Janji
Musyafak ; Staf Balai Litbang Agama Semarang
|
TEMPO.CO,
26 Maret 2014
Politik
tebar janji lumrahnya mencapai titik klimaks ketika masa kampanye terbuka
berlangsung. Namun rakyat Indonesia, yang telah berkali-kali merasakan
kibulan janji-janji politik, tak semudah itu takluk kepada janji para calon
legislator atau politikus partai. Mereka punya "tameng" berbentuk
semboyan bernada kecewa dan muak: rakyat perlu bukti, bukan janji!
Lantas,
apakah politikus yang mempromosikan diri tanpa janji bisa menjadi solusi bagi
nasib bangsa Indonesia ke depan? Dilematis! Di satu sisi, rakyat telah muak
terhadap politikus yang cuma bersemangat mengobral janji. Tapi, di lain sisi,
politik butuh suatu jaminan atas komitmen politikus untuk mendandani pelbagai
persoalan yang dihadapi rakyat.
Senyatanya,
rakyat yang tak lagi percaya kepada janji politik tak selalu kalis dari
muslihat politik. Politikus di Tanah Air kini justru memanfaatkan
ketidakpercayaan rakyat kepada janji semacam itu. Dalam kampanye pemilu
legislatif yang sedang berlangsung kali ini, tak sedikit caleg menyatakan
bahwa dirinya tak mau berjanji tapi ingin memberi bukti.
Jaminan
apa yang bisa diberikan oleh caleg atau calon presiden/calon wakil presiden
yang mengatakan "saya tidak ingin berjanji tapi ingin memberi
bukti"? Justru mengkhawatirkan ketika politik tidak lagi berani memberi
jaminan kepada publik. Politik yang tak berani berjanji memang potensial
menjadi tren di zaman politik yang pragmatis. Politikus sekarang kian
ogah-ogahan mengambil ikatan janji dengan publik karena kurang memberi
kesempatan untuk "mencari untung sambil jalan".
Tanpa
janji, umpamanya, politik hadir di ruang publik dengan tangan kosong. Politik
seolah berjalan tanpa visi-misi dan komitmen. Padahal politik tidak
semestinya "mengalir apa adanya". Apalagi, mengingat situasi
kehidupan berbangsa ke depan yang tak pasti dan sulit diramalkan, setidaknya
politik berinisiatif memberi "kepastian" akan masa depan yang lebih
baik kepada publik. Dalam konteks inilah janji punya arti untuk memberi
kepastian bahwa sang politikus akan bekerja sesuai dengan komitmen awal.
Sejak
mula, janji memang menjadi watak khas bagi politik. Janji menjadi jaminan
atas aspirasi bersama yang mesti dijadikan kehendak bersama. Janji menjadi
peta-jalan agar politik bekerja sesuai dengan rel yang disepakati bersama
oleh rakyat yang berkonsensus.
Tepat
jika Hannah Arendt (1906-1975), seorang teoretisi politik Jerman, memandang
janji bukan sekadar kondisi humanistik yang niscaya, tapi juga kategori
politik. Dalam pandangan Arendt, janji merupakan alternatif untuk
mengantisipasi tindakan yang tidak dapat diprediksi, atau tindakan yang tidak
dapat dipercaya, di dalam politik. Dalam konteks itulah janji berperan
sebagai penjaga sekaligus pengendali tindakan politik. Janji memberi
perlindungan publik atas "kontrak politik" yang disepakati.
Maka,
caleg atau capres/cawapres yang masih berani berjanji patut dihargai. Seturut
dengan itu, politikus yang tak mau berjanji juga bukan berarti lebih unggul
daripada mereka yang sejak awal mengutarakan janji kepada publik. Bisa jadi,
mereka yang tak mau berjanji itu adalah politikus banci yang tak berani
berkomitmen. Namun, terhadap para politikus yang memberi harapan dalam rupa
janji, publik memang sepatutnya waspada. Ya, selalu ada orang-orang khianat
dan ingkar di sehamparan duduk atau sebarisan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar