Jangan
“Dosa” Itu Dijadikan Beban Jokowi
Isaac Sinjal ; Wartawan, Tinggal di Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 25 Maret 2014
Akhirnya,
Joko Widodo atau yang akrab dipanggil Jokowi resmi mendapat restu dan mandat
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Megawati Soekarnoputri, untuk maju sebagai calon presiden pada
Pemilihan Umum (Pemilu) 9 Juli 2014.
Mandat
yang sudah lama ditunggu-tunggu para relawan Jokowi calon presiden 2014 (Bara
JP ) terjawab sudah. Ini langsung dinyatakan Jokowi setelah satu hari
sebelumnya ia sempat menghilang dari Jakarta, menemui Megawati Soekarnoputri
untuk nyekar ke makam Bung Karno (presiden pertama RI).
Dukungan
kepada Jokowi yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta, begitu kuat
menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) yang
akan diselenggarakan pada 9 April 2014 dan 9 Juli 2014.
Bahkan,
bukan sekadar dukungan dari masyarakat dengan membentuk Barisan Relawan
(Bara) Jokowi for Presiden 2014 di
sebagian besar provinsi di Indonesia, melainkan juga datang dari kader-kader
PDI. Kemudian beberapa waktu lalu (Minggu, 9 Maret 2014) di Lapangan Monumen
Nasional (Monas) juga dideklarasikan adanya Srikandi Pendukung Jokowi
for Presiden 2014.
Bukan
hanya itu, salah satu sesepuh PDIP, Sabam Sirait, walaupun tidak menyatakan
langsung mendukung Jokowi sebagai calon presiden (capres) 2014, ia mengatakan
baru-baru ini di Jakarta, apabila PDIP menjadikan Jokowi menjadi capres,
partai tidak perlu lagi membentuk timses (tim sukses). Itu karena Jokowi
sudah sangat populis, baik di internal maupun eksternal partai.
Jokowi
pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo periode 2005-2010 dan terpilih lagi
untuk periode kedua 2010-2015. Namun, tidak diselesaikan karena ia dicalonkan
PDIP untuk ikut Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Jokowi berpasangan
dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Bupati Belitung periode
2005-2006 dari partai Gerindra. Mereka kemudian terpilih sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Kepemimpinan
pasangan yang dilantik pada Oktober 2012 itu kerap mengeluarkan kebijakan
fenomenal. Jokowi dalam menjalankan tugasnya lebih banyak turun ke bawah
(blusukan) serta bersifat merakyat.
Hal-hal
yang dilakukan kedua pemimpin DKI Jakarta itu menyebabkan mereka berdua
menjadi populis dan disenangi rakyat Jakarta. Khususnya Jokowi, dengan
penampilan yang sederhana serta merakyat, membuatnya tidak hanya oleh
kalangan pangamat politik, tetapi sebagian besar rakyat Indonesia menjadikan
"contoh" seorang pemimpin Indonesia masa datang.
Akibat
kepemimpinan SBY yang ternyata dirasakan hanya menampilkan pencitraan dan
lebih banyak curhat ketimbang memperhatikan rakyat, sementara itu pula
menjelang Pemilu 2014, partai peserta pemilu yang telah menampilkan para
calon mereka yang akan maju menjadi Presiden, ternyata oleh sebagian besar
rakyat melihatnya "kurang berkualitas". Hal ini menjadikan Jokowi
yang semula hanya "contoh" akhirnya didukung masyarakat sebagai
capres 2014.
Relawan
Jokowi juga sudah mendesak agar PDIP segera mendeklarasikan capres, yang mana
dimaksudkan oleh mereka adalah Jokowi. Boni Hargens dari Lembaga Pemilih
Indonesia (LPI) menyatakan pada Minggu (9/3), pencapresan Jokowi oleh PDIP
adalah faktor penentu apakah dalam pemilu nanti, elektabilitas partai
meningkat.
Megawati
Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP, dianggap sebagai sosok yang sukses
mengusung Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Jika
Jokowi diusung setelah Pileg 9 April 2014, PDIP memang tetap menang, meskipun
mengantongi sedikit suara. Sementara itu, jika Jokowi dicalonkan sebelum
tanggal tersebut, PDIP akan lebih banyak mengantongi surat suara",
kata Boni Hargens pada kesempatan diskusi yang diselenggarakan Relawan Jokowi
for Presiden, dengan tema "Jokowi
Effect dan Pemilu Berkualitas". Jadi, kita tunggu benar tidaknya
pernyataan Boni Hargen.
Dosa
Pengamat
politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro,
memberikan komentarnya. Partai politik (parpol) seharusnya mengantisipasi
rencana Jokowi untuk menjadi peserta pemilihan presiden.
Terlebih
lagi, kalau keduanya maju karena ini masih menjadi bagian tanggung jawab atas
sikap mereka. Menurut Siti Zuhro, dalam politik di Indonesia memang kalau
kemungkinan, apa saja bisa.
DKI bisa
pilkada ulang, tetapi di mana tanggung jawab partai? Di mana tanggung jawab
jabatan karena mereka berdua sudah bersumpah. Mekanismenya, Jokowi maupun
Ahok harus mundur dari jabatannya untuk bisa maju dalam pilpres.
Masa
ditinggal begitu saja, katanya, ini Ibu Kota. Malah menjadi preseden buruk
bagi dunia politik dan demokrasi di Indonesia. Siti Zuhro mengungkapkan,
pemilu di Indonesia pada era Reformasi memang memunculkan ambisi-ambisi
oportunistis. Namun, partai harus mempertimbangkan efek negatifnya, etika
pemerintahannya, roda pemerintahan, dan perhitungan lainnya.
Hal yang
serupa disampaikan pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna.
Menurutnya, pencalonan Jokowi menjadi capres itu menyangkut etika politik.
Kalau berpindah-pindah, komitmennya tidak dijalankan.
Ia
mengatakan agar tolong dikembalikan janji yang belum terpenuhi bagi warga,
itu yang harus diselesaikan. Jadi, kalau Jokowi maju sebagai capres, berarti
tidak memiliki etika politik. Dulu, katanya, menambahkan, pas jadi gubernur,
ia tidak pernah janji untuk menjadi presiden.
Igor
Dirgantara, pengamat politik Universitas Jayabaya menilai, video soal janji
Jokowi dan pasangannya Ahok, semasa kampanye mereka dan beredar melalui
YouTube di jaringan sosial media adalah hal yang baik.
Video
itu untuk mengingatkan Jokowi dan Ahok untuk menepati janji yang sudah mereka
ucapkan di depan masyarakat. Itu karena salah satu dasar pemimpin yang baik
adalah harus bisa merealisasikan janji-janji itu.
Terlebih
lagi, Jokowi saat ini sudah dianggap baik dalam memimpin DKI Jakarta, walapun
belum dua tahun. Dengan penampilan yang sederhana, ia mau bekerja keras dan
dekat dengan rakyat. Jadi, sangat
disayangkan jika hal-hal yang sudah baik selama ini dilakukan, dirusak dengan
ingkar janji tersebut. Jadi, kalau tidak selaras antara janji dengan
realisasi itu, akan dipertanyakan masyarakat.
Dalam
video itu diperlihatkan, di mana Jokowi dengan kemeja kotak-kotak
menyampaikan kata-kata janjinya di hadapan para pendukung dan masyarakat
Jakarta, dengan kata-kata, "Katanya
saya tidak ingin menyelesaikan lima tahun. Diisukan gitu, untuk apa? Itu biar
masyarakat ragu. Oleh sebab itu, dalam gerakan ini saya sampaikan, Jokowi dan
Ahok komit untuk memperbaiki DKI dalam lima tahun". Akhir dari video
itu ditutup dengan kalimat, "Selamat
bertugas, Bapak Jokowi. Kami pegang janji Anda untuk membenahi Jakarta lima
tahun".
Penulis
sangat setuju dan mendukung, apabila kepemimpinan Jokowi, baik semasa Wali
Kota Solo dan kini menjadi Gubernur DKI Jakarta, dijadikan "contoh"
perlunya Indonesia dipimpin seorang pemimpin yang merakyat, jujur, tegas, dan
berpenampilan sederhana. Namun untuk menjadi capres, kenapa harus dia? Ada
apa di balik "kehebohan" dukungan kepada Jokowi menjadi capres?
Apakah ada “bisikan” saat nyekar di makam Bung Karno, yang memastikan
Megawati Soekarnoputri (yang juga salah satu anak dari almarhum Bung Karno)
untuk menetapkan Jokowi menjadi capres dari PDIP.
Jadi,
kalau janji atau sumpah yang disampaikan selama kampanye maupun setelah
dilantik menjadi gubernur dan Ahok dilanggar itu adalah dosa, janganlah
"dosa" tersebut dibebankan kepada Jokowi.
Rumor
Sebagai
wartawan, penulis sempat mendengar rumor menyangkut Jokowi ini, yang memang
sudah meramalkan, ia (Joko Widodo) salah satu pemimpin Indonesia pada masa
datang. Itu sebabnya, pada waktu kampanye untuk menjadi Gubernur DKI Jaya
telah beredar rumor itu, yang dibantah Jokowi seperti yang diperlihatkan
dalam video di YouTube.
Ternyata,
rumor itu datangnya dari kalangan para jenderal purnawirawan yang ingin
mengembalikan angkatan bersenjata atau tentara nasional Indonesia (TNI)
kepada saptamarga, tidak berpolitik. Melalui
upaya mereka yang seperti biasanya keikutsertaan Amerika Serikat
"bermain" dalam kehidupan politik beberapa negara ketiga termasuk
Indonesia, begitu cepat dukungan Jokowi untuk menjadi presiden dengan
hadirnya kelompok-kelompok masyarakat Indonesia mendeklarasikan "Jokowi
for Presiden 2014".
Hal ini juga memengaruhi Megawati
Soekarnoputri, direstuilah Jokowi untuk maju menjadi presiden mewakili partai
banteng moncong putih dengan mengeluarkan mandat resmi, seperti yang
disampaikan Jokowi kepada pers.
Namun,
setelah dipastikan Jokowi mendapatkan untuk maju sebagai capres dari PDIP,
yang mengherankan justru wakilnya disebut-sebut nama dua nama jenderal
purnawirawan, yang kemungkinan salah satunya menjadi wakil presidennya, yaitu
Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu dan Jend (purn) Djoko Suyanto. Apakah sudah
terjadi kompromi antara saptamargais dengan dwifungsi ABRI.
Ini
politik di Indonesia. Semua kemungkinan bisa saja terjadi karena (kecuali
Soekarno atau Bung Karno) sampai periode presiden yang keenam, Indonesia
belum mempunyai standar yang bisa dijadikan bahan baku untuk menciptakan
presiden yang benar-benar berkualitas bagi bangsa Indonesia. Semua terjadi
secara "dadakan", mulai dari Soeharto (karena terjadi G30S/PKI
1965), Habibie (menggantikan Soeharto karena "lengser", 21 Mei
1998), KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (adanya Reformasi mengganti Habibie,
1999), dan Megawati Soekarnoputri (mengganti Gus Dur).
Kehadiran
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menjadi Presiden keenam melalui Pemilu 2004
diakibatkan kejenuhan masyarakat terhadap pemimpin bangsa yang
"itu-itu" lagi setelah Reformasi dan hasil permainan kalangan
intelijen dibantu dari AS membawa SBY terpilih menjadi presiden.
Berdasarkan
sebagian besar lembaga survei menyatakan, Jokowi berada di tempat teratas
dibandingkan para capres yang sudah lebih dulu dideklarasikan partainya
masing-masing, seperti Wiranto dari Partai Hanura, Prabowo Subianto
(Gerindra), termasuk RH Oma Irama, Mahfud MD, Gita Wirjawan. Bahkan,
dinyatakan pula, Jokowi “disandingkan” dengan siapa pun yang akan menjadi
wakil presidennya, tetap unggul di peringkat teratas.
Sah-sah
saja dan tentunya penulis mendukung terpilihnya Jokowi menjadi presiden 2014
karena dari sebagian besar calon yang "ditampilkan" belum ada yang
punya "pengalaman" memimpin rakyat. Jokowi, dimulai dari Wali Kota
Solo periode 2005-2010, kemudian 2010-2012 (dari masa jabatan 2010-2015),
Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012-2017.
Ia belum
terlihat cacatnya selama menjalankan pemerintahannya, malahan selanjutnya
dideklarasikan rakyat untuk menjadi presiden 2014. Tidak melihat lagi masalah
etis atau tidaknya cara-cara yang dilakukan ini, kecuali tidak melanggar
undang-undang ataupun aturan yang berlaku terhadap tata cara pencalonan
presiden.
Jokowi
kemungkinan besar bisa dipastikan menjadi presiden (periode 2014-2019),
tetapi dengan "keikutsertaan Paman Sam" dalam pemilihannya menjadi
capres yang dideklarasikan rakyat.
Apakah Jokowi dalam menjalankan
pemerintahannya sebagai presiden akan tetap "bertahan" dengan
kejujuran/transparan setiap mengeluarkan kebijaksanaan, tidak menuju negara
kapitalis, berpenampilan sederhana, antikorupsi dengan melanjutkan, dan lebih
meningkatkan kinerja KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), menjadikan Indonesia
sebagai negara hukum, juga perekonomian rakyat sebagai primadona.
Kekhawatiran
lain dari penulis terhadap Jokowi apabila menjadi presiden apakah dia bisa
memisahkan dirinya selaku kader PDIP dan Presiden yang memimpin rakyat
Indonesia. "Tentunya, tidak ada
lagi kata-kata suatu kebijakan atau keputusan dari dirinya dengan 'terserah
Ketua Umum DPP PDIP' seperti apa yang disampaikan setiap ditanyakan soal ia
akan mencalonkan diri menjadi presiden atau tidak".
Last but not least, Jokowi yang lebih merakyat dengan panggilan "Bung
Joko" sebagai Presiden pada Pemilu 2014 hasil pilihan sebagian besar
rakyat Indonesia, akan sesuai keinginan dan harapan rakyat dalam menjalankan
pemerintahannya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar