Kampanye
Tanpa Anak-anak
Arbai ; Alumnus S2 MM, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,
Guru SMPN 1 Kluet Timur, Aceh Selatan
|
SINAR
HARAPAN, 26 Maret 2014
Waktu
kampanye terbuka telah mulai sejak 16 Maret. Namun, kampanye masih saja
diwarnai berbagai pelanggaran. Seperti diberitakan berbagai media lokal
maupun nasional pada hari pembukaan kampanye, masih ditemukan berbagai partai
yang melibatkan anak-anak dalam kampanye.
Mengikutsertakan
anak-anak dalam kampanye merupakan sebuah pelanggaran yang dari tahun ke
tahun terus terjadi. Padahal, aturan secara tegas menyatakan anak-anak yang
notabene belum memiliki hak pilih tidak boleh disertakan dalam kegiatan kampanye.
Peraturan
Komisi Pemilihan Umum No 15/2013 menyebutkan secara tegas pada Pasal 32 Ayat
1, partai politik dilarang memobilisasi warga negara yang belum memenuhi
syarat sebagai pemilih. UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak pun mengancam
pelanggarnya dengan sanksi pidana lima tahun dan/atau denda Rp 100 juta.
Sungguh
mulai aturan itu dibuat, pertanyaannya mengapa partai mengabaikan begitu saja
peraturan yang ada? Anak yang masih lemah dan rentan pada tindakan kekerasan
tidak seharusnya berada dalam panggung kampanye atau di lapangan terbuka
mendengarkan orasi politik. Biarkan mereka pada dunianya, dunia bermain.
Mereka belum saatnya terlibat urusan politik.
Namun,
hal ini tetap saja dilanggar. Ini patut disayangkan partai yang seyogianya
turut menegakkan aturan dan seharusnya menjadi contoh teladan, malah ikut
memberikan contoh yang tidak taat aturan.
Menjadi
sebuah ironis, sebab banyak partai pada saat kampanye mengusung jargon-jargon
yang mengangkat isu anak-anak. Isu ini, misalnya pendidikan gratis, gizi
buruk, hingga akan memberikan perlindungan maksimal kepada anak-anak jika
memenangi pemilu.
Jargon-jargon
itu terasa kian tidak bermakna dan hambar. Faktanya di saat yang sama,
anak-anak masih dijadikan objek kampanye. Berbagai alasan pun mengemuka, ada
partai yang membela diri dengan memberikan alasan, melibatkan anak dalam
kampanye sebagai upaya penanaman ideologi partai sejak dini.
Alasan
lainnya adalah sebagai upaya menarik simpatisan yang lebih banyak. Alasan apa
pun yang dikemukan tentunya tidak dapat diterima, sebab aturan harus ditaati
dan dilaksanakan.
Adanya
anak-anak yang terlibat dalam kampanye tentu saja akan mendatangkan ancaman
terutama tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. Itu karena
tidak ada jaminan kampanye terbuka akan berlangsung aman dan terkendali.
Lihat
saja, misalnya, konvoi atau iringan-iringan yang melibatkan simpatisan
berbagai partai. Kadang-kadang mereka tidak mematuhi berbagai aturan dalam
berlalu lintas. Selain mengundang bahaya, juga memberikan pembelajaran yang
tidak mendidik kepada anak.
Ancaman
secara psikis pun tak terhindarkan. Perasaan takut atau cemas akan
menghampiri anak-anak ketika kampanye tidak dilakukan dengan tertib, apalagi
yang berujung pada tindakan kekerasan. Apa yang mereka rasakan akan terus
membekas dalam diri seorang anak. Perasaan mereka akan terus dihantui
perasaan takut sehingga ini mungkin saja bisa mengganggu tahapan-tahapan
perkembangan dalam diri anak.
Melibatkan
anak yang belum cukup umur dalam kampanye juga bagian dari tindakan kekerasan
simbolis. Itu karena mereka belum mengerti benar tentang seluk-beluk dunia
politik. Mereka juga secara tidak langsung dipaksa untuk menjadi orang
dewasa. Padahal, kemampuan dan cara berpikir anak-anak belum mampu mencapai
taraf itu.
“Pemaksaan”
ini bagian dari tindakan kekerasan simbolis. Oleh sebab itu, sudah saatnya
pihak yang berwenang mengawasi pemilu, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
bertindak. Pembiaran tidak boleh terjadi, sebab jika tidak ditindak bukan
saja merugikan anak-anak, melainkan juga akan memicu berbagai pelanggaran
lainnya. Hukum harus ditegakkan, tidak boleh pandang bulu, partai apa pun,
berkuasa atau tidak.
Bawaslu
juga mestinya lebih proaktif mencegah anak-anak dilibatkan dalam kegiatan
politik. Bawaslu harus lebih serius dan intens dalam melakukan tindakan
pencegahan. Apa pun alasannya, anak-anak harus diselamatkan.
Pemerintah
jangan tutup mata dan menyerahkan begitu saja pada badan atau lembaga yang
ada. Mereka juga harus berperan aktif memberikan jaminan kepada anak akan
perlindungan dan keselamatan mereka. Anak-anak jangan dibiarkan ikut atau
dijadikan sebagai objek dalam masa kampanye terbuka.
Para
orang tua dan masyarakat luas juga bisa ikut berperan aktif dalam mencegah
anak-anak ikut kampanye. Terlampau besar taruhannya jika orang tuanya
membiarkan anak-anak mereka terlibat kampanye. Jatuhnya korban di masa lalu
adalah pelajaran berharga. Anak-anak, bagaimanapun keadaannya, merupakan
kelompok rentan yang masih membutuhkan perlindungan.
Lalu,
yang tak kalah penting adalah tanggung jawab partai. Partai harus punya
kesadaran hukum dan taat aturan. Partai juga sudah seharusnya memberikan
teladan dalam menegakkan aturan. Oleh karena itu, dalam kampanye terbuka
sudah saatnya tidak melibatkan anak-anak. Jika ingin dikatakan partai yang
taat aturan, inilah waktu yang tepat.
Kesadaran
kolektif pemerintah, Bawaslu, orang tua, masyarakat, dan partai politik untuk
tidak membiarkan anak terlibat dalam kampanye, merupakan sebuah harapan yang
ditunggu-tunggu. Hal itu karena membiarkan anak-anak terlibat dalam kampanye,
sama artinya menjerumuskan anak-anak dalam praktik kekerasan.
Akhir
kata, anak merupakan makhluk yang lemah dan rentan dari tindakan kekerasan.
Mereka masih membutuhkkan perlindungan dari berbagai pihak. Sebagai penerus
masa depan bangsa kelak, mereka berhak atas perlindungan dan perhatian kita
semua. Satu di antaranya tidak menyeret-nyeret mereka dalam dunia politik,
apalagi yang berbau kekerasan dan menghalalkan segala cara. Tentu itu akan
berdampak panjang bagi mereka. Apa pun ceritanya, anak-anak harus
diselamatkan. Kita mengharapkan ke depannya kampanye tanpa anak-anak yang
ikut di dalamnya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar