Berpolitik
dan Tidak Berpolitik
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
24 Maret 2014
Selalu
ada saja orang tidak mencoblos dalam pemilihan umum (pemilu), baik dengan sengaja
maupun tidak sengaja. Dalam hal sengaja, tentu harus dibedakan yang sengaja
tidak memilih karena tidak mengakui sistem politik yang sah, seperti sikap di
antara non-pemilih semasa Orde Baru. Mereka yang berkesadaran seperti itu,
oleh Arief Budiman yang juga menganjurkannya, disebut golongan putih
(golput). Non-pemilih yang tidak menolak pemilu, artinya tanpa kesadaran
politik, tentulah tak sahih disebut golput.
Dalam
situasi itu, seorang golput dapat mengatakan dirinya sebagai "berpolitik dengan cara tidak
berpolitik", sedangkan yang tidak mencoblos karena malas cukup
dikatakan sebagai "tidak
berpolitik" sahaja. Dalam klasifikasi, terdapat dua kategori, yakni
(1) berpolitik, termasuk dengan cara tidak ikut pemilu dan (2) tidak
berpolitik. Namun Wiratmo Soekito (1929-2001) ternyata-dalam klasifikasi
saya-mengajukan tiga kategori, yakni (1) berpolitik, (2) terlibat dalam
politik, dan (3) tidak berpolitik.
Latar
historis bagi postulat itu adalah pernyataan sejumlah penanda tangan Manifes
Kebudayaan (Mei 1964) pada 1966 bahwa Manifes telah gagal, antara lain karena
kapitulasi Partai Komunis Indonesia (PKI) bukanlah berkat perjuangan mereka.
Wiratmo sendiri, yang menyatakan pada Mei 1965 telah meramalkan kapitulasi
PKI, mengakui kegagalan Manifes, tetapi oleh sebab lain, yakni partisipasi
para penandatangannya dalam Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia
(KKPI).
Konferensi
yang merupakan reaksi terhadap Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR)
pada Agustus 1964 itu berakhir dengan pembentukan organisasi Persatuan
Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI), dan bagi Wiratmo artinya telah
berpolitik. Padahal, menurut Wiratmo, menandatangani Manifes bukanlah
berpolitik, melainkan: "… menerima
fait accompli bahwa mereka terlibat dalam politik." (Soekito, 8/5/1972:
6). Jadi, terlibat dalam politik itu bukan berpolitik dan bukan pula tidak
berpolitik.
Wiratmo
menjelaskan dengan perumpamaan teater. Dalam apa yang disebutnya peristiwa
teater, terdapat pentas tempat para pemain drama memainkan peran dalam lakon yang
mereka bawakan. Menghadap pentas adalah publik. Pertunjukan akan berlangsung
bukan hanya karena ada pemeran yang bermain, tapi juga kalau publiknya
terlibat.
Pemain
drama dibandingkan dengan orang yang berpolitik, keduanya bersandiwara: pemeran orang dungu tidaklah dungu, orang
politik yang berkhianat tidaklah berkhianat, seperti Soekarno-Hatta bekerja
sama dengan Jepang bukanlah pengkhianatan-itu menjalankan suatu peran.
Posisi publik di depan pentas tidak seperti itu, tetapi mereka tetap
terlibat, jadi publik dalam politik bukan tidak berpolitik, melainkan
terlibat dalam politik.
Seorang
pemain drama dan orang yang berpolitik harus bersedia dikecam dan dicela
sebagai konsekuensi peran apa pun yang dimainkannya. Sedangkan orang yang
hanya terlibat dalam politik, menurut Wiratmo, "… mempunyai hak-hak yang lebih besar, namun mempunyai kesediaan
untuk meriskir (mengambil risiko-sga) bahaya, seolah-olah setiap saat ia
sudah bersedia-sedia untuk dibawa ke hadapan suatu regu penembak untuk
dihukum mati."
Maka
orang yang sadar maupun tak sadar terlibat dalam politik, jika (1) menolak
posisi tidak berpolitik, sama dengan publik yang naik ke atas panggung untuk
merusak tontonan; dan jika (2) menolak posisi terlibat dalam politik, sama
dengan publik yang tertidur saat peristiwa teater terjadi. Penanda tangan
Manifes, dalam penandatanganannya itu, menurut definisi Wiratmo: terlibat dalam politik, tetapi tidak
berpolitik.
Mengacu
kepada klasifikasi pertama, saya menganggap para penanda tangan-yang disebut
Wiratmo sebagai Manifestan-dapat digolongkan sebagai "berpolitik dengan cara tidak berpolitik". Jadi, "tidak berpolitik"-nya
Wiratmo adalah peran politik juga, tetapi bukan di panggung, melainkan bagian
dari publik, yang tidak tertidur-dan tentu tidak pula naik ke atas panggung.
Artinya, tidak bermain dan tidak pula mengganggu permainan.
Penyebutan
tentang golput dalam 377 media daring melalui pelacakan Indonesia Indicator,
terhitung setahun sejak Minggu, 23 Maret 2014, terdapat dalam 3981 berita.
Hanya 4,9 persen dibanding penyebutan Jokowi yang 76.493 berita atau 95,1
persen. Meskipun cukup minimal, sebagai topik tak pernah hilang.
Namun
yang berpolitik dengan cara tidak berpolitik pada Pemilu 2014 bukan hanya
golput, tapi juga mereka yang semula berpolitik sepenuhnya. Mereka adalah
yang berambisi menjadi presiden, tetapi tiada harapan mengalahkan Jokowi.
Sedangkan jika ikut dan tetap kalah, tidak rela mengakui kemenangan Jokowi.
Itulah sebabnya kepada para calon presiden non-Jokowi, dan partai yang tetap
mengajukannya, wajib diberi penghargaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar