Sejarah
Inisiatif Antikorupsi dan Pemilu 2014
Vishnu Juwono ; Visiting Affiliate, the Asia Research Institute (ARI),
National University of Singapore (NUS);
Kandidat Doktor di London School of Economics (LSE) Bidang
Sejarah Internasional
|
KORAN
SINDO, 25 Maret 2014
Dalam
suatu kesempatan penulis sempat memberikan presentasi berjudul ”Corruption, Anti-Corruption in
Indonesia’s Sukarno Era and Suharto Era: More of the Same?” di Kampus National University of Singapore (NUS)
pada 27 Februari 2014. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menjelaskan
inisiatif anti korupsi di masa Orde Lama dan Orde Baru serta apa yang dapat
dipelajari untuk Pemilu 2014.
Inisiatif
anti Korupsi era Orde Lama
Pada
masa demokrasi parlementer (1950–1959), terdapat perbadaan visi dari Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam buku Decline of Constitutional Democracy (1962), Herbert Feith
mengidentifikasikan Hatta dan para pendukungnya terutama dari Partai Masyumi
dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalam kelompok administrator yang
berorientasi pada kebijakan teknokratis.
Sedangkan
Sukarno dan kelompoknya menginginkan revolusi untuk terus dilanjutkan untuk
melawan kesewenang-wenangan. Feith mengidentifikasikan Sukarno dan
kelompoknya sebagai solidarity makers.
Pada masa demokrasi parlementer, memang diwarnai oleh persaingan keras antara
dua kelompok tersebut—administrator
dan solidarity makers. Namun
akhirnya, solidarity makers unggul
dalam pertarungan politik ini.
Pada
awalnya kelompok administrator dengan didukung oleh Partai Masyumi serta PSI
mempunyai kedudukan yang kuat sejak 1945. Namun, pengaruh politik Hatta dan
koleganya menurun setelah Partai PNI memenangkan pemilu tahun 1955 hingga
akhirnya Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden di tahun 1956.
Tingkah
laku para politisi di masa demokrasi parlementer yang bergaya hidup mewah dan
partai politik terjebak dalam persaingan menguasai sumber dana di
pemerintahan, menurunkan legitimasi partai politik secara keseluruhan. Dengan
kondisi demikian Sukarno didukung oleh angkatan darat pimpinan Jenderal AH
Nasution, memperkenalkan demokrasi terpimpin pada 1959.
Pada
masa demokrasi terpimpin, hubungan antara Sukarno dan AH Nasution memburuk,
di antaranya kurang antusiasnya Nasution mendukung aksi revolusi Sukarno,
seperti pembebasan Irian Barat dan konfrontasi terhadap Malaysia. Puncaknya
dengan dipromosikan Jenderal A Yani menjadi kepala staf angkatan darat pada
tahun 1964 menggantikan Nasution.
Melalui Panitia Retooling Aparatur Negara
(Paran), Nasution melancarkan inisiatif antikorupsi untuk mengembalikan
wibawa tentara yang menurun karena kasus korupsi. Melalui Paran, pejabat
negara diwajibkan melaporkan kekayaannya dan melakukan investigasi terhadap
penyelewengan atas kekayaan negara (Penders
& Sundhaussen, 1985). Namun, inisiatif antikorupsi Nasution melalui
Paran kurang mendapat dukungan politik. Akhirnya Paran dibubarkan pada Mei
1964, dengan demikian berakhir juga inisiatif antikorupsi di masa Orde Lama
tersebut.
Isu Korupsi di Masa Orde Baru
Menjelang
pengalihan kekuasaan dari Presiden Sukarno, Jenderal Suharto yang memimpin
angkatan darat berusaha memperoleh kepercayaan publik, salah satunya terkait
penyelesaian masalah korupsi di masa Orde Lama. Suharto membentuk tim
Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg) untuk memeriksa serta mengumpulkan
berbagai data terkait penyelewengan kekayaan negara pada masa Orde Lama dalam
tahun 1966.
Sebagai
pejabat presiden, Suharto membentuk tim pemberantasan korupsi (TPK) pada
Desember 1967 yang fokus pada prosekusi kasus korupsi. Para menteri
kepercayaan Sukarno seperti Jusuf Muda Dalam, diadili di antaranya dalam
kasus terkait penyimpangan dalam pengumpulan Dana Revolusi. Setelah menjadi
presiden penuh pada 1968, mahasiswa terus menuntut penyelesaian korupsi sebab
terdapat penyimpangan dalam aktivitas Pekuneg.
Selain
itu, kasus korupsi yang ditangani TPK tidak mengalami perkembangan
menjanjikan. Ini lantaran prosekusi korupsi hanya kepada para birokrat level
rendah. Pada akhirnya, mahasiswa membentuk sendiri Komite Anti- Korupsi
(KAK). Terus-menerus mendapatkan tekanan, terutama dari aksi mahasiswa dan
media massa, Suharto pada Februari 1970 membentuk Komisi 4. Komposisi komisi
dianggap kredibel karena diketuai mantan Perdana Menteri Wilopo dan mantan
Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi penasihat komisi ini.
Namun,
wewenang Komisi 4 ini sangat terbatas; hanya membuat rekomendasi kepada
presiden. Komisi 4 akhirnya memberikan rekomendasi kepada Presiden Suharto,
di antaranya terkait penyelewengan di Pertamina, Bulog, dan Perhutani.
Laporan Komisi 4 akhirnya dibocorkan harian Sinar Harapan pada Juli 1970.
Presiden Suharto juga menemui kelompok mahasiswa pada Juli 1970 terkait
masalah korupsi.
Pada
pertemuan pertama, Suharto sangat positif merespons berbagai aspirasi
mahasiswa. Namun pertemuan selanjutnya, Suharto menyuarakan keraguannya
terhadap motivasi aksi demonstrasi mahasiswa karena dianggap tidak didukung
bukti. Hubungan Suharto dan mahasiswa memburuk pada 1972 karena mahasiswa
memprotes pembangunan Taman Mini, yang merupakan ide istrinya—Tien Soeharto.
Pada
1960–‘80-an terdapat pertarungan kebijakan ekonomi antara kelompok teknokrat
yang dipimpin Prof Widjojo Nitisastro dan kelompok nasionalis yang dipimpin
Dirut Pertamina Ibnu Sutowo (Winters,
1996; Schwartz, 1999). Persaingan berujung saat Pertamina terlilit
masalah utang sebesar USD10,5 miliar tahun 1975 yang menyebabkan negara
terancam bangkrut.
Dengan
keterlibatan kelompok teknokrat, utang-utang Pertamina berhasil
direstrukturisasi dan dikurangi. Diduga masalah utang Pertamina akibat
penyimpangan manajemen seperti yang telah dilaporkan oleh Komisi 4 pada tahun
1970. Masa selanjutnya terjadi inisiatif antikorupsi memberantas pungutan
liar, yakni operasi tertib (Opstib) yang dipimpin Pangkopkamtib Sudomo dan
Menteri PAN JB Sumarlin tahun 1977–1983. Hal ini tidak berlangsung lama
karena para pejabat tinggi tidak tersentuh Opstib.
Pada era
1990, sorotan terhadap keterlibatan keluarga Suharto menjadi sorotan media
luar negeri dan dalam negeri. Hal ini dapat dilihat misalnya pada majalah Far Eastern Economic Review (1970-an–1990-an),
majalah Tempo (1970-an–ditutup tahun 1994) dan tentu saja majalah Time (1999) dengan artikel utama
dugaan korupsi yang dilakukan keluarga Suharto.
Pada
akhirnya memang Time dituntut oleh
Suharto dan keluarganya atas artikel tersebut. Akibatnya legitimasi politik
Suharto mulai terkikis akibat pemberitaan tersebut. Puncaknya saat Indonesia
dihantam oleh badai krisis ekonomi dan politik pada 1997–1998. Dengan isu
antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dimotori oleh para aktivis,
ormas agama, gerakan mahasiswa, dan golongan kelas menengah di kota-kota
besar Indonesia, meluas dan menjadi salah satu faktor yang membuat Suharto
mundur dari presiden pada 21 Mei 1998.
Belajar dari Sejarah untuk Pemilu
2014
Para
elite politik Indonesia di kedua zaman lebih mengutamakan rekonsiliasi
politik daripada penegakan hukum dalam penyelesaian kasus korupsi, terlebih
masih banyaknya unsur elite politik yang menjadi bagian terpenting pada masa
pemerintahan sebelumnya. Akibatnya tidak pernah adanya pertanggungjawaban
yang proporsional mengenai siapa yang bersalah, modus operandinya seperti
apa, dan berapa kerugian negara yang timbul akibat korupsi yang dilakukan
pejabat tinggi di kedua zaman tersebut.
Pengadilan
terhadap pejabat tinggi negara untuk kasus korupsi terkesan dilakukan secara
selektif dan kental dengan nuansa politisnya. Kedua presiden menganggap
inisiatif antikorupsi merupakan ulah dari lawan politiknya untuk melemahkan
pemerintahannya. Akibatnya inisiatif antikorupsi di dua era bersifatad hoc,
secara hukum dan politis lemah, sumber daya terbatas, dan tidak adanya
dukungan politik yang kuat dari pimpinan politik tertinggi.
Survei
terbaru dari Indikator yang dirilis pada 18 Maret 2014, menunjukkan bahwa
masyarakat menginginkan korupsi sebagai masalah yang harus diselesaikan
pemimpin yang dipilih melalui Pemilu 2014 dengan persentase 33,8%.
Tidak
terhindarkan lagi bahwa calon pemimpin melalui Pemilu 2014 untuk tidak
mengulang sejarah Orde Lama dan Orde Baru. Mereka dituntut untuk membuktikan
kualifikasinya, rekam jejaknya, dan program untuk mengatasi masalah korupsi
saat memimpin Indonesia pada periode 2014–2019 mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar