Sabtu, 01 April 2017

Swaajar di Daerah Terpencil

Swaajar di Daerah Terpencil
Iwan Pranoto  ;   Guru Besar Matematika ITB;
Atase Pendidikan dan Kebudayaan di KBRI New Delhi, India
                                                        KOMPAS, 29 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu masalah utama dan pelik terkait pendidikan di Indonesia ialah rendahnya pelayanan pendidikan di daerah terpencil yang kerap disebabkan kurang tersedianya tenaga guru. Tak seperti membuat kurikulum atau menulis buku yang merupakan benda mati, usaha penyediaan guru amat kompleks serta butuh waktu yang tak sekejap.

Karena itu, dibutuhkan terobosan gagasan pembelajaran baru yang realistis guna memungkinkan tiap anak di daerah terpencil belajar bermakna segera, dengan tetap memperhitungkan kendala ketaktersediaan guru saat ini.

Swaajar

Bukan bermaksud ”angkat tangan, menyerah kalah” dalam kewajiban negara menyediakan pendidikan bagi setiap warga, tetapi jika memang penyediaan guru kompeten bagi ribuan daerah terpencil sulit dipenuhi segera, sangat bijak jika mulai dijajaki model pembelajaran alternatif. Namun, tentu tetap dengan jaminan bahwa pembelajaran alternatif itu, walau mungkin pendekatannya berbeda, harus tak kalah mutunya dibandingkan dengan di perkotaan besar.

Anak di daerah terpencil harus dapat belajar pengetahuan dan keterampilan yang terkini, sekaligus terus memupuk kegairahannya belajar, tak boleh kalah dengan temannya di kota.

Dalam lingkungan belajar yang didesain baik, anak akan mampu belajar dan, dalam taraf tertentu, memampukan mengajar dirinya sendiri.

Pendekatan minimally invasive education atau pendidikan yang minim ”perecokan” ini sudah ditunjukkan Prof Sugata Mitra yang 17 tahun lalu melubangi tembok kampusnya di New Delhi dan menanamkan layar monitor serta papan ketik komputer pada tembok. Ini membuat anak dan remaja di kampung kumuh sekitar kampusnya memiliki akses komputer untuk belajar secara mandiri atau bersama teman sebaya.

Penerapan Hole-in-the-Wall ini sekarang sudah ada di banyak tempat di India dan Afrika Selatan.

Berbagai laporan ilmiah bersumber dari eksperimen ini ternyata menunjukkan bahwa anak bahkan dari masyarakat terpinggirkan mampu mengajar dirinya sendiri. Artinya, ketiadaan guru bukan berarti hilangnya kesempatan belajar bermutu.

Hasil kecakapan akademik yang diukur dengan asesmen konvensional juga menunjukkan peningkatan pada anak-anak yang memanfaatkan komputer pada dinding tersebut. Sementara itu, penggunaan bahasa Inggris dalam pengoperasian komputer ternyata terbukti bukan masalah besar bagi anak-anak terpinggirkan ini.

Pendekatan melalui proses penemuan ini membuat tiap anak memiliki silabusnya sendiri. Ini bertolak belakang dengan sistem konvensional yang mana murid mengikuti silabus yang sudah ditetapkan. Dengan pendekatan alternatif ini, anak langsung melihat relevansi pengetahuan ataupun keterampilan yang perlu dipelajari dengan yang dibutuhkan.

Jika pendekatan konvensional mengajarkan pengetahuan yang mungkin akan dibutuhkan di kemudian hari, melalui pendekatan progresif ini, anak justru berhasrat mempelajari suatu pengetahuan karena mengenali kegunaannya saat itu. Dari just-in-case ke just-in-time. Laju belajar juga tidak dipaksa seragam sama untuk setiap anak seperti persekolahan konvensional, tetapi disesuaikan sendiri oleh tiap anak.

Dari sisi sosial, pendekatan progresif ini menggeser keadaan pengajaran yang dikendalikan guru menjadi keadaan pelajar yang mengelola proses belajarnya. Kemudian, yang tadinya fokus pada interaksi pengajar dan pelajar, sekarang menjadi interaksi antar-pelajar.

Peluang mewujudkan

Sebuah rencana uji coba sudah dijajaki dan dirancang pada beberapa pulau kecil di sekitaran Pulau Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara. Studi pendahuluan pembangunan beberapa learning station atau anjungan belajar telah dilaksanakan. Dengan biaya yang relatif murah, pendekatan ini layak dicoba dan, jika berhasil, amat mudah untuk disalin untuk daerah terpencil lain.

Keunggulan lainnya, bahan ajar yang dipasangkan dalam komputer dapat disesuaikan dengan bahasa lokal, keadaan geografis, serta budaya setempat. Bahkan, bahan ajar dengan bahasa ibu dapat diwujudkan.

Beberapa pelajaran interaktif dalam bentuk permainan yang sudah tersedia, seperti pelajaran matematika interaktif yang dibuat oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) atau lainnya, dapat disisipkan dalam komputer di anjungan tadi. Melalui pelajaran interaktif ini anak dapat mempelajari gagasan matematika secara mandiri.

Pendekatan ini tak membutuhkan internet. Perguruan tinggi di provinsi dari daerah terpencil itu dapat mengelola bahan ajarnya, dengan sebulan sekali didatangi mahasiswa dengan membawa USB-flash disk berisi bahan ajar baru untuk dipasangkan pada komputer di anjungan.

Misalnya, Universitas Haluoleo di Kendari akan mengelola bahan ajar di anjungan belajar di sekitar Pulau Muna. Kecuali ini akan mendukung langsung pendidikan di daerah sana, kegiatan ini dapat memicu rangkaian topik penelitian akademik yang tentunya akan meningkatkan relevansi universitas itu di daerahnya.

Sebagai ilustrasi, pendekatan pendidikan swaajar ini akan membuahkan berbagai topik penelitian fakultas pendidikan yang pasti hasilnya dinantikan dunia pendidikan internasional, sedangkan pada pemanfaatan teknologi sel surya serta peranti lunak akan menjadi topik penelitian fakultas teknik, dan kemudian dampak pada pengembangan budaya masyarakat akan menjadi kajian fakultas ilmu budaya.

Potensi lainnya ialah memasukkan informasi terkait pengembangan ekonomi pulau terpencil itu ke dalam anjungan belajar, seperti penanganan hasil laut, pengenalan pariwisata, dan pelestarian lingkungan bahari. Warga dewasa dapat memanfaatkannya guna memajukan perekonomian desanya.

Walau menghadapi kendala administrasi atau birokrasi, seperti dampak ”perceraian” pendidikan tinggi (di Kemristek dan Dikti) dengan pendidikan dasar dan menengah dan juga pendidikan informal (di Kemdikbud), demi anak-anak di daerah terpencil, sekarang sudah semestinya mengutamakan kerja sama lintas kementerian demi terwujudnya anjungan belajar di daerah terpencil ini.

Kita tentunya tak pernah ragu bahwa anak-anak di daerah terpencil di Nusantara ini mampu belajar mandiri, tak kalah dibanding teman sebayanya di penjuru dunia lain. Malahan, boleh jadi anak di lingkungan yang didesain untuk swaajar akan lebih efektif belajar mandiri, walau dengan jajaran pengajar tak lengkap, ketimbang diajar asal-asalan oleh pengajar tak kompeten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar