Swaajar
di Daerah Terpencil
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan
di KBRI New Delhi, India
|
KOMPAS, 29 Maret 2017
Salah satu masalah utama dan pelik terkait pendidikan di
Indonesia ialah rendahnya pelayanan pendidikan di daerah terpencil yang kerap
disebabkan kurang tersedianya tenaga guru. Tak seperti membuat kurikulum atau
menulis buku yang merupakan benda mati, usaha penyediaan guru amat kompleks
serta butuh waktu yang tak sekejap.
Karena itu, dibutuhkan terobosan gagasan pembelajaran baru
yang realistis guna memungkinkan tiap anak di daerah terpencil belajar
bermakna segera, dengan tetap memperhitungkan kendala ketaktersediaan guru
saat ini.
Swaajar
Bukan bermaksud ”angkat tangan, menyerah kalah” dalam
kewajiban negara menyediakan pendidikan bagi setiap warga, tetapi jika memang
penyediaan guru kompeten bagi ribuan daerah terpencil sulit dipenuhi segera,
sangat bijak jika mulai dijajaki model pembelajaran alternatif. Namun, tentu
tetap dengan jaminan bahwa pembelajaran alternatif itu, walau mungkin
pendekatannya berbeda, harus tak kalah mutunya dibandingkan dengan di
perkotaan besar.
Anak di daerah terpencil harus dapat belajar pengetahuan
dan keterampilan yang terkini, sekaligus terus memupuk kegairahannya belajar,
tak boleh kalah dengan temannya di kota.
Dalam lingkungan belajar yang didesain baik, anak akan
mampu belajar dan, dalam taraf tertentu, memampukan mengajar dirinya sendiri.
Pendekatan minimally invasive education atau pendidikan
yang minim ”perecokan” ini sudah ditunjukkan Prof Sugata Mitra yang 17 tahun
lalu melubangi tembok kampusnya di New Delhi dan menanamkan layar monitor
serta papan ketik komputer pada tembok. Ini membuat anak dan remaja di
kampung kumuh sekitar kampusnya memiliki akses komputer untuk belajar secara
mandiri atau bersama teman sebaya.
Penerapan Hole-in-the-Wall ini sekarang sudah ada di
banyak tempat di India dan Afrika Selatan.
Berbagai laporan ilmiah bersumber dari eksperimen ini
ternyata menunjukkan bahwa anak bahkan dari masyarakat terpinggirkan mampu
mengajar dirinya sendiri. Artinya, ketiadaan guru bukan berarti hilangnya
kesempatan belajar bermutu.
Hasil kecakapan akademik yang diukur dengan asesmen
konvensional juga menunjukkan peningkatan pada anak-anak yang memanfaatkan
komputer pada dinding tersebut. Sementara itu, penggunaan bahasa Inggris
dalam pengoperasian komputer ternyata terbukti bukan masalah besar bagi
anak-anak terpinggirkan ini.
Pendekatan melalui proses penemuan ini membuat tiap anak
memiliki silabusnya sendiri. Ini bertolak belakang dengan sistem konvensional
yang mana murid mengikuti silabus yang sudah ditetapkan. Dengan pendekatan
alternatif ini, anak langsung melihat relevansi pengetahuan ataupun
keterampilan yang perlu dipelajari dengan yang dibutuhkan.
Jika pendekatan konvensional mengajarkan pengetahuan yang
mungkin akan dibutuhkan di kemudian hari, melalui pendekatan progresif ini,
anak justru berhasrat mempelajari suatu pengetahuan karena mengenali
kegunaannya saat itu. Dari just-in-case ke just-in-time. Laju belajar juga
tidak dipaksa seragam sama untuk setiap anak seperti persekolahan
konvensional, tetapi disesuaikan sendiri oleh tiap anak.
Dari sisi sosial, pendekatan progresif ini menggeser
keadaan pengajaran yang dikendalikan guru menjadi keadaan pelajar yang
mengelola proses belajarnya. Kemudian, yang tadinya fokus pada interaksi
pengajar dan pelajar, sekarang menjadi interaksi antar-pelajar.
Peluang mewujudkan
Sebuah rencana uji coba sudah dijajaki dan dirancang pada beberapa
pulau kecil di sekitaran Pulau Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Studi
pendahuluan pembangunan beberapa learning station atau anjungan belajar telah
dilaksanakan. Dengan biaya yang relatif murah, pendekatan ini layak dicoba
dan, jika berhasil, amat mudah untuk disalin untuk daerah terpencil lain.
Keunggulan lainnya, bahan ajar yang dipasangkan dalam
komputer dapat disesuaikan dengan bahasa lokal, keadaan geografis, serta
budaya setempat. Bahkan, bahan ajar dengan bahasa ibu dapat diwujudkan.
Beberapa pelajaran interaktif dalam bentuk permainan yang
sudah tersedia, seperti pelajaran matematika interaktif yang dibuat oleh
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) atau lainnya, dapat
disisipkan dalam komputer di anjungan tadi. Melalui pelajaran interaktif ini
anak dapat mempelajari gagasan matematika secara mandiri.
Pendekatan ini tak membutuhkan internet. Perguruan tinggi
di provinsi dari daerah terpencil itu dapat mengelola bahan ajarnya, dengan
sebulan sekali didatangi mahasiswa dengan membawa USB-flash disk berisi bahan
ajar baru untuk dipasangkan pada komputer di anjungan.
Misalnya, Universitas Haluoleo di Kendari akan mengelola
bahan ajar di anjungan belajar di sekitar Pulau Muna. Kecuali ini akan
mendukung langsung pendidikan di daerah sana, kegiatan ini dapat memicu
rangkaian topik penelitian akademik yang tentunya akan meningkatkan relevansi
universitas itu di daerahnya.
Sebagai ilustrasi, pendekatan pendidikan swaajar ini akan
membuahkan berbagai topik penelitian fakultas pendidikan yang pasti hasilnya
dinantikan dunia pendidikan internasional, sedangkan pada pemanfaatan
teknologi sel surya serta peranti lunak akan menjadi topik penelitian
fakultas teknik, dan kemudian dampak pada pengembangan budaya masyarakat akan
menjadi kajian fakultas ilmu budaya.
Potensi lainnya ialah memasukkan informasi terkait
pengembangan ekonomi pulau terpencil itu ke dalam anjungan belajar, seperti
penanganan hasil laut, pengenalan pariwisata, dan pelestarian lingkungan
bahari. Warga dewasa dapat memanfaatkannya guna memajukan perekonomian
desanya.
Walau menghadapi kendala administrasi atau birokrasi,
seperti dampak ”perceraian” pendidikan tinggi (di Kemristek dan Dikti) dengan
pendidikan dasar dan menengah dan juga pendidikan informal (di Kemdikbud), demi
anak-anak di daerah terpencil, sekarang sudah semestinya mengutamakan kerja
sama lintas kementerian demi terwujudnya anjungan belajar di daerah terpencil
ini.
Kita tentunya tak pernah ragu bahwa anak-anak di daerah
terpencil di Nusantara ini mampu belajar mandiri, tak kalah dibanding teman
sebayanya di penjuru dunia lain. Malahan, boleh jadi anak di lingkungan yang
didesain untuk swaajar akan lebih efektif belajar mandiri, walau dengan
jajaran pengajar tak lengkap, ketimbang diajar asal-asalan oleh pengajar tak
kompeten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar