Wibawa
dan Penyelenggaraan Pemilu
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum Tata Negara;
Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
FH, Universitas Andalas
|
KOMPAS,
26 Maret 2014
BEBERAPA
saat setelah sesi akhir penyampaian laporan awal dana kampanye ditutup, KPU
mengumumkan sejumlah peserta pemilu yang didiskualifikasi. Untuk partai
politik, sembilan dari 12 parpol peserta pemilu dibatalkan di 25
kabupaten/kota. Selain itu, terdapat 35 calon anggota DPD diberi sanksi yang
sama.
Sanksi
pembatalan dijatuhkan lantaran parpol tidak memberikan laporan awal dan
rekening khusus dana kampanye pada tenggat waktu yang ditentukan. Pengalaman
serupa juga pernah terjadi pada Pemilu 2009. Kala itu, KPU menjatuhkan sanksi
pembatalan kepada parpol peserta pemilu di 61 daerah kabupaten/kota dan 15
calon anggota DPD se-Indonesia.
Sekalipun
keputusan penjatuhan sanksi belum final, langkah KPU patut diapresiasi.
Setidaknya kebijakan itu menunjukkan masih ada ketegasan bagi pelanggar
aturan pemilu.
Sebaliknya,
bagi peserta pemilu yang terkena sanksi, ketidakfinalan keputusan KPU membuka
kesempatan bagi mereka untuk mengajukan keberatan melalui Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Dengan demikian, KPU masih harus bekerja untuk
mempertahankan keputusan di tengah gempuran peserta pemilu dan kemungkinan
perbedaan persepsi dengan Bawaslu.
Dua celah
Belajar
dari pengalaman penyelesaian sengketa tahapan pemilu sebelumnya, proses yang
dilakukan Bawaslu kerap dihiasi perbedaan pandangan dengan KPU terkait
aturan. Bahkan, peraturan dan edaran KPU sebagai peraturan pelaksana dalam
penyelenggaraan pemilu cenderung dikesampingkan dalam penyelesaian sengketa.
Hal yang sama berpotensi terjadi kembali dalam penyelesaian sengketa
pelaporan awal dana kampanye. Setidaknya ada dua celah yang terbuka.
Pertama,
terkait makna 14 hari dalam UU No 8/2012. UU tersebut menyatakan, setiap
peserta pemilu sudah harus menyerahkan laporan awal selambat-lambatnya 14
hari sebelum hari pertama kampanye rapat umum.
Dalam
Peraturan KPU Nomor 17/2013, kata ”hari” diartikan sebagai hari kalender.
Penjelasan demikian hanya dapat menjawab pertanyaan apakah laporan awal dana
kampanye dapat dilakukan pada hari libur atau tidak, sementara tenggat akhir
jam penyerahan laporan tidak terjawab dengan norma yang ada. Kondisi demikian
mengharuskan KPU menjawabnya melalui peraturan kebijakan (beleidsregels)
berbentuk surat edaran yang menentukan tenggat waktu penyerahan laporan
adalah pukul 18.00 WIB/Wita/WIT pada hari akhir penyerahan laporan awal dana
kampanye.
Sekalipun
penentuan tenggat akhir dimaksud sepenuhnya menjadi kewenangan KPU dan
tentunya telah diketahui setiap peserta pemilu, batasan waktu tersebut tetap
rentan dipersoalkan. Sebab, untuk selamat dari sanksi yang telah dijatuhkan,
makna ”hari” akan dapat disetir sehingga dimaknai batas akhir jatuh pada
pukul 00.00 WIB/Wita/WIT. Dengan konstruksi argumen seperti itu, melalui
permohonan penyelesaian sengketa, Bawaslu akan ”dipaksa” menjatuhkan putusan
menguntungkan bagi parpol peserta pemilu.
Kedua,
perbedaan sudut pandang antar-penyelenggara pemilu dalam menilai persoalan
hukum pemilu. Di satu sisi, KPU—sesuai dengan tugasnya—selalu berangkat dari
kepastian terpenuhi atau tidaknya administrasi pemilu, termasuk misalnya
tenggat akhir penyerahan laporan awal dana kampanye. Dalam arti, KPU begitu
formalistis dalam setiap keputusannya. Di sisi lain, Bawaslu sebagai
penyelesai sengketa cenderung memberikan penilaian negatif terhadap
formalitas penyelenggaraan pemilu oleh KPU. Bahkan, Bawaslu acap keluar dari
aturan-aturan teknis yang dipedomani KPU dalam pengambilan keputusan. Alhasil
keputusan-keputusan Bawaslu sering berseberangan dengan apa yang telah
diputus KPU.
Kali
ini, Bawaslu dengan kebiasaannya yang berpotensi menabrak surat edaran KPU
yang secara rigit menentukan batas waktu. Langkah tersebut akan membuka
kembali ruang pencabutan keputusan pembatalan peserta pemilu yang sebelumnya
telah dijatuhkan.
Batas demarkasi
Dua
celah di atas berpeluang untuk dimanfaatkan parpol yang sudah dikenai sanksi
untuk kembali ke arena kontestasi Pemilu 2014. Atas alasan itu, demi
mewujudkan pemilu yang jujur dan berwibawa, celah tersebut mesti ditutup.
Dalam hal ini, kesamaan pandangan antara KPU dan Bawaslu amat diperlukan.
Penentuan
tenggat akhir penyerahan laporan awal dana kampanye mesti dipahami dalam
konteks yang sama. Tolok ukur yang digunakan KPU dalam menjatuhkan sanksi
juga mesti digunakan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Sekalipun dasarnya
hanya sebuah peraturan kebijakan, secara hukum kebijakan tersebut adalah sah
dan harus dipakai sebagai panduan dalam penyelesaian persoalan hukum pemilu.
Lagi
pula penyelesaian sengketa pemilu jangan dimaknai sebagai proses mencari win-win solution antara KPU dan
peserta pemilu. Penyelesaian sengketa merupakan proses untuk menguji apakah
langkah yang ditempuh KPU telah sesuai ketentuan yang ada atau apakah KPU
bertindak sewenang-wenang. Dalam konteks ini hanya pelanggaran dan
kesewenang-wenanganlah yang dapat membenarkan Bawaslu mengabulkan permohonan
parpol yang terkena sanksi pembatalan. Selebihnya segala ruang mesti ditutup.
Batas
demarkasi semacam itu perlu dibuat agar penyelesaian sengketa pemilu tidak
dimanfaatkan sebagai proses pencucian dosa pemilu yang telanjur dilakukan.
Pada saat bersamaan, hal itu diperlukan guna menyinergikan langkah Bawaslu
dan KPU dalam mengawal setiap tahapan pemilu. Sebab, hanya dengan cara itulah
kemudian kepastian hukum dan kewibawaan penyelenggaraan pemilu dapat dijaga
punggawanya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar