Selasa, 11 April 2017

Terobosan Legislasi OJK

Terobosan Legislasi OJK
Arief Wibisono  ;   Doktor Ilmu Hukum UI; Alumnus School of Laws
(LLM in Banking & Financial Law), Boston University, AS
                                                        KOMPAS, 10 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat ini perhatian industri jasa keuangan dan masyarakat Indonesia umumnya tertuju pada proses seleksi anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan periode 2017-2022.

Hal itu menandakan harapan besar kalangan industri jasa keuangan dan masyarakat pada lembaga yang melakukan pengawasan aset senilai Rp 16.000 triliun tersebut. Pembentukan OJK sendiri ”buah” dari kegagalan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) yang berujung pada munculnya krisis perbankan terbesar dalam sejarah Indonesia pada 1997/1998.

Untuk itulah, justru dalam UU yang mengatur BI setelah masa reformasi, yaitu Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI, diatur suatu langkah korektif, yaitu pengawasan bank oleh BI akan beralih padalembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang dibentuk dengan UU. Dalam Pasal 34 diatur tenggat pembentukan lembaga pengawasan dimaksudadalah 31 Desember 2002.

Namun, rupanya pengawasan bank merupakan pekerjaan yang dinilai memiliki ”gengsi” tinggi sehingga terjadi tarik-menarik yang berakibat berlarut-larutnya perbedaan pendapat antara BI dan pemerintah dalam merumuskan UU yang akan membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan (LPJK) ini.

Karena tenggat 2002 terlampaui, di pengujung berakhirnya krisis pada 2004—ditandai pembubaranBadan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)—jangka waktu diperpanjang hingga 31 Desember 2010. Perpanjangan itu diatur dalam perubahan Pasal 34 yang tertuang dalam UU No 3 Tahun 2004 tentang UU Perubahan UU BI (UU No 3 Tahun 2004).

”Suasana kebatinan” tarik-menarik itu tak ayal tecermindalam keengganan menggunakan istilah LPJK dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). Dalam UU LPS justru dimunculkan istilah baru, yaitu Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) untuk menyebut pengawas bank. Padahal, UU LPS diundangkan kurang dari sembilan bulan setelah UU No 3/2004 terbit.

Dalam perjalanannya, sengkarut pengawasan Bank Century oleh BI yang berujung pembentukan Panitia Khusus Bank Century oleh DPR tahun 2010 membawa hikmah, yaitu tenggat pembentukan LPJK yang berakhir 2010 tak diperpanjang lagi karena kemudian pemerintah dan BI sepakat mulai membahas pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Istilah otoritas dipakai karena institusi itutak hanya memiliki kewenangan pengawasan, tetapi juga pengaturan industri jasa keuangan.

Penggunaan istilah OJK mulai muncul dalam pembahasan RUU antar-kementerian pada masa menteri kehakiman dijabat Yusril Ihza Mahendra di era Presiden Abdurrahman Wahid.

Pembentukan OJK yang sudah melewati tenggat Pasal 34 UU BI merupakan salah satu ”buah” dari tekanan berbagai pihak, termasuk DPR, melalui Pansus Century tahun 2010 yang salah satu rekomendasinya meminta DPR bersama pemerintah segera membentuk dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor moneter dan fiskal.

Tekanan itu lalu membuahkan pembentukan OJK dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam UU ini diatur pengawasan industri keuangan nonbank beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) kepada OJK awal 2013, sedangkan pengawasan bank oleh BI beralih kepada OJK awal 2014.

Pekerjaan rumah

Pekerjaan rumah membentuk dan merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan sektor moneter        dan fiskal saat ini belum dilaksanakan sepenuhnya. RUU yang wajib disinkronisasikan dan dibentuk dengan beroperasinya pengawasan sepenuhnya oleh OJK awal 2014 terhitung banyak. Sebagian besar memang sudahtercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pembahasan RUU 2015- 2019 di DPR. Itu berarti dalam periode DPR 2015-2019, RUU- RUU itu wajib diselesaikan.

Namun, penyelesaiannya masih sangat bergantung pada ”kecepatan” DPR membahas setelahmenetapkan RUU-RUU itu dalam Prolegnas RUU Prioritas setiap tahun. Apalagi, sudah ada konsensus bahwa setiap komisi di DPR hanya punya jatah penyelesaian dua UU per tahun. Artinya, jika sudah ada dua UU yang disahkan di tahun bersangkutan, pengajuan UU lain harus ”antre” masuk ke jatah tahun depan.

Sebut saja UU perlindungan pemegang polis yang diperlukan untuk menjamin pemegang polis, peserta, dan tertanggung saat perusahaan asuransi dicabut izin usahanya yang merupakan salah satu jaring pengaman bagi industri asuransi yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Akan tetapi, dengan alasan prioritas dan kendala persyaratan administratif, tidak tercantum dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun 2017.

Demikian pula penyempurnaan UU sebagai bagian dari pelajaran krisis 2008, yaitu perubahan UU LPS dengan menambahkan kewenangan melakukan penyelamatan bank melalui mekanisme lain selain penyertaan modal sementara (PMS) sebagaimana dilakukan kepada Bank Century juga terkendala dengan mekanisme penetapan prioritas prolegnas prioritas RUU yang akan dibahas pada 2017.

Padahal, LPS di negara lain, misalnya lembaga penjamin simpanan di AS (The Federal Deposit Insurance Corporation/FDIC), memiliki kewenangan untuk membentuk bridgebank atau bank yang dibentuk untuk mengambil alih dan memastikan pelayanan bank dari suatu bank yang gagal. Bank tersebut didesain untuk menjadi ”jembatan” atau ”antara” untuk menutup gap antara kegagalan suatu bank sampai dengan waktu FDIC dapat melaksanakan akuisisi yang memadai oleh pihak lain.

Sementara itu, RUU perubahan tiga UU di bidang perbankan, yaitu UU Perbankan, UU BI, dan UU OJK, meskipun masuk dalam Prolegnas Prioritas RUU tahun 2017 yang akan dibahas melalui usul inisiatifDPR, juga belum ada jaminan untuk dapat dibahas sesuai jadwal. Hal ini mengingat dari sisi jumlah Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan perbankan jugasudah memiliki ”jatah” dua RUU lain, yaitu RUU Perubahan UU tentang Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP) dan RUU Perubahan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

UU PNBP dan UU KUP juga sangat penting, mengingat salah satu pasalnya tentang rencana pembentukan badan pajak terpisah dari Kementerian Keuangan semacam Internal Revenue Service (IRS) di AS atau Australian Taxation Office (ATO) dengan sebutan Badan Penerimaan Negara yang selain melakukan penagihan pajak juga akan melakukan collection PNBP.

Harmonisasi dan sinkronisasi tiga UU bidang perbankan, yaituRUU Perubahan UU BI, RUU Perubahan UU OJK, dan RUU Perubahan UU OJK, mutlak diperlukan karenadengan beralihnya pengawasan dan pengaturan bank dari BI ke OJK membawa implikasi penentuan garis demarkasi secara jelas antara kewenangaan pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial perbankan yang dijalankan masing-masing lembaga tersebut.

Selain itu, penyempurnaan, harmonisasi, dan sinkronisasi tiga UU di bidang perbankan itu perlu pula dilakukan dengan dua UU perlindungan nasabah, yaitu UU penjaminan simpanan nasabah bank (deposit insurance) atau policyholder protection, yaitu UU LPS dan UU perlindungan pemegang polis. Hal ini karena lima UU dimaksud sangatdiperlukan dalam memperkuat empat Jaring Pengaman Sistem Keuangan Indonesia/JPSK(Indonesian Financial Safety Net) yang meliputi pengawasan dan pengaturan yang baik dari OJK, tersedianya fungsi the lender of the last resort (LoLR) oleh BI, adanya skema deposit insurance atau penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS atau perlindungan polis untuk perusahaan asuransi, serta mekanisme pencegahan dan penanganan krisis.

Jaring keempat sudah tersedia dengan diundangkannya UU No 9/2014 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Sayangnya, tiga jaring lainnya masih menggunakan UU lama (UU perbankan terakhir diamandemen saat krisis perbankan 1998) yang sudah tak kompatibel dengan UU PPKSK.

Demikian pula hal sebaliknya terjadi UU PPKSK justru ”mempreteli” fungsiBI sebagai banker’s bank melalui peran sebagai LoLR karena menghilangkan kewenangan BI menyalurkan fasilitas pembiayaan darurat (FPD) kepada bank berdampak sistemik yang tercantum dalam Pasal 11 UU BI. Padahal, FPD ini jamak dimiliki oleh sebuah bank sentral sebagai emergency liquidity assistance (ELA) yang diberikan kepada bank atau sekumpulan bank yang mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memiliki kecukupan modal (solvent).

Terobosan pembahasan

Untuk itulah, dalam pembahasan UU dalam kerangka JPSKperlu dilakukan melalui terobosan legislasi, yaitu pembahasan dalam satu paket sekaligus dan tak terpisah-pisah. Pengalaman pembahasan terpisah-pisah selama ini ibarat menyusun sebuah ”mozaik” rangkaian potongan kaca, justru menghasilkan gambar yang tak sinkron berupa inkonsistensi peraturan perundangan-undangan.

Contoh paling kecil adalah temuan Pansus Century 2010 tentang inkonsistensi penggunaan istilah komite yang melakukan penanganan krisis secara berbeda di berbagai perundangan. Istilah Komite Koordinasi digunakan dalam UU LPS, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) digunakan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 4 Tahun 2008 tentang JPSK.

Pembahasan secara bersamaan dapat dilakukan melalui integrasi daftar inventaris masalah (DIM) dalam pembahasan RUU-RUU dimaksud. Untuk RUU inisiatif pemerintah sebagaimana RUU Perubahan UU LPS dan RUU perlindungan pemegang polis, DPR cukup menyusun DIM bersama dan tak perlu memecah dalam DIM masing-masing fraksi.

Demikian pula momentum pembahasannya perlu mulai dilakukan sebelum masa jabatan Dewan Komisioner (DK) OJK periode2012-2017 berakhir pertengahan 2017. Hal ini agar saat DPR melakukan seleksi terhadap calon DK OJK yang diajukan Presiden Joko Widodo, DPR sudah dapat memetakan tantangan yang akan dihadapi DK OJK dalam menakhodai OJK 2017-2022 sehingga dapat memilih calon tepat untuk posisi yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar