Rapor
Pengampunan Pajak
Muhammad Syarif Hidayatullah ; Peneliti Wiratama Institute
|
KOMPAS, 05 April 2017
Tanggal 31 Maret 2017 merupakan hari terakhir pelaksanaan
kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Pemerintah, melalui Presiden Joko
Widodo dan sejumlah menterinya, berulang kali menyatakan kebijakan ini sukses
besar.
Parameter utama yang dipakai pemerintah adalah jumlah uang
tebusan yang didapatkan Indonesia merupakan paling tinggi sepanjang sejarah
pelaksanaan amnesti pajak di dunia.
Ketika kebijakan ini dirancang, pemerintah memiliki tiga
sasaran utama. Pertama, menambah pendapatan perpajakan di Indonesia sehingga
dapat sedikit menutup defisit anggaran. Kedua, menarik dana dari luar negeri.
Ketiga, kebijakan ini diharapkan dapat memperluas basis perpajakan yang pada
akhirnya dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia.
"Crowding Out"
Mari kita bahas satu demi satu parameter yang sudah
ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Pertama, pemerintah menargetkan tambahan
pendapatan pajak Rp 165 triliun dari kebijakan ini. Bahkan, pada awalnya,
angka Rp 165 triliun merupakan tambahan pendapatan perpajakan untuk tahun
2016.
Akan tetapi, target tersebut dijadikan target selama
program pengampunan pajak berjalan. Angka terakhir menunjukkan bahwa jumlah
uang tebusan yang masuk hanya Rp 135 triliun atau 81 persen dari target yang
sudah dicanangkan. Melesetnya target tersebut tentu berimplikasi ke APBN yang
sedang berjalan. Apabila angka tersebut sudah dimasukkan sebagai target
pendapatan, ketika tidak tercapai, kekurangan sebesar Rp 30 triliun harus
ditambal, baik melalui penambahan defisit (utang) maupun mengurangi pos
belanja.
Kedua, pada berbagai kesempatan, pemerintah selalu
menyatakan bahwa kebijakan pengampunan pajak ini penting untuk menarik dana
orang Indonesia yang disimpan di luar negeri. Pada awalnya pemerintah
menyatakan bahwa terdapat Rp 11.000 triliun dana yang tersimpan di luar
negeri. Angka ini diturunkan sehingga mendekati perkiraan illicit fund
Indonesia yang dihitung oleh Bank Dunia, yaitu Rp 4.000 triliun.
Data terakhir menunjukkan bahwa dana repatriasi hanya
mencapai Rp 147 triliun atau sekitar 4 persen dari potensi yang ada.
Rendahnya dana repatriasi disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, waktu yang
diperlukan untuk mencairkan aset yang berbentuk fisik. Kedua, tarif
repatriasi dan deklarasi luar negeri hanya selisih 1-2 persen. Hal tersebut
menjadi insentif seseorang untuk sekadar mendeklarasikan asetnya di luar
negeri, tanpa perlu membawa dana tersebut kembali ke Indonesia.
Ketiga, basis pajak. Parameter ketiga ini pada dasarnya
belum dapat dibuktikan karena kita harus melihat rasio pajak Indonesia pada
tahun 2017 untuk melihat seberapa besar dampaknya. Akan tetapi, perlu
diingat, sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa kebijakan amnesti
pajak tidak akan berpengaruh besar terhadap rasio pajak.
Dalam estimasi Luite dan Sobel (2007) dengan menggunakan
data amnesti pajak di Amerika Serikat, pada periode pelaksanaan amnesti,
pendapatan akan meningkat 4-5 persen. Akan tetapi, pada periode selanjutnya
akan menurunkan kepatuhan pajak 2 persen per periodenya.
Berdasarkan parameter-parameter di atas, terlihat bahwa
kebijakan pengampunan pajak belum berhasil mencapai semua sasaran yang
ditetapkan sebelumnya. Pemerintah juga harus menanggung sejumlah biaya dari
kebijakan ini karena sebagaimana umumnya kebijakan selalu ada biaya yang harus
ditanggung. Dalam konteks kebijakan pengampunan pajak, salah satunya adalah
tertumpuknya (crowding out) penerimaan pajak.
Kebijakan pengampunan pajak dapat crowding out penerimaan
perpajakan tahun 2016. Apabila pendapatan perpajakan dari dana tebusan kita
keluarkan, kita akan mendapatkan bahwa realisasi pendapatan pajak kita tumbuh
negatif 4,8 persen.
Perlu diingat, pada 10 tahun terakhir, rata-rata
pertumbuhan pendapatan pajak Indonesia mencapai 12 persen per tahun. Dua
tahun terakhir ketika harga komoditas mengalami kelesuan, pertumbuhan
pendapatan pajak masih 5-8 persen. Artinya, realisasi pendapatan pajak
Indonesia tumbuh 10-12 persen di bawah potensi atau pemerintah mengalami
kehilangan potensi (loss) Rp 110 triliun-Rp 130 triliun. Besarnya loss itu
menjadi ironis karena angka ini kurang lebih sama dibandingkan dengan
tambahan pendapatan pemerintah dari pembayaran tebusan.
Terdapat dua mekanisme crowding out. Pertama, kebijakan
pengampunan pajak dapat menghilangkan potensi pemasukan dari tunggakan
perpajakan. Pada tahun 2015, nilai bersih yang berhasil direalisasikan Rp
39,5 triliun, meningkat dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar Rp 22,5
triliun. Kebijakan pengampunan pajak menghapuskan potensi tersebut karena,
berdasarkan undang-undang, sanksi administrasi dan denda perpajakan
dihapuskan.
Kedua, berkurangnya kepatuhan wajib pajak yang selama ini
jujur. Pembayar pajak yang patuh (honest tax payer) akan kecewa karena mereka
tidak diuntungkan dari kebijakan ini sehingga pada akhirnya menurunkan
tingkat kepatuhan pajak di masa yang akan datang (Leonard dan Zeckhauser,
1987, Luitel dan Tosun, 2014).
Nar (2015) juga berargumen bahwa selain kecewa, pembayar
pajak yang jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat
amnesti pajak akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang.
Hal tersebut bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur untuk ikut
melakukan pengemplangan.
Langkah ke depan
Sebagaimana kata pepatah lama, nasi sudah menjadi bubur,
yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membuat bubur menjadi enak. Kebijakan
pengampunan pajak sudah berjalan. Dengan segala kekurangan dan celah
perpajakan yang diciptakannya, pemerintah harus mempersiapkan langkah ke
depan.
Pertama, pertukaran informasi secara otomatis antarnegara
di seluruh dunia (automatic exchange of information/AEoI). AEoI memang
meniupkan asa baru dalam dunia perpajakan. Dari 101 negara yang berkomitmen
melaksanakan AEoI pada 2017-2018, hanya 12 negara yang belum memenuhi
persyaratan, salah satunya Indonesia. Pada laporan terakhir yang diterbitkan,
status Indonesia masih partly comply karena peraturan yang ada di Indonesia
masih belum mendukung untuk pelaksanaan AEoI.
Agar AEoI dapat berjalan di Indonesia, sejumlah regulasi
harus direvisi. Pada tingkatan undang-undang (UU), setidaknya terdapat empat
UU yang perlu direvisi, yaitu UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Perbankan, UU
Perbankan Syariah, dan UU Pasar Modal. Revisi pada UU tersebut dibutuhkan
agar mekanisme pertukaran informasi antara Ditjen Pajak dan institusi
keuangan dapat berjalan.
Kedua, RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Keberadaan Revisi UU KUP menjadi penting, selain sebagai bentuk persyaratan
untuk AEoI, revisi dibutuhkan untuk memastikan berjalannya reformasi
perpajakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar