Disorientasi
Pengelolaan Guru
Hafid Abbas ;
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
05 Maret 2014
|
TONY
Blair, Perdana Menteri Inggris 1997-2007, dikenal luas dengan tema
politiknya: ”Pendidikan, Pendidikan,
Pendidikan”. Pada masa kepemimpinannya, ia telah menempatkan peningkatan
mutu proses belajar-mengajar di kelas sebagai agenda prioritas politiknya.
Demikian
pula Presiden AS Barack Obama, menjadikan pendidikan sebagai prioritas
politiknya. Pada periode pertama masa kepemimpinannya, 2008-2012, ia telah
menyempurnakan kebijakan pendidikan ”No
Child Left Behind” atau tidak boleh ada anak yang tertinggal, dengan cara
membenahi sistem evaluasi hasil belajar siswa dengan meningkatkan standar
keterampilan akademik siswa, termasuk kemampuan siswa melakukan penelitian,
penggunaan teknologi, terlibat pada kajian ilmiah, pemecahan masalah, dan
kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Salah arah
Esensi
prioritas politik Blair dan Obama pada pembenahan pendidikan, hemat saya,
sesungguhnya berfokus pada peningkatan kompetensi profesional guru dengan
jumlah dan distribusinya yang merata. Kelihatannya, kedua hal tersebut yang
belum mendapat perhatian sungguh-sungguh dalam masa kepemimpinan Presiden
SBY-Boediono. Akibatnya, kini terlihat berbagai disorientasi (salah arah)
pengelolaan guru yang menuntut pembenahan secepatnya.
Pertama,
studi Bank Dunia (2013) menunjukkan, program sertifikasi guru yang
diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun
terakhir ternyata tak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan
nasional. Padahal, penyelenggaraannya telah menguras sekitar dua pertiga dari
total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN. Pada 2010, sebagai
contoh, biaya sertifikasi Rp 110 triliun!
Kesimpulan
Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120
SMP di seluruh Indonesia, melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa
yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran
Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan.
Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar
siswa, baik di SD maupun SMP. Demikian pula tingkat pengetahuan dan
penguasaan materi yang diajarkan antara guru yang bersertifikasi dan yang tak
berserti- fikasi, juga hasilnya relatif sama.
Disorientasi
kedua, studi UNESCO (UIS-2009) menunjukkan, untuk jenjang SD, rasio
guru-siswa 1:16,61, yang berarti seorang guru hanya mengajar 16-17 siswa.
Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan Jepang (18,05), Inggris (18,27),
bahkan Singapura (17,44). Secara internasional, rata-rata di seluruh dunia
rasionya 1:27,7 atau seorang guru dengan 27-28 siswa.
Keadaan
serupa terjadi di jenjang pendidikan menengah. Data Statistik Persekolahan
2009/ 2010 menunjukkan, 48,8 persen SMP dan 47,2 persen SMA/SMK di Tanah Air
memiliki kurang dari 180 siswa per sekolah. Jika digunakan rasio rata-rata
internasional, setiap sekolah tersebut hanya perlu 6-7 guru. Jika jumlah
siswa SD-SLTA secara keseluruhan 55,21 juta (BPS, 2012), maka diperlukan
hanya sekitar 1,97 juta guru.
Jika
jumlah guru secara keseluruhan saat ini berkisar 2,92 juta, maka terdapat
kelebihan sekitar satu juta guru. Namun, akibat ketiadaan konsep dan
mekanisme pengelolaan dan distribusi guru yang komprehensif, jumlah guru yang
melimpah itu tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan.
Disorientasi
ketiga, data menunjukkan, saat ini terdapat 415 lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK), terdiri atas 12 eks IKIP, 24 FKIP PTN, dan 379 FKIP PTS.
Sesuai amanat UU Sisdiknas, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas
menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta
menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.
Namun,
pasca konversi IKIP jadi universitas, perhatian mereka tak lagi terfokus ke
persoalan penyiapan guru profesional, tetapi lebih berorientasi ke
non-kependidikan. Akibatnya, dominasi penghasil guru muncul dari LPTK swasta
yang umumnya belum berorientasi ke mutu.
Mandat SBY-Boediono
Dengan
merujuk amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, tampaknya kepemimpinan
SBY-Boediono 2009-2014 belum memprioritaskan pelaksanaan amanat Pasal 24 Ayat
1 UU tersebut, yang menyebutkan: ”Pemerintah
wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik,
maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin
keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh
pemerintah”.
Kewajiban
pemerintah untuk membenahi persoalan keguruan tersebut kelihatannya tergusur
oleh prioritas barunya sendiri ke perubahan kurikulum yang tingkat urgensinya
masih diperdebatkan banyak pihak.
Kealpaan
lain SBY-Boediono adalah pelaksanaan amanat Pasal 23 Ayat 1 UU No 14/2005
tersebut, yang menuntut pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru
ikatan dinas berasrama di LPTK untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.
Jika mandat ini dilaksanakan, maka eskalasi perkembangan LPTK yang pada tahun
2010 hanya 241 menjadi 415 pada 2013 dapat dihindari karena akan terjadi
seleksi alamiah yang memungkinkan hanya LPTK unggul yang mampu menyiapkan
asrama dapat bertahan.
Kealpaan
berikutnya, kepemimpinan SBY-Boediono tampaknya belum berhasil mengamankan
pelaksanaan amanat Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan: ”Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Apakah dengan amanat ini lalu serta-merta kabinet sekarang ini
menghabiskannya untuk biaya sertifikasi guru yang dinilai gagal total oleh
Bank Dunia. Atau, apakah karena dengan anggaran yang besar itu serta-merta
digunakan untuk proyek dadakan merombak kurikulum, dan sebagainya. Masyarakat
luas merindukan lahirnya kebijakan pembiayaan pendidikan yang benar-benar
aspiratif, partisipatif, dan komprehensif bagi kemajuan pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar