Memberi
Vs Membeli Suara
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 26 Maret 2014
Pemilihan
umum adalah momentum rakyat menentukan suara, memilih partai yang dipercaya
bakal mampu mewujudkan aspirasi politiknya, atau tokoh yang layak dipercaya.
Dalam memilih, secara umum kita bebas. Kita boleh memilih tokoh dan partai
politik mana yang bisa memperjuangkan kepentingan kita.
Ada
mungkin sedikit konflik; memilih tokoh yang dipercaya dan suara diberikan
padanya, boleh jadi tepat. Orang yang dipercaya itu dianggap tak mungkin
menyimpang dari orientasi politiknya.
Namun,
bagaimana bila orang yang dipercaya tak bakal menyimpang ini, kemudian
ternyata tak berdaya dalam partainya karena berada dalam suatu partai politik
yang haluan politiknya, program-program lapangan, dan garis perjuangannya
sama sekali tak sejalan dengan orientasi politik sang tokoh?
Ini
perkara ruwet. Tak mungkin kita mencari solusi yang nyaman secara sosial dan
terakomodasi baik-baik secara politik. Ini zaman lain; zaman ketika
politikus—terutama politikus baru—mencari perlindungan dari suatu partai
politik, tak peduli apakah partai tersebut sesuai wawasan dan aspirasi
politik sang politikus tadi.
Itu bagi
politikus yang memiliki aspirasi politik dan idealisme tertentu. Banyak
politikus yang pada prinsipnya hanya mencari pekerjaan. Titik. Begitu
sederhana dan praktis. Pintar tapi dungu. Realistis tapi begitu absurd
pandangan dunianya.
Ia bisa
ikut partai politik mana pun, tertama yang kelihatan sejak awal memiliki
potensi besar untuk menang. Ia hanya ikut pada partai politik yang kuat. Ia
sendiri bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Lebih kurang, ia hanya orang
yang begitu mudah kita temukan dalam daftar pencari pekerjaan, jika negara
kita yang besar dan jaya ini memiliki daftar seperti itu.
Orang
seperti ini bukan politikus yang layak diikuti. Apa gunanya memilih orang
yang tak tahu-menahu haluan politik perjuangannya, serta tak mampu menyusun
suatu rencana program lapangan untuk membantu kehidupan warga yang
memilihnya, yang disebut basis konstituennya sendiri? Jangan-jangan ia pun
tidak tahu apa makna konstituen, basis konstituen, dan pendidikan politik
bagi konstituennya?
Kelihatannya,
ini tidak mustahil. Jangankan bagi politikus yang baru sekali terjun ke dunia
pemilihan legislatif, seperti yang bakal terjadi sebulan lagi. Politikus
lama, yang sudah berpengalaman dan berkali-kali memasuki gelanggang politik
seperti itu tapi tidak tahu haluan politik, pun bukan perkara aneh.
Kita
memiliki begitu banyak partai politik yang semua haluan ideologi politik dan
perjuangannya hampir sama. Simbol partai boleh berbeda, warna boleh menyolok
dan masing-masing tidak sama. Tapi, siapa yang bisa membuat suatu basis
ideologi politik yang khas, spesifik, eksklusif, berbeda tajam dari apa yang
dimiliki partai politik yang lain?
Partai
yang berbasis agama, dengan pijakan ideologi “langit” yang tak tersentuh
debu, kenyataan sosiologisnya sama saja dengan partai lain yang berpijak di
Bumi, dipandu orientasi politik kerakyatan, atau kebangsaan, yang tak
menyebut dan tak ada sedikit pun sangkut pautnya dengan agama.
Dalam
situasi macam ini, partai apa yang harus dijadikan kiblat politik, sungguh
tidak jelas. Makin lama, dari partai mana pun mereka datang, tingkah laku,
sikap, dan orientasi politik para politikus sama saja.
Kiblat Politik
Pada
zaman Orde Lama, pemilihan umum memberikan suatu pedoman dasar, kiblat, dan
orientasi politik yang jelas. Kita diminta “memberi” suara pada suatu partai
karena ia tak sama dengan partai lain. Orang masih teringat “nyanyian pemandu
pemilu” yang menggetarkan jiwa dan memberi semangat memilih, yaitu “memberi”
suara pada yang “layak” diberi, dan yang “layak” itu ada. Kita punya pilihan.
Marilah,
marilah, saudara-saudara/Marilah bersama “memberi” suara/Suara saudara
sungguh kuasa/Menentukan dasar, tujuan bersama/Membela Negara, nasional yang
mulia.
Kita
tahu itu momentum eksperimen berpolitik multipartai yang hiruk-pikuk, gegap
gempita, yang pada akhirnya memang membentur jalan buntu; kabinet
jatuh-bangun, kabinet sibuk berpolitik sebagai tujuan politik paling utama,
dan lupa membangun kehidupan yang nyaman dan makmur.
Satu hal
begitu jelasnya pada masa itu, rakyat punya harga diri dan diberi kesempatan
meraih harga diri dalam politik bersih. Politik yang punya basis ideologi
yang jelas tadi, yang menawarkan orientasi perjuangan yang membuat kita
merasa hidup ini berharga dan di dalamnya masih begitu banyak hal yang layak
kita perjuangkan. Jika mungkin—dan dan
memang harus—sampai titik darah penghabisan pun kelihatannya tak begitu
merepotkan. Kita mungkin bahkan menjadi bangga karenanya.
Ada yang
perlu dibela dalam hidup ini. Ada yang masih terasa penting dan layak
menerima pembelaan kita. Dalam pemilu itu kita “memberi” suara, kita
memberikan trust pada suatu partai, pada seorang tokoh, karena mereka layak
merimanya. Dalam pemilu zaman edan sekarang, ketika kita tahu para tokoh
partai bermandikan duit.
Duit
untuk mandi itu bukan hasil kerja keras mereka sendiri, melainkan hasil yang
diraih dan dihimpun pihak lain. Duit dari kantong swasta atau dalam pemerintah
sendiri, apa gunanya kita “memberi” mereka suara? Kita tak lagi sudi
“memberi” mereka suara kita yang begitu berharga. Partisipasi politik dalam
pemilu menurun.
Suara
golput meningkat. Apatisme politik tak bisa lagi dibendung. Mereka yang
apatis itu bukan warga negara yang tak mengerti politik, melainkan
sebaliknya. Apatisme mereka bisa dipahami. Jika perlu, malah harus didukung.
Apatis
itu sikap politik yang sehat, realistis, dan bertanggung jawab pada bangsa,
agar kita tak dijarah para pemimpin serakah, penipu, dan pencoleng yang yang
berpakaian rapi, bersuara lembut, berperilaku sopan. Tapi, pencoleng tetap
pencoleng.
Kalau
mereka tetap menang? Kita tahu mereka menang. Tapi kita tak mendukung
kemenangan mereka. Ini satu cara, satu sikap, satu jalan keluar, yang mukin
buruk.
Cara
lain, sikap lain, jalan keluar lain? Kita tetap tak sudi “memberi” suara pada
mereka. Tapi kita tidak tahu, tiba-tiba mereka bangkit dengan segenap
kesrakahan politik, semua siap “membeli” suara.
“Memberi”
suara, kesukarelaan politik yang sehat, telah dirusak dan kita mogok. Tapi
mereka tak peduli. Saat kita mogok, mereka “membeli” suara. Harga setinggi
apa pun tetap mereka “beli”. Duit ada, mereka bermandikan duit. Apa salahnya
“membeli”?
Salahnya,
kita mengubah roh kehidupan politik, bahkan kita membunuhnya. Politik
“memberi” dulu itu tanda bahwa kita rakyat berdaulat, dengan jiwa mandiri dan
otonom. Politik “membeli” itu menegaskan kedaulatan kita sebagai warga
negara, sebagai pribadi, dengan jiwa mandiri dan otonom, diubah menjadi
sekaleng susu bubuk, selembar kaus buruk, dan beberapa rupiah yang diperoleh
tak harus dengan kerja keras seperti biasanya.
Pergeseran
dari “memberi” ke “membeli” suara dalam pemilu demi pemilu akhir-akhir ini,
selalu berarti sebagai momen penghancuran nilai warga negara dan kemanusiaan
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar