Mengatur
Minimarket
Akh Muzakki ;
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PW NU
Jawa Timur
|
JAWA
POS, 05 Maret 2014
|
SALAH
satu penopang fundamental ekonomi nasional adalah kuatnya ekonomi sektor
informal. Krisis ekonomi dunia pada 2008 yang mampu dihadapi secara baik oleh
Indonesia menjadi bukti kekenyalan ekonomi nasional terhadap berbagai
turbulensi ekonomi jika dibandingkan dengan berbagai negara, termasuk yang
berkategori maju sekalipun.
Namun,
kini ekonomi sektor informal, terutama pada jaringan ritel, sedang ditakar
menjamurnya minimarket. Pemegang kekuasaan sangat memahami kondisi tersebut.
Bahkan, Pemerintah Kota Surabaya sejak setahun lalu berencana mengatur ulang
keberadaan minimarket berjejaring nasional hingga internasional sebagai
bentuk toko modern. Hanya, pengaturan minimarket itu telah mandek setahun (Metropolis Jawa Pos, 3/3/2014).
Rencana
Pemkot Surabaya sangat cerdas sehingga harus didorong bersama-sama agar
segera direalisasikan. Sebab, menjamurnya minimarket berjejaring nasional dan
bahkan internasional hingga ke setiap sudut perkampungan jelas memiliki
dampak ikutan yang buruk bagi pelaku ekonomi sektor informal.
Simaklah
isi curhat seorang pembaca bernama Andi Rahman yang tinggal di Jl Jenggala
Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, pada rubrik Pembaca Menulis di Jawa Pos
(17/2/2014). Dia menulis begini: ''Bapak
Bupati, saya seorang pedagang kelontong. Sejak beroperasinya minimarket di
Jalan Jenggala, pendapatan kami turun drastis. Sebab, minimarket itu
berdempetan dengan toko bapak saya. Total ada tiga minimarket dalam satu
RT.''
Hal
tersebut sejatinya tidak hanya dirasakan Andi secara pribadi. Dampak negatif
yang dirasakan keluarganya itu juga dialami keluarga-keluarga lain di negeri
ini. Jumlah mereka pun tidak sedikit.
Merujuk
pada dampak buruk tersebut, rencana Pemkot Surabaya untuk mengatur ulang
keberadaan minimarket berjejaring nasional layak diapresiasi positif. Rencana
pemberlakuan surat izin usaha toko modern (SIUTM) patut didukung bersama.
Sebab, pemerolehan atas izin usaha tersebut mempersyaratkan adanya
kepemilikan terhadap hasil analisis dampak sosial ekonomi masyarakat lokal.
Kegagalan untuk memperoleh surat izin itu menjadi awal kegagalan mendirikan
usaha toko modern berjejaring nasional hingga internasional tersebut.
Namun,
menurut hemat saya, regulasi model pemberian izin usaha dalam kerangka
pengaturan minimarket itu harus diikuti paket kebijakan untuk membesarkan
pelaku ekonomi toko tradisional dan atau ekonomi warga masyarakat lokal.
Pertama,
pemerintah daerah perlu menguatkan pengembangan ''ekonomi bapak asuh'' (foster economic development) sebagai
instrumen kebijakan untuk mengembangkan kemajuan ekonomi masyarakat lokal (community's economic development).
Minimarket yang berjejaring nasional dan bahkan internasional yang selama ini
sudah ada dan atau yang akan disetujui untuk beraktivitas usaha harus mau
menjadi ''bapak asuh'' bagi pedagang-pedagang kelontong di wilayah
sekitarnya.
Kedua,
pemerintah daerah perlu mendorong pembentukan toko komunitas (community shop) oleh kumpulan warga.
Usaha ekonomi-bisnis itu digerakkan dari modal masyarakat, dikelola secara
mandiri oleh mereka, dan keuntungannya kembali kepada mereka untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan mereka.
Berbeda
dengan minimarket-minimarket berjejaring nasional hingga internasional yang
dikuasai sepenuhnya oleh individu atau kumpulan individu yang berasal dari
luar masyarakat setempat, toko komunitas murni berasal dari dan berakhir
untuk kepentingan sebesar-besarnya masyarakat setempat. Di toko komunitas
itu, masyarakat menjadi pemilik sekaligus konsumen. Selisih keuntungan
kembali kepada masyarakat.
Dengan
lanskap ekonomi-bisnis demikian, pemasukan ekonomi masyarakat setempat yang
berasal dari aset yang nyata-mewujud maupun nirnyata-nirwujud diserap
korporasi besar melalui usaha minimarket berjejaring nasional bahkan
internasional. Karena kepemilikan permodalannya mutlak oleh korporasi besar
itu, keuntungan (profit) yang
didapat dari penyerapan tidak kembali kepada masyarakat, melainkan melayang
ke kantong-kantong pemilik modal luar.
Jika aset masyarakat itu menguap ke luar, peningkatan kapasitas ekonomi
hanya akan menjadi milik pemodal luar. Masyarakat lokal akan tetap pada
kondisi semula atau bahkan lebih parah. Karena itu, toko komunitas layak
menjadi solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Kemandirian
masyarakat akan diawali dan dibangun dari kemandirian ekonomi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar