Crimea,
Menjaga agar Tak Jadi Perang Panas
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional FHUI
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2014
Crimea,
sebuah wilayah di Ukraina, beberapa waktu ini menjadi sorotan dunia.
Pascakejatuhan Viktor Yanukovych sebagai presiden Ukraina, penduduk Crimea
yang terafiliasi dengan Rusia menghendaki adanya referendum untuk menentukan
apakah tetap sebagai bagian dari Ukraina atau bergabung dengan Rusia.
Hasil
referendumnya, sebagaimana telah diduga, mayoritas penduduk Crimea memutuskan
untuk bergabung dengan Rusia. Rusia pun mengakui Crimea sebagai bagian dari
wilayahnya berdasarkan keputusan Dewan Federasi atau Majelis Tinggi Parlemen
Rusia untuk menerima perjanjian dengan Crimea.
Reaksi
Dunia
pun bereaksi. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat mempermasalahkan
referendum yang dilaksanakan. Mereka menganggap hal ini merupakan cara Rusia
untuk melakukan aneksasi terhadap Crimea. Aneksasi dalam hukum internasional
merupakan perolehan wilayah secara tidak sah. Inti permasalahan berujung pada
sah tidaknya penggabungan Crimea ke Rusia. Menurut mayoritas penduduk Crimea
dan pemerintah Rusia, penggabungan ini adalah sah.
Ini
karena ada hak penentuan nasib (right
to self determination) melalui referendum dan selanjutnya dari pemerintah
Rusia telah diakomodasi. Tidak demikian perspektif dari negara-negara Eropa
yang umumnya tergabung dalam Uni Eropa dan AS. Meski proses penggabungan
secara formal telah memenuhi syarat, menurut mereka dari sisi substansi
dianggap ada pemaksaan dari Rusia, apalagi tidak ada keterlibatan dari
pemerintah (Pusat) Ukraina. Ancaman penggunaan kekerasan pun dilakukan oleh
militer Rusia terhadap militer Ukraina. Situasi ini mirip ketika Timor Timur
bergabung ke Indonesia tahun 1976.
Negara-negara
Barat, Eropa dan AS, menganggap proses formal tidak cukup. Beda antara
Indonesia dan Rusia saat ini adalah Indonesia ketika itu dianggap tidak mempunyai
kekuatan yang memadai ketika berhadapan dengan negara-negara Barat. Tentu
tidak demikian bagi Rusia. Rusia sangat mampu untuk menghadapi negara-negara
Barat, baik dalam proses damai maupun tidak damai. Dalam proses damai, Rusia
memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Rusia akan mudah memveto apa pun
resolusi DK PBB yang tidak menguntungkan mereka.
Demikian
pula bila negara-negara Barat hendak menentang tindakan Rusia dengan
menggunakan kekerasan (use of force),
Rusia tidak akan kesulitan untuk menghadapinya. Bahkan bila penggunaan
kekerasan yang berbicara dalam penyelesaian Crimea, bukan tidak mungkin akan
terjadi Perang Dunia III. Perlu diingat bahwa Perang Dunia I terjadi karena
dipicu oleh pembunuhan terhadap Archduke Franz Ferdinand dari Kekaisaran
Austro-Hongaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina.
Peran Indonesia
Posisi
sekarang penyelesaian damai antara AS dan negara-negara Uni Eropa di satu
sisi dengan Rusia di sisi lain, terlihat deadlock.
Pertemuan AS dan Rusia di London tidak menghasilkan solusi. Mencermati
situasi yang ada, Indonesia perlu berperan dalam menghadapi gejolak dunia
yang dapat mengganggu perdamaian. Peran Indonesia didasarkan amanah dari
undang-undang dasar. Amanah berupa turut dalam menjaga perdamaian dunia.
Di awal,
pemerintah memang telah mengingatkan agar negara-negara yang terlibat dalam
urusan Crimea untuk menahan diri dalam menggunakan kekerasan. Penyelesaian
damai didengungkan agar lebih dikedepankan. Namun dalam kondisi sekarang,
jika Indonesia sekadar menyerukan, tentu akan sangat tidak memadai. Apa yang
dapat dilakukan oleh Indonesia mengingat kekuatan Indonesia tidak sebanding
dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik? Meski tidak sebanding,
Indonesia sebenarnya dapat melakukan sejumlah upaya.
Pertama,
Indonesia dapat berperan melalui PBB. Dalam sistem PBB ada Majelis Umum.
Majelis Umum dapat menerbitkan resolusi saat perdamaian terancam. Ini dapat
dilakukan berdasarkan Resolusi 377A yang diputuskan oleh Majelis Umum PBB
pada 1950. Intinya saat Dewan Keamanan tidak mampu menjalankan fungsinya
menjaga perdamaian karena ketidaksepahaman Anggota Tetap, maka Majelis Umum
PBB dapat mengambil alih. Majelis Umum dapat mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi
yang dibutuhkan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan.
Kedua,
Indonesia dapat juga berperan sebagai broker perdamaian dengan menemui
sejumlah pimpinan pemerintahan yang terlibat. Dalam kondisi ketegangan saat
ini dapat dipastikan terjadinya komunikasi yang buntu. Padahal, komunikasi
sangat penting. Di sinilah peran Indonesia bisa dilakukan dalam mencairkan
kebuntuan tersebut. Tentu Indonesia perlu menyiapkan proposal bagi
penyelesaian Crimea dengan mengedepankan saluran diplomatik dan damai.
Ketiga,
Indonesia dapat mengajak Tiongkok dan kekuatan besar lain untuk berkontribusi
dalam peran Indonesia sebagai broker perdamaian. Indonesia juga bisa membawa
ASEAN dan Organisasi Konferensi Islam dalam menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Inti peran Indonesia adalah memastikan agar konflik yang ada
tidak berubah menjadi perang panas.
Perang
panas sudah pasti tidak akan menguntungkan siapa pun. Perang panas justru
akan mengancam perdamaian dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
orang yang mempunyai jaringan luas dengan para pemimpin negara lain dan
piawai dalam kapasitasnya sebagai broker perdamaian sangat diharapkan dalam
penyelesaian Crimea. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar