan yang penting untuk melihat gejala kampanye hitam melalui
media sosial.
Meski persekusi belum begitu transparan terjadi, bias dari
kampanye hitam pada pilkada DKI telah merembes ke berbagai sektor kehidupan.
Media sosial kemudian dipergunakan menjustifikasi ketidaksepakatan satu
kelompok terhadap seseorang menjadi ketidaksukaan mayoritas. Efektivitasnya
cukup bervariasi dan hal itu membuktikan ketidakdewasaan kita berpolitik
secara menyeluruh. Sebanyak 171 daerah akan menggelar Pilkada 2018 yang bisa
menjadi momentum penting menyambut pemilu serentak 2019 mendatang. Ujian
terbesar tentu saja tidak pada aspek kualitas pelaksanaan pesta demokrasi
itu, tetapi sejatinya diuji kedewasaan berpolitik bagi mereka yang
berkepentingan dengan Pilkada 2018.
KPU memberikan ruang yang luas kepada seluruh kandidat dan
tim pemenangan untuk menggunakan media sosial sebagai ajang untuk
menyampaikan visi dan misi. Regulasi pemanfaatan media sosial sebagai ajang
kampanye sangat ketat diatur dalam peraturan KPU. Namun di sisi lain, ruang
publik media sosial juga akan digunakan masyarakat untuk menyatakan pendapat
berpihak atau tidak berpihak. Ruang publik sejatinya memang tidak bisa
digunakan semata-mata untuk kepentingan syahwat individu politik. Di ruang publik
ada regulasi yang mengingatkan kita untuk selalu berjalan di trotoar
kebenaran hakiki.
Di sini kita mengenal adagium kebebasan pribadi terikat
dengan kebebasan publik. Jika melihat gejala persekusi akhir-akhir ini,
kebebasan publik yang dilanggar individu tertentu telah dihukum oknum-oknum
tertentu mengatasnamakan hukum. Persekusi model seperti ini tentu sangat
berbahaya pada perhelatan Pilkada 2018 mendatang. Peningkatan partisipasi
masyarakat (parmas) sebagai salah satu indikator kesuksesan pilkada salah
satunya didukung model penyampaian pendapat di media sosial. Masih hangat
dalam ingatan kita peranan media sosial di Pilkada DKI 2017 lalu.
Kampanye serta isu-isu yang saling berseliweran setiap
kita membuka akun media sosial tidak bisa dibendung, entah itu, bertujuan
'mengangkat' atau 'membanting' derajat calon. Media sosial memang ibarat
pisau bermata dua. Satu sisi berdampak meningkatkan partisipasi masyarakat,
di sisi lain justru menampung para netizen yang melancarkan pesan negatif.
Kita menyaksikan para pelaku praktik negatif di media sosial pada Pilkada
2017 lalu justru berlalu melenggang tanpa tersentuh oleh hukum sama sekali.
Kita pun patut bertanya, kenapa pada mereka tidak berlaku persekusi?
Penyelenggara pilkada (KPU dan Bawaslu) tentu saja telah
membuat langkah-langkah preventif untuk menyikapi perilaku menyimpang
masyarakat dalam konteks persekusi ini. Berbagai perangkat regulasi hanya
mampu menjadi rambu-rambu yang mengikat kontestan secara langsung, tetapi
terhadap mereka yang mempraktikkan persekusi, kedewasaan kontestan dibutuhkan
untuk memberikan pencerahan tentang pratik berdemokrasi yang elegan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar