Rabu, 05 April 2017

Urgensi Ekonomi Jalan Tol

Urgensi Ekonomi Jalan Tol
Ronny P Sasmita  ;  Senior Economic Action Indonesia (EconAct)
                                                      JAWA POS, 29 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam Rencana Strategis (Renstra) 2015–2019, pemerintah memproyeksikan pembangunan jalan tol baru mencapai 1.000 kilometer (km). Namun, proyeksi itu mungkin terlampaui seiring adanya percepatan proses pembebasan lahan melalui dana talangan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Berdasar data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), jalan tol yang dalam proses konstruksi hingga 2019 tercatat sepanjang 1.568 km dan yang direncanakan dibangun dalam rentang waktu 2015–2025 adalah sepanjang 3.583 km.

BPJT juga mencatat, realisasi penambahan jalan tol pada 2015 mencapai 132 km dan pada 2016 sepanjang 44 km. Lalu, pada 2017 diproyeksikan ada tambahan 391,9 km dan 615 km pada 2018. Tahun berikutnya, penambahan jalan tol diproyeksikan 669 km. Dengan demikian, total penambahan jalan tol dalam kurun waktu 2015–2019 akan menjadi 1.851,9 km.

Dilihat dari sisi urgensi ekonomi strategis, penambahan panjang jalan tol memang sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Terutama untuk wilayah yang arus kendaraannya padat seperti di Jabodetabek. Lihat saja, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), populasi mobil, bus, dan kendaraan barang mencapai 21,2 juta unit pada 2014. Sedangkan sepanjang 2015–2016, penjualan mobil, bus, dan angkutan barang tercatat 2,1 juta unit. Sehingga total populasi mobil, bus, serta angkutan barang mencapai 23,3 juta unit.

Terlebih, jumlah kendaraan roda empat diproyeksikan masih terus bertambah. Khusus mobil penumpang, penjualannya diperkirakan tumbuh rata-rata 11,5 persen per tahun sepanjang periode 2017–2021. Hal tersebut didorong terus bertambahnya jumlah kelas menengah-atas di Indonesia. Dan memang selama ini kendaraan penumpang menjadi motor pertumbuhan pasar mobil domestik.

Karena itu, mau tidak mau, penambahan volume kendaraan itu mesti didukung penambahan kapasitas jalan tol. Kemacetan yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari di ruas jalan tol dalam kota Jakarta maupun tol Jakarta–Cikampek dan Jakarta–Bogor–Ciawi (Jagorawi) menjadi pelajaran bahwa pertumbuhan ruas jalan tol di Jabodetabek harus ditingkatkan. Berita baik lainnya, sebagai upaya mengatasi kepadatan di ruas tol dalam kota dan tol Jakarta–Cikampek serta mendukung akses ke Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), PT Jasa Marga Tbk (Persero) berencana membangun jalan tol layang (elevated) Cawang–Pluit–Cengkareng.

Untuk membangun proyek sepanjang 40 km dan menelan investasi Rp 14 triliun itu, BUMN jalan tol yang satu ini akan bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero). Proyek tol tersebut dibangun sekaligus sebagai upaya antisipasi kepadatan dan akomodasi pergerakan penumpang pesawat di Bandara Soetta yang ditaksir mencapai 70 juta orang dalam beberapa tahun ke depan. Tahun lalu jumlah penumpang domestik maupun internasional di bandara terbesar di tanah air itu sudah mencapai 27 juta orang.

Dengan dibangunnya jalan tol layang, akses ke Bandara Soetta bertambah dari akses tol eksisting. Penambahan akses ke Bandara Soetta juga dilakukan PT Angkasa Pura II dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan membangun proyek kereta ke bandara. Rencananya, kereta bandara yang menghubungkan Stasiun Manggarai dan stasiun di Bandara Soetta sepanjang 36,3 km mulai beroperasi Juli 2017.

Dari total jarak tempuh tersebut, terdapat rel atau jalur baru (new track) sepanjang 12,1 km antara Stasiun Batu Ceper dan stasiun bandara. Sementara sisanya yang sepanjang 24,2 km lagi adalah jalur lama (existing track) yang menghubungkan Stasiun Manggarai hingga Stasiun Batu Ceper. Selain Stasiun Manggarai, nanti Stasiun Jakarta Kota juga akan digunakan sebagai tempat pemberhentian kereta bandara. Rutenya adalah Stasiun Kota menuju Kampung Bandan, Angke, Duri, kemudian Batu Ceper dan ke bandara.

Kereta bandara akan mampu melayani 35.000 penumpang per hari dan dapat mengurangi 20 hingga 30 persen volume kendaraan umum atau pribadi yang menuju bandara. Jasa Marga juga telah memulai konstruksi tol Jakarta–Cikampek II Elevated sepanjang 36,4 km sebagai solusi mengatasi kemacetan di simpang susun Cikunir hingga Karawang dan diharapkan bisa selesai dalam waktu dua tahun.

Jalan tol melayang di atas jalan tol eksisting itu menjadi solusi dalam mengatasi kepadatan lalu lintas dari Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah. Proyek tol Jakarta–Cikampek II Elevated tersebut mungkin disambungkan dengan tol layang Cawang–Pluit–Cengkareng di Cikunir.

Saya kira, meski terdengar seperti proyek mercusuar, dari sisi ekonomi strategis, publik memang layak mendukung pembangunan jalan tol baru. Baik oleh perusahaan BUMN maupun badan usaha swasta. Dengan kata lain, berdasar realitas lapangan yang ada, penambahan ruas jalan tol tidak bisa ditawar lagi. Penambahan jalan tol diperlukan untuk mendukung mobilitas manusia dan arus barang dari satu daerah ke daerah lainnya. Contohnya pembangunan tol Jakarta–Cikampek II Elevated yang akan membantu meningkatkan pelayanan jalan tol Jakarta–Cikampek eksisting yang telah menjadi salah satu ruas utama distribusi barang dan jasa sejak kali pertama dioperasikan pada 1988.

Intinya, jalan bebas hambatan berperan penting untuk mendorong konektivitas dan peningkatan daya saing maupun mendukung penurunan biaya logistik. Infrastruktur jalan tol juga dapat memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian suatu kawasan. Dengan terbangunnya infrastruktur jalan tol, akan tumbuh pusat-pusat ekonomi baru di daerah sehingga terjadi pemerataan pembangunan.

Jadi, saya kira pemerintah memang harus terus mendorong pembangunan jalan tol hingga beberapa tahun ke depan. Penambahan jalan tol baru dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitasnya seiring makin tingginya volume lalu lintas. Rendahnya penambahan kapasitas jalan tol yang tidak mampu mengimbangi pesatnya pertumbuhan kendaraan mengakibatkan kemacetan di sejumlah ruas tol, terutama tol dalam kota Jakarta, Jakarta–Cikampek, dan Jagorawi.

Berdasar data BPJT, jalan tol yang telah dioperasikan di seluruh tanah air saat ini mencapai 984 km. Angka tersebut masih kalah dengan Malaysia yang sudah mengoperasikan jalan tol sejauh 3.000 km. Padahal, Indonesia lebih dulu membangun jalan tol daripada Malaysia. Bahkan, negeri jiran itu berguru ke Indonesia sebelum memulai pembangunan jalan tol di negaranya.

Tidak hanya kalah dalam hal panjang jalan tol, Indonesia juga kalah oleh Malaysia dalam hal lamanya rata-rata waktu tempuh di jalan tol. Di negeri jiran tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak 100 km hanya 1,5 jam, sedangkan di Indonesia sekitar 2,7 jam. Hal itu disebabkan padatnya arus kendaraan di sejumlah ruas tol di Indonesia.

Pendek kata, secara umum, penambahan ruas jalan tol dalam konteks infrastruktur ekonomi memang sangat diperlukan karena bertujuan meningkatkan konektivitas yang diharapkan dapat mendorong pemerataan pembangunan di daerah. Pasalnya, salah satu teknologi andalan untuk mengatasi semua kendala percepatan laju perekonomian regional adalah pembangunan infrastruktur berupa jalan raya, jalan tol atau jalan penghubung, ataupun dapat berupa sarana lapangan terbang perintis dengan fasilitas pesawat dan SDM bandara yang memadai. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar