Democrazy
dan Pahit-Manisnya
Novriantoni Kahar ; Direktur
Yayasan Denny JA
|
TEMPO.CO,
24 Maret 2014
Bulan
depan, Indonesia akan kembali menggelar pemilu legislatif. Partai dan calon
anggota legislatif akan memakai cara-cara waras maupun gila demi merebut
suara. Tak ayal lagi, ini akan menyuguhkan beragam tontonan kreativitas
maupun kesintingan dalam menggapai tujuan politik. Kita menonton
"democrazy", unjuk kesintingan. Dan itu mungkin banyak terjadi.
Saya
kemarin baru menyimak dan merekam beberapa cerita democrazy ini. Nun di
sebuah tempat, seorang calon kepala daerah tak ingin punya pesaing dalam
pemilihan bupati. Tapi ini demokrasi; tentu akan ada saja masyarakat yang
ingin punya aspirasi berbeda. Calon terkuat yang punya segala syarat untuk
menang itu lantas ditanya pendukungnya: apakah penantangnya harus
dilenyapkan? "Tidak usah!" jawab sang jagoan, "Cukup
'ditandai' saja bagian kepalanya!" Lalu terjadilah apa yang terjadi dan
itu umum diketahui masyarakat di daerahnya.
Karena
demokrasi tak seru tanpa kompetisi, pernah pula yang jagoan terpaksa menunjuk
pesaing dari kubunya sendiri. Maka terjadilah sandiwara kompetisi. Dengan
bangga, sang jagoan pun berkata: "Hanya di sini demokrasi berlangsung
indah. Dua orang yang sedang berebut jabatan, bergandengan tangan saat keluar
dari satu rumah!" Tentu si jagoan menang pemilukada, tapi cuma di angka
96 persen. Kepada tim sukses, dia protes: kenapa tak sampai 99 persen? "Ini
sudah rekor, Pak! Kalau menang 99 persen, Bapak justru menyalahi segala
kaidah demokrasi!" Dia pun puas.
Di suatu
daerah di Sumatera, demokrasi juga punya kisah kesintingannya sendiri.
Seorang kepala daerah yang kaya raya dan tak paham seluk-beluk memerintah,
suatu kali memotivasi anak buahnya. "Kalian bagus-baguslah bekerja!
Nanti yang berprestasi akan saya naikkan jabatannya. Yang eselon satu akan
naik ke eselon dua. Eselon dua ke eselon tiga." Begitulah seterusnya.
Lalu ada yang menyela, "Mohon maaf, Pak, urutannya terbalik." Tak
terima, si pandir pun menyambar: "Kau ini bagaimana, setelah satu ya
dua. Setelah dua ya tiga. Tak bisa berhitung kau?"
Di
tempat lain, seorang kepala dianggap tidak demokratis dalam memerintah. Tapi
dia menyangkal dengan lugunya. "Kurang demokrasi apa? Yang mau protes
bisa demo kapan saja! Bahkan saya tak jarang mengongkosi mereka-mereka yang
mau demo." Ada juga pemimpin yang digugat karena sengaja menganaktirikan
sebagian desanya. Berbagai infrastruktur ditelantarkan: jalan tak mulus,
listrik susah, air pun payah. Lalu apa jawaban si kepala daerah? "Salah
sendiri, dikasih yang manis kok malah memilih yang pahit!" Jelaslah,
desa telantar itu tidak memilih dia pada waktu pemilukada.
Pemimpin-pemimpin
sinting semacam ini tak jarang sudah terendus media lokal maupun nasional.
Namun tak jarang pula akses untuk menyibak auratnya tertutup rapat. Beberapa
dari mereka lihai sekali mencegat awak media untuk menjalankan fungsi
kontrol. Jaringan preman difungsikan secara saksama, dan uang sogokan diparkir
rapi di ibu kota provinsi. Akibatnya, kisah-kisah democrazy ini tak sampai
menjadi isu nasional dan hanya mengalir dari bibir ke bibir masyarakat di
daerah.
Intinya,
kesintingan-kesintingan macam ini akan banyak dijumpai dalam pemilu yang
sebentar lagi. Kita berharap juga demokrasi kita lebih memilih kewarasan
dibanding kesintingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar