Alergi
Gol A Gong ; Ketua Umum PP Forum TBM
|
TEMPO.CO,
26 Maret 2014
Saya
sakit keras. Badan panas. Perut mual. Kadang muntah. Setiap kali ke luar
rumah, kedua mata saya panas dan merah, jantung saya berdebar keras. Kemarin
saya pingsan di tempat umum. Istri membawa saya ke dokter. Kedua mata saya
diperiksa.
Kata
dokter, mata saya alergi. Jadi, harus diistirahatkan, tidak boleh melihat
gambar-gambar di jalanan. Apalagi melihat gambar orang lagi tersenyum, mata
saya langsung berair. Produksi air mata saya sedang banyak. Kecuali jika saya
mengambil cara seperti si Badra--si buta dari Gua Hantu--membutakan kedua
matanya dan menyerahkan segalanya kepada hatinya.
Saya
disarankan beristirahat saja di rumah. Kalaupun terpaksa harus ke luar rumah,
kedua mata saya harus ditutup dengan kain hitam. Atau, saya disarankan dokter
pindah ke hutan, terutama Baduy di Banten selatan. Di Baduy masih steril,
tidak ada gambar-gambar iklan makanan, iklan minuman, iklan HP, apalagi
gambar para caleg sedang tersenyum.
Saya
raih tangan istri. Saya perhatikan ruangan dokter ini bersih, tak ada gambar
apa pun.
"Di
mana kami bisa mendapatkan kain hitam itu, Dok?" tanya istri saya,
antusias.
"Kalau
Ibu mau," dokter membuka laci dan menyerahkan kain hitam. "Saya
punya banyak stok. Silakan, free.
Jangan takut, Bapak bukan pasien pertama. Dan Bapak bisa bergabung dengan
perkumpulan kami," dokter mengakui keadaannya.
"Perkumpulan
itu namanya apa, Dok?"
"Orang-orang
biasanya menyebut kami 'goltiblos' atau golongan antinyoblos."
"Bagaimana,
Pah? Mau gabung enggak? Kesehatan Papah lebih utama. Mamah enggak mau Papah
mengambil cara seperti si Badra dari Gua Hantu itu. Mamah masih ingin Papah
menikmati kecantikan wajah dan keindahan tubuh Mamah."
"Kami
tidak langsung menerima saja. Akan ada wawancara dan tes kebohongan. Soalnya,
hari-hari ini 'goltiblos' jadi tren. Banyak orang yang ikut-ikutan,
gaya-gayaan."
"Suami
saya tidak gaya-gayaan, Dok," istri saya menguatkan.
"Ya,
sudah. Sekarang Ibu bawa pulang Bapak, ya. Pakai dulu kain hitamnya supaya
alerginya tidak kambuh. Soalnya, sekeluar dari ruangan saya yang bersih dari
gambar-gambar ini, ibu tahu begitu banyak gambar orang tersenyum di depan
klinik ini."
Saya
mengangguk. Saya langsung meminta istri memasangkan kain hitam, menutupi
kedua mata saya yang sedang alergi. Istri menuntun saya hati-hati ke dalam
mobil. Rasanya nyaman sekali ketika semuanya berwarna hitam. Di dalam mobil,
saya bertanya kepada sopir. "Kenapa kamu sehat-sehat saja? Tidak
mengalami sakit seperti Bapak?" Pertanyaan itu juga saya ajukan kepada
istri.
Jawaban
sopir sangat mengagetkan. "Saya pasrah saja, Pak. Saya adaptasi saja.
Siapa yang baik kepada saya, saya terima. Kedua mata saya tidak alergi, tapi
bisa menyesuaikan."
Sedangkan
jawaban istri saya, "Betul, Pah. Dari dulu Mamah memakai kacamata hitam.
Akhirnya kedua mata Mamah jadi terbiasa. Saran Mamah, Papah pakai kacamata
hitam saja, supaya tidak alergi. Mamah enggak sanggup jika Papah harus pindah
ke Baduy. Kasihan anak-anak kalau harus ikut ke Baduy. Mereka punya hak untuk
menentukan pilihan hidupnya."
Saya
pegangi tangan istri. "Mulai besok, Papah akan memakai kacamata hitam.
Jadi, Papah tidak perlu mengasingkan diri ke Baduy atau bergabung ke
'goltiblos', ya." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar