Menginternalisasikan
Nilai-nilai
Ida Bagus Made Nada ; Pengawas Guru
Sekolah Dasar
|
KORAN
JAKARTA, 24 Maret 2014
Sering
terdengar ungkapan "Hidup adalah
pilihan". Namun kadang-kadang tidak semua pilihan benar. Adakalanya
orang salah memilih sehingga bukannya menuju kepada kebenaran, akan tetapi
keputusannya justru menjerumuskan. Lingkungan dan keluarga yang tidak sehat
secara moral dapat memberi "inspirasi" berbagai pilihan keputusan
hidup yang salah.
Meski
begitu, sebuah keputusan bisa saja pada saat itu benar adanya akan tetapi
suatu ketika dapat keliru. Maka, patokan utama keputusan atau pilihan dalam
hidup haruslah selalu sumber yang tidak bisa salah: suara hati.
Setiap
orang dituntun suara hati untuk menuju kebenaran. Hanya, karena bisingnya
kota sering kali suara hati tak terdengar. Telinga manusia tertutup berbagai
kesibukan sehingga tak dapat mendengar.
Hati
manusia terselimuti upaya mengejar kekayaan dengan berbagai cara, termasuk
yang tidak halal seperti korupsi, bertindak tidak adil, memanipulasi, serta
menindas.
Inilah
praktik-praktik yang membuat hati seseorang gelap, hitam, dan penuh
ketamakan. Ini hanya membuahkan sikap tidak acuh, mementingkan diri, tidak
peduli, dan dengki. Secara positif dapat dibalik, suara hati membuahkan sikap
acuh, peduli, peka, murah hati, dan memaatkan.
Agaknya
pilihan keputusan yang telah diambil Elizabet sekeluarga untuk mengampuni
para pembunuh putri satu-satunya sungguh buah dari orang yang mendengarkan
tuntunan suara hati. Suara hati tidak peduli lingkungan.
Dia bisa
melawan arus. Lingkungan sekarang cenderung mengembangkan saling membalas
kejahatan. Tetapi suara hati mengembangkan saling mengampuni yang tak lain
merupakan buah kasih.
Untuk
suatu keluarga kehilangan satu-satunya anak jelas sebuah adegan mematikan
keturunan. Sebab setelah ini tidak ada lagi yang meneruskan generasi
Elizabeth karena putri tunggalnya, Ade Sara, dibunuh sepasang kekasih, Hafidt
dan Syifa. Namun itulah blessing indisguise, rahmat terselubung. Allah
berkarya lewat berbagai peristiwa, termasuk yang memedihkan.
Dengan
kematian Sara, Allah mengingatkan, melalui ibunda dan ayahnya, masih ada yang
namanya pemaafan. Kematian Sara menjadi jalan Allah membuka kembali mata
manusia yang selama ini mengembangkan permusuhan, membalas kejahatan dengan
kejahatan, kebengisan dengan kebengisan, Oooo ... ada arus balik.
Ada
upaya melawan arus yang diperlihatkan keluarga Sara, dengan memeluk,
mengampuni, bahkan minta maaf. Elizabeth justru minta maaf kepada dua
pembunuh kalau Sara telah menyakiti mereka sehingga terjadi peristiwa ini.
Empat Keutamaan
Sikap
mengampuni inilah yang harus ditanamkan sejak dini kepada anak didik. Para
guru sangat dianjurkan untuk memperkenalkan jalan "aneh" yang
ditempuh kedua orang tua Sara. Sebab andai anak-anak sejak dini
menginternaliasikan ke dalam sanubari mereka mengampuni adalah jalan paling
luhur untuk memusnahkan sikap saling memusuhi, jelas generasi masa depan
berada di jalan benar.
Generasi
muda yang membekali diri dengan pengampunan akan menegasikan tradisi
kekerasan yang dikembangkan generasi sekarang.
Generasi
masa depan memang harus dibangun berlandaskan hati yang mengampuni. Jangan
mendasarkan diri pada angkatan yang paling merasa benar sehingga berhak
menganggap orang lain salah. Parahnya, lalu merada berhak bertindak semaunya,
termasuk kekerasan.
Mari membangun
angkan muda masa depan dengan membekali anak didik di sekolah dasar dengan
karakter yang kuat untuk saling memaafkan. Guru harus benar-benar mampu
menanamkan di dalam diri anak sampai mereka terpateri bahwa manusia itu pada
hakikatnya harus saling mengampuni. Tak ada hakikat kemanusiaan saling
berlaku kekerasan terhadap orang lain.
Untuk
itu, pendidikan karakter harus menjadi landasan utama proses belajar siswa
sebelum melanjutkan infiltrasi pengetahuan. Karakter hanya dapat dibangun
dengan tiap hari menginternalisasikan satu sama lain harus saling mencintai.
Cinta akan membuahkan penerimaan satu sama lain. Dengan saling diterima maka
anak merasa enjoy, tidak
diasingkan, dan menganggap satu saudara.
Dari
sini para guru tinggal memberi teladan kepada murid. Anak-anak adalah
bersifat monkeys see monkeys do.
Apa yang dilihat dikerjakan. Bocah masih bersifat meniru atau meneladani.
Dengan kata lain, anak akan melakukan yang dilihat pada para guru dan orang
dewasa, baik di rumah, lingkungan, atau tempat lain.
Oleh
karena itu, di depan anak-anak jangan pernah berlaku kasar, berkata kotor,
dan bertindak tidak benar. Mereka akan cepat mudah menangkap dan menirunya.
Untuk
itu, para orang tua jangan bertengkar selagi ada anak-anak. Orang dewasa
harus bertindak benar di depan anak-anak. Orang dewasa harus berkata benar
setiap ada bocah. Dengan begitu, anak hanya akan melihat
"segala"-nya baik adanya.
Paling
sulit memang membangun karakter manusia. Maka, dia diletakkan atau
"diajarkan" pada tataran awal manusia. Dengan membelajarkan
karakter sejak dini, kelak ketika dewasa, manusia menjadi sosok yang
integral, tidak mudah goyah, dan penuh percaya diri menjalani kehidupan.
Meski di kiri-kanan penuh orang korupsi, rasanya manusia berkarakter akan
mampu menjaga diri dengan baik dan tidak ikut arus.
Memutus
generasi yang banyak melihat praktik-praktik kekerasan harus dimulai
sekarang. Langkah ini tak dapat ditunda lagi guna melahirkan generasi penerus
yang lebih mengedepankan sikap saling menerima daripada berwatak bengis,
penuh permusuhan, dan intoleran.
Keluarga
merupakan peletak dasar penerimaan. Jika anak tidak diterima di rumah, dia
akan mencari penerimaan di luar dan itu berbahaya karena belum tentu baik.
Sekolah
harus mampu menjadi ruang penerimaan bagi semua anak yang dari rumah diterima
atau ditolak. Sekolah harus mampu menerima anak, lebih-lebih yang tidak
begitu diterima di dalam keluarga entah karena bermasalah atau broken home.
Anak
yang diterima dengan baik di rumah dan di sekolah sangat beruntung karena
mereka lebih akan mampu mengaktualisasikan diri secara optimal. Sekolah dan
keluarga menjadi kunci dan tempat paling dini serta utama
menginternalisasikan nilai-nilai luhur: saling mencintai, memaafkan,
menerima, dan menghargai.
Bocah
yang dicintai, dimaafkan, diterima, dan dihargai bakal menjadi pribadi yang
juga mencintai, memaafkan, menerima, dan menghargai orang lain. Dengan kata
lain, empat keutamaan ini menjadi batu sendi dan kunci membuka gerbang
kepribadian masa depan yang dinanti-nantikan untuk melahirkan bangsa yang
beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar