Asap
di Riau, Uang di Monas
Hadi S Alikodra ; Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
(IPB)
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2014
Riau
ibarat tanah hikayat. Sastra dan bahasa Indonesia jika ditelusuri berasal
dari Riau. Naskah-naskah kuno yang menjadi cikal bakal bahasa dan sastra
Indonesia pun kebanyakan berasal dari Riau. Riau tak hanya tanah hikayat,
tapi juga tanah adat. Tanah adat yang kaya sastra, harta, dan …maaf..
.derita.
Yang
terakhir inilah yang kini sedang menimpa warga Riau akibat asap yang tersebar
dari kebakaran hutan. Ekonom Faisal Basri pernah menggambarkan bahwa Riau
secara logika seharusnya lebih kaya dari Brunei Darussalam. Ini karena minyak
yang dihasilkan dari Riau lebih banyak dari Brunei. Di samping itu, Riau
punya kebun sawit dan karet yang luas, hutan yang kaya plasma nutfah, dan
letaknya strategis—dekat dengan Singapura, salah satu pusat perdagangan terbesar
di Asia.
Dengan
melihat Riau seperti itu, kemiskinan mestinya tidak menerpa provinsi ini.
Tapi, apa kenyataannya? Riau Pos melaporkan jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan yang tercatat pada September 2013 naik 41,22 ribu jiwa. Kenaikannya
8,05% jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang
berjumlah 481,31 ribu jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin di Riau
pada September 2013 mencapai 522,53 ribu atau 8,42% dari jumlah penduduk Riau
saat ini. Kenaikan jumlah penduduk miskin itu terbesar di daerah perdesaan.
Apa
artinya? Asap dari hutan-hutan di Riau akan terus menyebar. Ini terjadi
karena kenaikan kemiskinan berkorelasi linier dengan kerusakan lingkungan,
termasuk di dalamnya pembakaran hutan yang menyebarkan asap tadi. Dari latar
belakang inilah, kita bisa meneropong penyebab tragedi asap di Riau yang
menimbulkan kerugian triliunan rupiah itu. Tentu saja, penyebabnya bukan
semata orang miskin merusak hutan, melainkan orang kaya (baca: pengusaha atau
korporasi) yang memanfaatkan orang miskin untuk merusak hutan. Orang miskin
secara sosiologis memang mudah dimanfaatkan orang kaya karena keterdesakan
ekonomi.
Selama
ini, bila ada pertanyaan kenapa dari tahun ke tahun hutan di Riau terbakar
(sehingga menyebarkan asap yang mengganggu kehidupan masyarakat), jawabannya
melingkar-lingkar. Salah pemegang HPH, salah masyarakat pedalaman yang punya
budaya ladang berpindah, salah pemerintah yang tak punya koordinasi untuk
mengatasi kebakaran hutan, salah pejalan yang seenaknya membuang puntung
rokok ke hutan, salah alam yang menyimpan hot spot (batu bara dalam tanah
kawasan hutan yang mudah terbakar).
Atau
bisa juga menyalahkan petugas jagawana yang tak segera melaporkan ada
kebakaran hutan, salah pemda setempat yang tak punya instrumen pemadam
kebakaran yang memadai, salah menteri kehutanan yang tak punya kepedulian
terhadap kebakaran hutan, dan lain-lain. Tak jelas siapa yang salah. Yang
jelas “salah” adalah kebakaran hutan di Riau berlangsung dari tahun ke tahun
dan nyaris tak bisa diatasi. Meminjam istilah Faisal Basri, negara tidak
hadir di Riau. Padahal “kekayaan” Riau untuk Jakarta amat besar. Ibarat
pepatah, asap di Riau, uang di Monas. Monas adalah simbol “Jakarta” yang
menjadi tempat “parkirnya” uang kekayaan Riau.
Bila saat
ini Presiden SBY langsung memimpin pemadaman kebakaran hutan di Riau dan
mencari biang keroknya, akankah tahun mendatang kebakaran hutan di Riau akan
berhenti?
Pada era
booming sawit, perambahan hutan
kini makin merajalela. Perambahan hutan plus pencurian kayu itu kini sudah
mengancam hutan konservasi dan hutan lindung. Di Sumatera misalnya kondisi
Taman Nasional (TN) Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Tesso Nilo kini
amat buruk.
Perambahan
hutan, pencurian kayu, serta perluasan kebun sawit misalnya telah menjadikan
gajah kehilangan jalur-jalur mekanis perjalanan migrasinya di hutan sehingga
mereka banyak yang tersesat ke kampung dan kemudian dibunuh manusia.
Keberadaan gajah liar merupakan indikator penting untuk mengetahui sejauh
mana kritisnya kondisi hutan. Jika banyak gajah yang keluar dari hutan dan
tersesat masuk ke kampung manusia, itu menandakan kondisi hutan rusak berat
sehingga gajah tidak bisa survive
di dalam hutan. Para perusak hutan kini sudah berubah menjadi mafia.
Mereka
merupakan jaringan yang canggih karena “bisa jadi” melibatkan oknum pemda,
militer, polisi, pengusaha, dan lain-lain. Mekanisme kerja mereka pun sangat
sistematis dan kadang sulit terendus. Bagaimana besarnya pencurian kayu dan
pembabatan hutan itu baru terkuak setelah timbul banjir bandang, longsor, dan
lain-lain. Jika tiap tahun intensitas banjir bandang dan longsor makin besar,
itu berarti kerusakan hutan makin besar pula. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
misalnya mencatat pada Era Reformasi ini kerusakan hutan mencapai 2,5 juta
hektare per tahun—jauh lebih tinggi dibanding era Orde Baru yang mencapai 1
juta hektare per tahun.
Rezim
SBY selama 10 tahun nyaris tak bisa menghentikan kerusakan hutan yang masif
itu. Padahal, ajakan pemerintah untuk melakukan reboisasi hutan terus
dikuman-dangkan. Kenapa demikian? Karena berbarengan dengan ajakan reboisasi,
izin-izin pembukaan kebun sawit terus berlanjut. Jadinya, antara reboisasi
dan deforestasi tidak seimbang. Deforestasinya jauh lebih besar! Kasus asap
Riau menjadi salah satu bukti betapa dahsyatnya perambahan dan perusakan
hutan tersebut.
Indonesia
kini berani membusungkan dada sebagai negeri penghasil minyak sawit terbesar
di dunia, jauh meninggalkan Malaysia. Tapi, beranikah membusungkan dada
sebagai negeri yang paling banyak diterjang banjir bandang dan longsor? Di
sisi lain, pantaskah di Riau yang kaya itu kemiskinan terus bertambah? Jika
kemudian asap kebakaran hutan Riau mampu “menghentikan” hampir semua
aktivitas pemerintahan, bila kita bijak dan merenung— Itukah tanda-tanda alam
yang mengingatkan kita agar menyelamatkan hutan dari terjangan booming sawit? Ingat, perluasan kebun
sawit di berbagai daerah terindikasi korupsi. Celakanya, korupsi tersebut
sulit dibongkar karena terselubung peraturan daerah.
Saat
ini, menjelang pemilu dan pilpres, bisa diduga “perizinan” pembukaan sawit makin
marak. Permainan oknum pemda dan DPRD yang butuh uang untuk kampanye (pemilu,
pilpres, dan pilkada) misalnya menjadikan hutan sebagai sasaran “pemerasan”.
Hasilnya, itu tadi, asap hutan yang menyebar dan menyengsarakan orang. Jika
tidak ada solusi efektif dan terintegrasi yang melibatkan semua stakeholder kehutanan, jangan diharap
kerusakan hutan akan berhenti dan asap akan menghilang! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar