Kasus
Panti Asuhan, Sebab dan Akibat
Sarsito N Sarwono ;
Ketua Asosiasi Pilar Kesejahteraan Sosial
Indonesia
|
KOMPAS,
05 Maret 2014
|
KASUS
pengelola Panti Asuhan Samuel yang menelantarkan anak asuhnya sekarang ini
sedang menjadi berita panas di berbagai media massa. Kasus ini meruntuhkan
citra panti asuhan di Indonesia. Pertanyaannya: benarkah kasus ini penyebab
”runtuhnya” citra panti asuhan ataukah akibat tak efektifnya sistem
pengendalian kualitas dan kuantitas panti asuhan? Untuk itu, kita perlu
berpikir jernih dan memahami kondisi panti asuhan di Indonesia.
Panti
asuhan merupakan lembaga sosial paling populer di mata awam di antara
berbagai jenis lembaga sosial di Indonesia. Ini, antara lain, karena
keberadaan panti asuhan di Indonesia sudah lebih dari 180 tahun. Menurut
Kementerian Sosial, yang dikutip pemberitaan koran, jumlah panti asuhan yang
dibantu pada 2013 sekitar 5.000 dan diperkirakan masih lebih dari 1.000 unit yang
belum terdata.
Panti
asuhan pada zaman sebelum kemerdekaan Indonesia disebut sebagai rumah miskin.
Pada awal kemerdekaan, ia berganti nama menjadi panti asuhan. Pada 1985,
Departemen Sosial (sekarang Kemsos) mengganti nama panti asuhan menjadi panti
penyantunan anak (PPA), kemudian diganti lagi menjadi panti sosial asuhan
anak (PSAA), dan sekarang: lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Alasan
penggantian nama adalah meningkatkan citra panti asuhan.
Pergantian
nama rupanya tak diikuti dengan pembinaan kinerja dan sosialisasi nama.
Tujuannya tidak tercapai optimal karena pada kenyataannya masyarakat lebih
akrab dengan nama panti asuhan daripada nama lainnya.
Rehabilitasi sosial
Panti
asuhan dikenal selaku lembaga sosial yang mengasuh dan menyantuni anak yatim
piatu dan sebagai tempat beramal sedekah. Tak banyak orang tahu atau peduli
terhadap apa yang sebenarnya dilakukan di panti asuhan. Mereka menyangka
panti asuhan hanya memberikan kebutuhan dasar hidup anak-anak asuhnya.
Padahal, panti asuhan berperan sebagai tempat rehabilitasi sosial bagi
anak-anak telantar akibat disfungsi sosial keluarga, dalam arti peran sosial
orangtua/keluarga tidak berfungsi sehingga terhambatlah perkembangan anak,
baik jasmani, rohani, maupun sosialnya secara wajar.
Ketidaktahuan
ini membuat masyarakat beranggapan bahwa mengelola panti asuhan itu mudah.
Pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundangan terkait dengan
panti asuhan, tetapi penerapannya di lapangan masih belum efektif (karena
bukan saja penyelenggara panti asuhan, aparat instansi sosial di daerah pun
banyak yang tak tahu adanya peraturan perundangan ini).
Penyelenggara
panti asuhan dituntut mengetahui tata cara pengelolaan panti asuhan dan
sering dipersalahkan karena dianggap tidak mampu melakukan pelayanan dengan
baik. Sementara itu, upaya pemerintah dan pemerintah daerah membina panti
asuhan dapat dikatakan hampir tak ada. Program pelatihan pengelolaan panti
asuhan diganti dengan pemberian bantuan dalam bentuk barang/natura. Buku panduan
atau pedoman tentang pengelolaan panti asuhan tak pernah sampai di tangan
pengurus panti asuhan karena pencetakan dan distribusinya terbatas.
Sewaktu
masih ada kantor wilayah Departemen Sosial, informasi dan peraturan dari
Departemen Sosial bisa langsung disebarluaskan dengan pemahaman yang sama.
Namun, sejak dihapuskannya kantor wilayah Departemen Sosial, informasi dan
peraturan disebarluaskan melalui kantor dinas sosial dengan pemahaman yang
berbeda-beda serta disesuaikan dengan kepentingan setiap daerah.
Sering
terjadi, mutasi aparat di daerah dan penempatan pejabat yang tak memiliki
kompetensi sesuai dengan jabatannya. Ini mengakibatkan pelaksanaan peraturan
di daerah sering berbeda dengan isi, jiwa, atau semangat peraturan dari
pusat.
Memang
diakui, masih banyak panti asuhan yang belum mampu memenuhi standar
pengelolaan dan pelayanan yang ditetapkan Kemsos. Mereka kebanyakan belum
mengetahui adanya standar pengelolaan dan pelayanan panti asuhan. Selain itu,
kemampuan sumber daya manusia dan sumber dana mereka juga terbatas sehingga
mereka baru mampu memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
anak-anak asuh, belum menjangkau penuntasan masalah sosialnya.
Tidak
mengherankan apabila banyak orang berpendapat panti asuhan belum dikelola secara
profesional. Namun, peran panti asuhan tak bisa diabaikan karena apabila
rata-rata 1 panti asuhan mengasuh 20 anak, dalam 5.000 panti asuhan terdapat
lebih dari 100.000 anak-anak telantar yang tersantuni dan mendapat kesempatan
meraih masa depan yang lebih baik.
Maka, jadikanlah kasus Panti Asuhan Samuel ini pelajaran bagi kita
semua. Kejadian itu tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan:
penyelenggara panti asuhan, pemerintah, dan masyarakat—ya, kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar