Negara
dan Minoritas
Yossa Nainggolan ; Peneliti Komnas HAM dan Sekjen
Asosiasi;
Alumni Program Beasiswa
Amerika-Indonesia (ALPHA-I)
|
KOMPAS, 04 April 2017
Kebijakan Executive Order Presiden Amerika Serikat Donald
Trump yang melarang imigran Muslim asal tujuh negara masuk wilayah AS telah
banyak dikecam. Setiap orang pada hakikatnya bebas dari perlakuan
diskriminatif. Artinya, pemeriksaan superketat di semua bandara internasional
dan ruang publik di AS setelah pemberlakuan kebijakan tersebut pada 27
Januari 2016 merupakan sebuah pelanggaran atas prinsip dasar kemanusiaan.
Kebijakan kontroversial AS tersebut adalah sebuah ilustrasi di mana perlakuan
diskriminatif terhadap sekelompok orang atas dasar tertentu disokong oleh
negara dan sekelompok orang dimaksud adalah umat Muslim yang merupakan
kelompok minoritas di AS.
Perhatian komunitas dunia terhadap kelompok minoritas
dimulai pasca-Perang Dunia I. Saat itu, negara-negara pemenang perang,
terutama di Eropa tengah dan timur, menyelesaikan kasus per kasus kelompok
minoritas secara internal dan bilateral. Selanjutnya, sebaran kelompok
minoritas yang semakin luas dan beririsan di lintas negara mengalihkan
penyelesaian persoalan kelompok minoritas ke pendekatan universal, dan itu
terjadi setelah Perang Dunia II.
Sampai saat ini, hampir tidak ada negara tanpa kelompok
minoritas. Orang Albania adalah kelompok minoritas di Yugoslavia karena
etnisitasnya. Adapun orang Hispanik (keturunan Amerika Selatan/Amerika Latin)
menjadi kelompok minoritas di AS didasarkan karena perbedaan kelas ekonomi
dan politik. Suku Maori di Selandia Baru karena status mereka sebagai
masyarakat adat.
Warga Quebec di Kanada menjadi kelompok minoritas karena
bahasa Inggris yang mereka gunakan berbeda dengan warga mayoritas yang
menggunakan bahasa Perancis. Di dataran Asia, Rohingya di Myanmar dan Uighurs
di China masuk kategori kelompok minoritas berkenaan dengan agama dan
keyakinan yang mereka anut.
Unsur dan ciri
Salah satu referensi mengidentifikasi kelompok minoritas
mengacu pada deskripsi unsur dan ciri yang disampaikan Francesco Carportoti,
pelapor khusus PBB pada 1971, yang menangani masyarakat adat, agama, dan
bahasa. Menurut dia, ada lima unsur dan ciri penentuan kelompok minoritas.
Pertama, dalam konteks nasional berjumlah lebih sedikit
dibandingkan jumlah penduduk selebihnya di suatu negara. Kedua, berada pada
situasi tak menguntungkan. Ketiga, tak berposisi dominan dalam kehidupan
bernegara dan/atau bermasyarakat. Keempat, berbeda secara etnis, agama, dan bahasa
dengan penduduk selebihnya. Kelima, memiliki rasa solidaritas kelompok untuk
mempertahankan budaya, tradisi, agama, dan bahasa.
Kelima unsur dan ciri di atas harus dipenuhi untuk dapat
mengidentifikasi sebuah kelompok minoritas.
Suku Amungme di Papua, suku Punan di Kalimantan, suku
Nuaulu di Maluku, dan banyak suku lain di Indonesia merupakan kelompok
minoritas. Mereka masih menjalankan tradisi dan ritual leluhur sebagai
pengikat solidaritas. Keyakinan yang dianut erat dengan kepercayaan
tradisional/kuno dan komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa ibu yang
berasal dari tradisi turun-temurun. Dan yang tidak bisa dibantah,
ketidakberpihakan negara terhadap masyarakat adat membawa situasi yang tidak
menguntungkan bagi mereka, di antaranya kebijakan izin usaha pertambangan
yang tidak berpihak kepada masyarakat adat.
Warga etnis Tionghoa juga masuk dalam kelompok minoritas.
Dalam konteks nasional, jumlah mereka memang tidak lebih dari 1,20 persen
penduduk Indonesia (BPS, 2010); tradisi dan ritual leluhur (Imlek, Cap Gomeh,
dan lainnya) masih mereka jalankan; dan dalam keseharian mereka sebagian
besar masih mempraktikkan bahasa Tionghoa/Mandarin.
Dalam kehidupan bernegara, warga etnis Tionghoa tak
seberuntung warga negara lainnya, kepada mereka masih saja dimintakan Surat
Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) dalam pengurusan layanan publik.
Kelompok ini juga masih mengalami diskriminasi di sektor politik. Kasus
penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama diduga kuat mengandung unsur
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Kelompok agama dan keyakinan berbasis lokal juga dapat
diidentifikasi sebagai kelompok minoritas. Persoalan layanan administrasi
publik (sulitnya mendapatkan KTP dan dokumen akta kelahiran dan perkawinan)
merupakan imbas atas belum diakuinya identitas agama dan keyakinan mereka. Di
sisi lain, pemerintah justru memanfaatkan tradisi yang mereka miliki sebagai
aset (wisata) untuk menaikkan pamor budaya dan pemasukan anggaran.
Upacara seren taun sebagai ucapan syukur atas panen yang
diselenggarakan setiap tahun oleh penganut Sunda Wiwitan menjadi salah satu
contoh sekaligus simbol solidaritas masyarakat adat yang masih menjalankan
tradisi-tradisi leluhur
Salah kaprah dan kritik
Identifikasi kelompok minoritas berdasarkan makna leksikal
minoritas, yakni jumlahnya yang lebih sedikit daripada penduduk selebihnya
adalah salah kaprah. Peristiwa pembakaran masjid di Tolikara, Papua, pada
2015 bisa dijadikan contoh kekeliruan terkait identifikasi kelompok
minoritas. Merujuk pada unsur dan ciri "jumlah yang sedikit pada konteks
nasional", jumlah umat Muslim yang sedikit di Papua tidak menjadikan
mereka sebagai kelompok minoritas.
Meski demikian, unsur dan ciri kelompok minoritas ala
Carportoti perlu dikritisi. Etnis Tionghoa, jika ditilik realitas, merupakan
kelompok yang cukup dominan di masyarakat, terutama pada sektor ekonomi. Data
dari beberapa sumber mengklaim, warga etnis Tionghoa berkontribusi kurang
lebih 80 persen dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
Lainnya, umat-umat beragama Kristen, Katolik, Buddha,
Hindu, dan Khonghucu sebagai agama yang "diakui" negara secara
jumlah (masing-masing) tidak lebih dari 10 persen; situasi yang tidak
menguntungkan terjadi saat menjalankan ibadat di mana beberapa di antaranya
tidak diperkenankan untuk mendirikan rumah ibadat. Namun, apakah mereka tidak
bisa dikategorikan kelompok minoritas? Hanya karena ikatan solidaritas yang
mereka jalankan hanya terjadi saat mereka beribadat dan tidak terkait
tradisi, budaya, dan bahasa?
Meski terdapat kritikan, deskripsi Carportoti cukup
komprehensif untuk mengidentifikasi kelompok minoritas di Indonesia. Terdapat
dua materi yang relevan memperkuat identifikasi kelompok minoritas terutama
untuk menggambarkan unsur dan ciri "situasi yang tidak menguntungkan',
yakni pemaksaan terselubung (indirect coercion) dan multidiskriminasi.
"Situasi yang tidak menguntungkan" yang dialami kelompok minoritas
bisa menjadi salah satu unsur dan ciri yang diprioritaskan dalam
mengidentifikasi kelompok minoritas dibandingkan dengan unsur dan ciri
lainnya.
Pemaksaan terselubung
Pemaksaan terselubung berbeda pengertiannya dengan
diskriminasi. Sebagai ilustrasi, diskriminasi terhadap orang kulit hitam di
AS yang fenomenal terjadi di sektor pendidikan pada masa Presiden Eisenhower
(1957). Saat itu Gubernur Arkansas menghalangi sembilan siswa Afrika-Amerika
untuk masuk ke sekolah menengah atas di Little Rock Central karena warna
kulit mereka yang berbeda.
Situasi tersebut memperlihatkan perlakuan yang membedakan
dan tidak dimaksudkan untuk memaksa orang kulit hitam untuk berubah menjadi
orang kulit putih agar dapat bersekolah. Diawali dengan perlakuan membedakan,
pemaksaan terselubung mengarah pada pemaksaan secara tidak langsung kepada
individu untuk berubah.
Pemaksaan terselubung dialami penganut ajaran Parmalim di
Sumatera Utara dan beberapa penganut agama dan keyakinan lain berbasis lokal.
Mereka kerap dimintakan untuk mengisi kolom agama sesuai dengan agama yang
"diakui' negara atau jika tidak berkenan mereka diminta untuk
mengosongkan kolom agama. Praktik ini masih terjadi dan situasi yang sama
kemungkinan dialami juga oleh penganut/kelompok agama dan keyakinan yang
memiliki aliran (sekte) berbeda dengan ajaran arus utama (mainstream).
Pemaksaan terselubung lainnya dialami anak-anak suku Nuaulu
yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, di Pulau Seram, Maluku. Mereka diminta
mengikuti pelajaran agama dari salah satu agama yang "diakui"
negara meskipun dalam kesehariannya mereka menganut agama dan keyakinan
leluhur yang memercayai Upu Kuanahatana (adanya pencipta).
Multidiskriminasi terjadi pada individu tertentu dalam
kelompok minoritas. Penganut Sunda Wiwitan tidak saja mendapatkan
diskriminasi dalam pengurusan dokumen kependudukan (KTP dan akta
kelahiran/perkawinan), anak-anak mereka pun tidak jarang mengalami perlakuan
berbeda dari sesama siswa, guru, dan petugas sekolah lainnya. Begitupun
perempuan penganut Sunda Wiwitan yang menurut pengakuan mereka, diskriminasi
di ruang-ruang publik (pasar, puskesmas) kerap mereka alami.
Di belahan dunia lain, Tanzania dan Burundi, menggambarkan
di suku-suku tertentu, mereka yang lahir dengan kondisi albino (kelainan
pigmen) dianggap kutukan dan harus dimusnahkan. Hal yang sama juga dialami
mereka yang menderita kusta di mana penderita kusta adalah kutukan, sehingga
meskipun sudah pulih mereka akan tetap diasingkan dari keluarga dan komunitas
adat.
Agenda politik
Idealnya, segregasi minoritas dan mayoritas tidak perlu
ada, terlebih Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku, etnis, agama, dan
golongan. Namun, realitas memperlihatkan ketertinggalan di banyak sektor
pembangunan yang dialami kelompok-kelompok minoritas. Agenda politik ke depan
adalah mengidentifikasi kelompok minoritas dengan berorientasi pada pemberian
pengakuan atas eksistensinya.
Harapan ke depan, kelompok minoritas bisa memiliki kartu
identitas, akta perkawinan dan kelahiran sesuai agama dan keyakinan yang
dianut, bisa menjalankan ibadat tanpa hambatan, bisa hidup dan tinggal di
tanah adatnya dengan menjalankan tradisi (budaya), anak-anak bisa bersekolah
dengan baik, dan yang terutama mereka dapat berkontribusi dalam pembangunan
bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar