Selasa, 25 Maret 2014

Seni yang Paradoks

Seni yang Paradoks

Rofiq L Hayat  ;   Mahasiswa Seni Rupa, Universitas Negeri Padang
HALUAN,  24 Maret 2014

                           
                                                      
Seni berhubungan erat dengan keindahan. Paling tidak itulah yang terpikirkan saat kita mendengar kata seni. Seni telah berkembang sejak zaman prasejarah. Diperkirakan para ahli, seni telah ada sejak manusia ada. Karena memang seni itu adalah kebutuhan psikis yang tak mungkin kita sangkal. Seni juga dibutuhkan oleh bangsa manapun, suku manapun dan agama apapun.

Sejak ditemukan pening­galan seni pada zaman prasejarah, orang memperkirakan seni paling banyak digunakan untuk kebutuhan ritual yang berhubungan dengan  kepercayaan. Terbukti dengan penemuan lukisan pertama yang telah ribuan tahun yang lalu yaitu di dinding gua, yang dapat di taksir itu kebutuhan untuk ritual.

Yang paling jelas membuktikan kalau seni digunakan untuk kebutuhan ritual adalah seni yang digunakan oleh peradaban kuno yang pernah ada di muka bumi. Pada zaman kejayaan Mesopotamia (sekarang Irak) peradaban subur yang terletak di antara sungai Eufrat dan Tigris ini telah membuat tugu undang-undang pertama yang pernah ada di muka bumi, yang di atasnya terpajang patung Dewa Marduk.

Artefak seni di Indonesia juga banyak digunakan kebutuhan ritual seperti banyaknya prasasti yang ditemukan. Seperti Prasasti Mulawarman, Kebun Kopi dan Yupa. Juga karya fenomenal peninggalan agama Budha, Candi Borobudur yang menjadi salah satu keajaiban dunia.

Perkembangan seni di Indonesia terus berkembang saat masuknya Islam ke Indonesia yang pertama kali dibawa oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Penga­ruh seni yang dirasakan Indonesia setelah masuknya Islam adalah banyaknya penemuan seni yang bercorak Islam.

Perkembangan seni terus mengikuti peradaban manusia. Pada akhir ini per­kembangan seni telah banyak aliran-aliran yang bermunculan. Aliran yang muncul bukan tanpa syarat, atau hanya bisa dibuat secara sembarangan. Inilah yang menyebabkan adanya paradoks tentang seni. Harus ada pengikut dan ciri khas yang terdapat dalam aliran seni itu.

Aliran yang muncul akhir-akhir ini berawal dengan zaman Baroq dan Rakoko, yaitu sebuah zaman yang mempelopori pergerakan seni dari dunia barat. Sebagai gerakan awal dari pergerakan seni bersamaan dengan munculnya para seniman pembawa perubahan itu.

Setelah zaman Baroq dan Rakoko berakhir dilanjutkan lagi dengan perkembangan aliran-aliran dalam seni. Aliran tersebut antara lain realisme, naturalisme, impresionisme, ekspresionisme, surealisme, futurisme dan masih banyak yang lain.

Namun dimanakah letak paradoks seni tersebut? Paradok menurut KBBI adalah pernyataan ber­tentangan dengan pendapat umum. Jadi, paradoks adalah sesuatu yang menurut masyarakat luas tidak menarik sama sekali, tetapi menurus seseorang itu sangat indah dan bagus, begitupun dengan seni.

Adapun ketegori seni yang tidak tergolong paradoks adalah realisme dan naturalisme. Kerena pada kategori ini orang banyak bisa melihat keindahan dari seni yang diciptakan oleh seorang seniman.

Kita akan menemukan persepsi yang paradoks pada ranah aliran yang terdapat pada seni rupa seperti abstrak, impresionisme, ekspresionisme dan lukisan beraliran lain yang seolah tak berbentuk.

Banyak orang umum yang tidak mengetahui tentang estetika dan kesenian akan menganggap kalau karya lukisan jenis-jenis ini adalah lukisan yang seolah tidak bermakna, bahkan banyak di antara masyarakat umum yang mencibir karya yang di buat oleh seniman jika alirannya seperti itu.

Seni-seni yang paradoks biasanya memiliki har­ga yang sangat tinggi. Jika kita lihat dari harganya, karya-karya abstrak jauh lebih mahal dibandingkandengan karya realisme. Bahkan sampai saat ini saya belum pernah menemukan karya realisme yang berharga mencapai ratusan miliar rupiah seperti halnya karya-karya abstrak dan impresionis.

Di dunia lukis kelemahan yang dimiliki lukisan realisme adalah mudahnya menemukan kelemahan dalam karyanya. Apalagi jika pelukis itu baru pemula, maka akan tampak kesalahan dan hal yang tidak beres di sana sini, jika pengamatnya adalah para ahli di bidang karya seni.

Pada karya-karya paradoks mereka memang cenderung apatis dengan hal yang berhubungan dengan orang lain, seniman hanya untuk memuaskan dirinya dulu, tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Lukisan yang bersifat paradoks sebenarnya bukan lukisan asal jadi. Para seniman abstrak, impresionisme dan ekspresionime menggarap karyanya dengan sangat sempurna. Pertama mereka harus mempelajari objek yang akan dibuat, kemudian memikirkan konsep dan memikirkan unsur-unsur serta prinsip-prinsip seni rupa.

Jika kita melihat karya Jacson Pullock mungkin kita akan mengira kalau lukisan yang ia buat hanya tumpahan cat yang berserakan di atas kanvas atau mungkin ada yang berfikir kalau karyanya dibuat dalam keadaan galau.

Namun kalau saja kita melihat konsep yang ia te­rapkan serta filosofi yang ada dalam karyanya sangat luar biasa sekali. Jacson Pul­lock seolah ingin bercerita tentang keragaman bangsa yang ada di Amerika Serikat, ada yang kulit hitam, putih, kuning, merah yang ia ibaratkan sebagai bintik-bintik warna di kanvas, sedangkan negara Amerikanya sebagai kanvas yang menampung seluruh jenis warga negaranya.

Jika kita ingin masuk lagi ke pemahaman yang lebih dalam, ia ingin warga Amerika yang berbeda-beda itu menyatu seperti menyatunya seluruh warna dalam bidang lukisannya.

Bukan hanya konsep yang harus didudukkan oleh seniman tetapi juga prinsip-prinsip yang ada dalam seni rupa. Misalnya prinsip keseimbangan, irama, kesa­tuan dan aksentuasi.

Berbicara soal keseim­bangan kita contohkan saja dalam karyanya Jacson Pullock. Ia menciptakan warna-warnanya seseimbang mungkin dan juga besarnya cat-cat yang jatuh itu sehingga bisa seimbang artinya tidak berat ke kiri atau ke kanan.

Kalau kita lihat iramanya, maka irama, ini sangat penting. Jacson Pullock harus memperhatikan bagaimana iramanya supaya setiap orang yang mengamati karyanya bisa terbuai oleh irama yang ia ciptakan. Karena inilah karya Jacson Pullock termasuk salah satu lukisan termahal di dunia pada saat ini yang harganya mencapai triliunan rupiah.

Selama ini kita memang menganggap kalau seni itu adalah bagian yang paling paradoks. Barangkali ada yang berkomentar “Lukisan acak-acakan seperti itu bisa laku ratusan miliar, aku juga bisa membuat karya seperti itu”. Mungkin komentar ini tidak asing di telinga kita. Kita terlalu sombong dan menganggap semua itu mudah dan instan. Semuanya butuh proses panjang dalam men­dalami seni tersebut.

Seorang Afandi men­dalami lukisannya yang dikatakan orang acak-acakan itu, ternyata ia telah belajar sampai ke Belanda untuk mempelajari tentang lukisan. Seorang Jacson Pullock membuat lukisan yang kita lihat hanya seperti percikan cat ternyata ia telah ratusan bahkan ribuan kali mencari tekhnik-tekhniknya dan itupun ditemukannya dengan tidak sengaja.

Vincen van Gogh dengan ekspresionisnya ia harus rela di anggap sebagai orang yang sakit jiwa seumur hidupnya demi mempertahankan gaya karyanya, walaupun hanya keluarganya yang mampu memetik manisnya perjuangannya yang tak lain adalah adiknya Theo.

Seni itu memang paradoks, namun kalau saja kita memakai kacamata estetika kita, maka tidak akan kita temukan seni yang paradoks itu. Sehingga dunia sama-sama mengakui kalau seni itu semuanya indah termasuk aliran-aliran ekspresionisme, impresionisme dan abstrak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar