Akar
Pembakaran Hutan
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Unika Santo Thomas, Sumatra Utara
|
KORAN
JAKARTA, 26 Maret 2014
Baru-baru
ini, masyarakat di wilayah Riau dan sekitarnya dikepung kabut asap. Hutan
yang terbakar sudah lebih dari 11.000 hektare (ha). Tidak saja sejumlah
penerbangan yang dibatalkan, sekolah juga diliburkan karena udara yang sangat
tidak sehat sehingga mengganggu pelihatan dan pernapasan.
Awalnya,
penjarahan kayu, lantas hutan yang sudah ditebangi secara liar itu sengaja
dibakar sekelompok warga yang akan dijadikan areal perkebunan kelapa sawit.
Kebakaran paling luas berada di kawasan Bengkalis mencapai sekitar 3.000 hektare.
Menyusul di Kabupaten Kepulauan Meranti lebih dari 2.500 hektare dan di
sejumlah kabupaten lainnya serta di kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam
Siak Kecil.
Padahal,
Cagar Biosfer adalah kawasan tertutup yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2009
sebagai hutan konservasi, bukan untuk perkebunan. Bencana kabut asap akar
masalahnya bukan disebabkan alam, tetapi ulah manusia sendiri. Manusia
kehilangan etika lingkungan hidup dalam pengelolaan bisnis kelapa sawitnya.
Hutan
seharusnya berfungsi sebagai pemberi kehidupan bagi semua orang, bukan
sebaliknya sebagai sumber bencana dan malapeta asap. Teologi penciptaan
menegaskan tanggung jawab pada sebuah etika lingkungan hidup. Tuhan
menciptakan manusia untuk menguasai dan memelihara Bumi dan segala isinya untuk
dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia dan anak cucunya, bukan sebaliknya
untuk memenuhi kerakusan manusia.
Meski
manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam, dia bukan
pemilik yang semena-mena memeras madu sumber daya hutan untuk pemuas dahaga
kerakusannya. Penguasaan atas hutan harus terkait dengan kesejahteraan yang
berkelanjutan sebagai wujud penguasaan manusia atas alam bukan sebaliknya
menggunduli dan membakar hutan secara membabi buta.
Ekonomi
Seiring
dengan sejarah perjalanan hidup umat manusia yang kian salah arah, sumber
daya alam kini dikuras secara berlebihan demi memuaskan nafsu keserakahannya
terhadap harta. Kini umat manusia telah menjelma menjadi makhluk ekonomi (homo economicus). Makluk ciptaan Tuhan
yang paling berdaya akal budi tinggi ini seharusnya berevolusi menjadi
makhluk budaya (cultural man).
Namun, karena keserakahannya, manusia sudah menjadi “binatang ekonomi”.
Manusia
menjadi serigala bagi yang lain. Binatang ekonomi memandang hanya dirinya
yang subjek dan memandang orang lain hanya sebagai objek. Atas dasar itu,
keserakahan terhadap sumber daya alam dalam bentuk “budaya” bakar hutan
semakin masif. Dampaknya, bencana asap dari budaya bakar hutan di Riau sempat
meluas hingga ke Sumatra Utara dan Sumatra Barat serta memperpanjang
penderitaan warga. Sebelumnya, warga di Sumatra Utara, khususnya di Tanah
Karo, mengalami bencana erupsi Gunung Sinabung.
Sebagian
dari mereka belum pulih untuk bisa menjalani kehidupan yang normal, namun
juga harus berhadapan dengan kabut asap yang semakin mengganggu kesehatan.
Meski belum ada protes dari masyarakat negara-negara tetangga, seperti
Singapura dan Malaysia, makin luasnya kebakaran lahan dari hari ke hari maka
komplain dari negara jiran itu hanya menunggu waktu.
Bencana
asap yang memalukan bukan yang pertama kali, sudah menjadi kalender rutin
tahunan di musim kemarau. Pada tahun 1982, kebakaran hutan hebat pernah
melanda Kalimantan dan terulang lagi tahu1997. Pemerintah kewalahan
menanggulangi bencana sehingga asap yang ditimbulkan “diekspor” ke negara
tetangga, seperti Thailand. Setelah tahun 1997, kebakaran hutan kerap
terulang. Pembukaan lahan untuk tujuan perluasan perkebunan kelapa sawit
kerap dilakukan dengan cara pembakaran.
Metode
kuno ini dinilai sebagian masyarakat sangat praktis, mudah dilakukan, dan
murah. Sayangnya, yang diuntungkan hanya segelintir orang, perusahaan besar
yang bergerak di bisnis kelapa sawit. Kerugian besar yang ditimbulkan dialami
masyarakat luas lainnya. Kehidupan masyarakat kebanyakan sudah terganggu.
Dengan kabut asap yang semakin tebal, beberapa waktu lalu di Riau, membuat
kualitas udara di Kota Pekanbaru sangat buruk.
Nyaris
semua bangunan dan gedung bertingkat sempat dibungkus asap tebal dan tak
terlihat dari jarak 100 meter. Masyarakat Riau meyakini bencana asap kemarin
itu merupakan yang terburuk dalam sejarah peristiwa kabut asap. Kebakaran dan
pembakaran hutan di daerah yang dikenal kaya emas hijau ini selalu terjadi
setiap tahun. Pada setiap awal musim kemarau selalu terjadi kebakaran hutan
bisa karena tindakan pembakaran untuk kepentingan ekspansi perkebunan kelapa
sawit.
Kobaran
api amat mudah menjalar. Kayukayu hasil tebangan liar mengering dan bisa
memicu kian luasnya kebakaran jika tidak ada pengendalian dini. Meski kebakaran
selalu terjadi setiap tahun, pemerintah belum mampu membangun sebuah sistem
yang andal untuk mengendalikan titik api. Pengalaman buruk kebakaran hutan
sebelumnya tidak dijadikan sebagai guru yang baik sehingga membuat penanganan
kebakaran hutan berjalan lambat.
Bencana
asap sudah berlangsung sekitar satu bulan, namun tindakan pemadaman kebakaran
hutan sangat minim. Sebaliknya perhatian pemerintah tersedot untuk persiapan
Pemilu 2014 guna merebut kembali kursi singgasana kekuasaan. Selama ini, pemerintah
belum mau belajar dari sejumlah negara yang piawai menghadapi kebakaran hutan
seperti Australia dan Amerika Serikat. Kedua negara maju ini memiliki danau
yang banyak dan dipelihara dengan baik.
Airnya
yang melimpah sangat dibutuhkan untuk memadamkan kebakaran hutan. Dengan
menggunakan helikopter maupun pesawat terbang khusus, mereka mematikan api
dengan bom air yang berasal dari danau. Berulangnya bencana asap setiap tahun
dan kurangnya perhatian pemerintah untuk tindakan pencegahan kebakaran (pembakaran)
hutan menggambarkan kita sudah mengalami proses perapuhan etika lingkungan
hidup. Kita sedang menjalani proses penggiringan menjadi binatang ekonomi.
Manusia Indonesia patut berevolusi menjalani transformasi, dari manusia
ekonomi menjadi manusia budaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar