Terobosan
Legislasi OJK
Arief Wibisono ; Doktor Ilmu Hukum UI; Alumnus School of Laws
(LLM in Banking & Financial
Law), Boston University, AS
|
KOMPAS, 10 April 2017
Saat ini perhatian industri jasa
keuangan dan masyarakat Indonesia umumnya tertuju pada proses seleksi anggota
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan periode 2017-2022.
Hal itu menandakan harapan besar
kalangan industri jasa keuangan dan masyarakat pada lembaga yang melakukan
pengawasan aset senilai Rp 16.000 triliun tersebut. Pembentukan OJK sendiri
”buah” dari kegagalan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) yang
berujung pada munculnya krisis perbankan terbesar dalam sejarah Indonesia
pada 1997/1998.
Untuk itulah, justru dalam UU yang
mengatur BI setelah masa reformasi, yaitu Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999
tentang BI, diatur suatu langkah korektif, yaitu pengawasan bank oleh BI akan
beralih padalembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang
dibentuk dengan UU. Dalam Pasal 34 diatur tenggat pembentukan lembaga
pengawasan dimaksudadalah 31 Desember 2002.
Namun, rupanya pengawasan bank
merupakan pekerjaan yang dinilai memiliki ”gengsi” tinggi sehingga terjadi
tarik-menarik yang berakibat berlarut-larutnya perbedaan pendapat antara BI
dan pemerintah dalam merumuskan UU yang akan membentuk lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan (LPJK) ini.
Karena tenggat 2002 terlampaui, di
pengujung berakhirnya krisis pada 2004—ditandai pembubaranBadan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN)—jangka waktu diperpanjang hingga 31 Desember 2010.
Perpanjangan itu diatur dalam perubahan Pasal 34 yang tertuang dalam UU No 3
Tahun 2004 tentang UU Perubahan UU BI (UU No 3 Tahun 2004).
”Suasana kebatinan” tarik-menarik
itu tak ayal tecermindalam keengganan menggunakan istilah LPJK dalam UU Nomor
24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). Dalam UU LPS justru
dimunculkan istilah baru, yaitu Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) untuk
menyebut pengawas bank. Padahal, UU LPS diundangkan kurang dari sembilan
bulan setelah UU No 3/2004 terbit.
Dalam perjalanannya, sengkarut
pengawasan Bank Century oleh BI yang berujung pembentukan Panitia Khusus Bank
Century oleh DPR tahun 2010 membawa hikmah, yaitu tenggat pembentukan LPJK
yang berakhir 2010 tak diperpanjang lagi karena kemudian pemerintah dan BI
sepakat mulai membahas pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Istilah
otoritas dipakai karena institusi itutak hanya memiliki kewenangan
pengawasan, tetapi juga pengaturan industri jasa keuangan.
Penggunaan istilah OJK mulai muncul
dalam pembahasan RUU antar-kementerian pada masa menteri kehakiman dijabat
Yusril Ihza Mahendra di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Pembentukan OJK yang sudah
melewati tenggat Pasal 34 UU BI merupakan salah satu ”buah” dari tekanan
berbagai pihak, termasuk DPR, melalui Pansus Century tahun 2010 yang salah
satu rekomendasinya meminta DPR bersama pemerintah segera membentuk dan
merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor
moneter dan fiskal.
Tekanan itu lalu membuahkan
pembentukan OJK dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam UU ini
diatur pengawasan industri keuangan nonbank beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kepada OJK awal 2013, sedangkan
pengawasan bank oleh BI beralih kepada OJK awal 2014.
Pekerjaan
rumah
Pekerjaan rumah membentuk dan
merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor
moneter dan fiskal saat ini belum
dilaksanakan sepenuhnya. RUU yang wajib disinkronisasikan dan dibentuk dengan
beroperasinya pengawasan sepenuhnya oleh OJK awal 2014 terhitung banyak.
Sebagian besar memang sudahtercantum dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) pembahasan RUU 2015- 2019 di DPR. Itu berarti dalam periode DPR
2015-2019, RUU- RUU itu wajib diselesaikan.
Namun, penyelesaiannya masih
sangat bergantung pada ”kecepatan” DPR membahas setelahmenetapkan RUU-RUU itu
dalam Prolegnas RUU Prioritas setiap tahun. Apalagi, sudah ada konsensus
bahwa setiap komisi di DPR hanya punya jatah penyelesaian dua UU per tahun.
Artinya, jika sudah ada dua UU yang disahkan di tahun bersangkutan, pengajuan
UU lain harus ”antre” masuk ke jatah tahun depan.
Sebut saja UU perlindungan
pemegang polis yang diperlukan untuk menjamin pemegang polis, peserta, dan
tertanggung saat perusahaan asuransi dicabut izin usahanya yang merupakan
salah satu jaring pengaman bagi industri asuransi yang masuk dalam Prolegnas
2015-2019. Akan tetapi, dengan alasan prioritas dan kendala persyaratan
administratif, tidak tercantum dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun
2017.
Demikian pula penyempurnaan UU
sebagai bagian dari pelajaran krisis 2008, yaitu perubahan UU LPS dengan
menambahkan kewenangan melakukan penyelamatan bank melalui mekanisme lain
selain penyertaan modal sementara (PMS) sebagaimana dilakukan kepada Bank
Century juga terkendala dengan mekanisme penetapan prioritas prolegnas
prioritas RUU yang akan dibahas pada 2017.
Padahal, LPS di negara lain,
misalnya lembaga penjamin simpanan di AS (The Federal Deposit Insurance
Corporation/FDIC), memiliki kewenangan untuk membentuk bridgebank atau bank
yang dibentuk untuk mengambil alih dan memastikan pelayanan bank dari suatu
bank yang gagal. Bank tersebut didesain untuk menjadi ”jembatan” atau
”antara” untuk menutup gap antara kegagalan suatu bank sampai dengan waktu
FDIC dapat melaksanakan akuisisi yang memadai oleh pihak lain.
Sementara itu, RUU perubahan tiga
UU di bidang perbankan, yaitu UU Perbankan, UU BI, dan UU OJK, meskipun masuk
dalam Prolegnas Prioritas RUU tahun 2017 yang akan dibahas melalui usul
inisiatifDPR, juga belum ada jaminan untuk dapat dibahas sesuai jadwal. Hal
ini mengingat dari sisi jumlah Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan
perbankan jugasudah memiliki ”jatah” dua RUU lain, yaitu RUU Perubahan UU
tentang Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) dan RUU Perubahan UU tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
UU PNBP dan UU KUP juga sangat
penting, mengingat salah satu pasalnya tentang rencana pembentukan badan
pajak terpisah dari Kementerian Keuangan semacam Internal Revenue Service
(IRS) di AS atau Australian Taxation Office (ATO) dengan sebutan Badan
Penerimaan Negara yang selain melakukan penagihan pajak juga akan melakukan
collection PNBP.
Harmonisasi dan sinkronisasi tiga
UU bidang perbankan, yaituRUU Perubahan UU BI, RUU Perubahan UU OJK, dan RUU
Perubahan UU OJK, mutlak diperlukan karenadengan beralihnya pengawasan dan
pengaturan bank dari BI ke OJK membawa implikasi penentuan garis demarkasi
secara jelas antara kewenangaan pengawasan mikroprudensial dan
makroprudensial perbankan yang dijalankan masing-masing lembaga tersebut.
Selain itu, penyempurnaan,
harmonisasi, dan sinkronisasi tiga UU di bidang perbankan itu perlu pula
dilakukan dengan dua UU perlindungan nasabah, yaitu UU penjaminan simpanan
nasabah bank (deposit insurance) atau policyholder protection, yaitu UU LPS
dan UU perlindungan pemegang polis. Hal ini karena lima UU dimaksud
sangatdiperlukan dalam memperkuat empat Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Indonesia/JPSK(Indonesian Financial Safety Net) yang meliputi pengawasan dan
pengaturan yang baik dari OJK, tersedianya fungsi the lender of the last
resort (LoLR) oleh BI, adanya skema deposit insurance atau penjaminan
simpanan nasabah bank oleh LPS atau perlindungan polis untuk perusahaan asuransi,
serta mekanisme pencegahan dan penanganan krisis.
Jaring keempat sudah tersedia
dengan diundangkannya UU No 9/2014 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan (PPKSK). Sayangnya, tiga jaring lainnya masih menggunakan UU
lama (UU perbankan terakhir diamandemen saat krisis perbankan 1998) yang
sudah tak kompatibel dengan UU PPKSK.
Demikian pula hal sebaliknya
terjadi UU PPKSK justru ”mempreteli” fungsiBI sebagai banker’s bank melalui
peran sebagai LoLR karena menghilangkan kewenangan BI menyalurkan fasilitas
pembiayaan darurat (FPD) kepada bank berdampak sistemik yang tercantum dalam
Pasal 11 UU BI. Padahal, FPD ini jamak dimiliki oleh sebuah bank sentral
sebagai emergency liquidity assistance (ELA) yang diberikan kepada bank atau
sekumpulan bank yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memiliki
kecukupan modal (solvent).
Terobosan
pembahasan
Untuk itulah, dalam pembahasan UU
dalam kerangka JPSKperlu dilakukan melalui terobosan legislasi, yaitu
pembahasan dalam satu paket sekaligus dan tak terpisah-pisah. Pengalaman
pembahasan terpisah-pisah selama ini ibarat menyusun sebuah ”mozaik”
rangkaian potongan kaca, justru menghasilkan gambar yang tak sinkron berupa
inkonsistensi peraturan perundangan-undangan.
Contoh paling kecil adalah temuan
Pansus Century 2010 tentang inkonsistensi penggunaan istilah komite yang
melakukan penanganan krisis secara berbeda di berbagai perundangan. Istilah
Komite Koordinasi digunakan dalam UU LPS, Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) digunakan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 4 Tahun 2008
tentang JPSK.
Pembahasan secara bersamaan dapat
dilakukan melalui integrasi daftar inventaris masalah (DIM) dalam pembahasan
RUU-RUU dimaksud. Untuk RUU inisiatif pemerintah sebagaimana RUU Perubahan UU
LPS dan RUU perlindungan pemegang polis, DPR cukup menyusun DIM bersama dan
tak perlu memecah dalam DIM masing-masing fraksi.
Demikian pula momentum
pembahasannya perlu mulai dilakukan sebelum masa jabatan Dewan Komisioner
(DK) OJK periode2012-2017 berakhir pertengahan 2017. Hal ini agar saat DPR
melakukan seleksi terhadap calon DK OJK yang diajukan Presiden Joko Widodo,
DPR sudah dapat memetakan tantangan yang akan dihadapi DK OJK dalam
menakhodai OJK 2017-2022 sehingga dapat memilih calon tepat untuk posisi yang
tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar