Politik
Selfie
Musyafak ;
Staf di Balai Litbang Kementerian Agama Semarang
|
TEMPO.CO,
04 Maret 2014
Selfie
bukan hanya budaya berfoto narsisistik di zaman ketika manusia berbekal
telepon pintar dan berjejaring secara digital. Politikus kita hari ini juga
memaparkan gejala serupa, berlomba-lomba memajang diri di hadapan publik
secara narsisistik. Penampakan iklan-iklan politik atau alat peraga kampanye,
baik dalam bentuk visual maupun audio-visual, menjadi penanda berlangsungnya
politik selfie.
Sepanjang
sejarah pemilu di Indonesia, gelombang politik narsisistik kian tak
terbendung ketika pada 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penetapan
anggota legislator didasari perolehan suara terbanyak. Keputusan itu mencabut
ketentuan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menetapkan caleg
terpilih berdasar perolehan suara sedikitnya 30 persen dari bilangan pembagi
pemilih.
Keputusan
itu mempengaruhi pola kampanye politik para caleg. Setiap caleg tidak hanya
bersaing dengan dengan caleg dari parpol lawannya, tapi juga berkompetisi
dengan sesama caleg dari parpol sendiri. Ahmad Subhan (Jurnal Konstitusi, Vol III No. 1, 2010) mencatat, sementara pada
pemilu-pemilu sebelumnya kampanye biasa dihelat secara terbuka seperti rapat
akbar, orasi massal, dan pertunjukan rakyat, pada Pemilu 2009-juga
pemilu-pemilu selanjutnya-praktek kampanye lebih mengandalkan media dan tatap
muka secara langsung. Pemberlakuan suara terbanyak menuntut para caleg
bergerilya dengan berbagai cara. Iklan politik di media massa dan pemasangan
alat peraga seperti baliho atau poster di ruang-ruang publik menjadi pilihan
instan. Masa kampanye tertutup dimanfaatkan para caleg untuk "turun
gunung" berdialog dengan calon pemilih.
Politikus
mengkonstruksi ide-ide politik sekadar menjadi citra politik melalui iklan
politik. Serbuan iklan-iklan politik di ruang publik justru menyingkirkan
politik otentik, yakni politik sebagai "yang ada" dan "yang
bertindak" di tengah dinamika sosial. Politik hadir hanya sebagai
konstruksi-kontruksi artifisial dalam bentuk foto, logo, dan slogan. Kultur
kampanye politik seperti ini kian menabalkan suatu kondisi yang, meminjam
istilah Yasraf Amir Piliang (2003), disebut sebagai "simulacra
politik".
Menurut
Piliang, simulacra adalah dunia di mana kontruksi-konstruksi kebenaran yang
bersifat fiktif, dan retoris, mengambil alih kebenaran (truth) yang sesungguhnya. Simulacra
dibangun oleh unsur-unsur seperti game
of image (permainan citra), retorika, bahkan pengelabuan informasi.
Kepura-puraan, topeng, kedok, dan make-up
merupakan watak khas simulacra.
Iklan
politik di media massa atau baliho caleg hanyalah sebagian kecil contoh nyata
yang merepresentasikan simulacra politik, di mana kenyataaan dan ilusi sukar
dipilah. Foto-foto caleg yang diambil sesuai dengan skenario selanjutnya
diolah secara digital agar tampil semenarik mungkin, ramah, dan berwibawa.
Slogan politik tidak lebih sebagai retorika, bukan semata-mata untuk membangun
kepercayaan publik, melainkan juga menutupi kepalsuan dan menjadi kedok.
Kondisi ruang-ruang publik kita hari ini yang tidak kalis dari serangan
iklan politik adalah representasi dari politik selfie yang mementingkan diri sendiri, seraya mengabaikan kepentingan
orang lain, lebih-lebih kepentingan umum. Ketidakpedulian justru menjadi
bagian dari sifat dasar politik selfie
yang mementingkan diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar