Selasa, 03 Desember 2013

WTO dan Kedaulatan Pangan

WTO dan Kedaulatan Pangan
Imam Mustofa  ;   Fungsionaris Dewan Pimpinan Nasional
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
REPUBLIKA,  02 Desember 2013



Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
akan berlangsung di Bali 3-6 Desember 2013. Untuk kesembilan kalinya masih mengagendakan pembicaraan mengenai draf perjanjian perdagangan multilateral bidang pertanian. Agenda tersebut merupakan kelanjutan dari Putaran Doha yang telah di mulai sejak 2001.

Berlangsung lama, rumit, alot, dan melelahkan karena menyangkut kepentingan yang sulit dikompromikan. Di satu sisi ada kelompok negara maju dan eksportir pertanian yang menghendaki akses pasar seluas-luasnya, berhadapan dengan kelompok negara berkembang dan belum berkembang yang akan tergilas jika perdagangan produk-produk pertanian diliberalisasi.

Untuk memperkuat daya negosiasi menghadapi tekanan dan bujukan raksasa pertanian dalam perundingan-perundingan, negara-negara berkembang mengonsolidasikan diri dalam kelompok G- 33. Kelompok yang kini beranggota kan 46 negara--di antaranya adalah Korea, India, dan Cina--ini dideklarasikan di Indonesia pada 9 September 2003 menjelang KTM WTO di Cancun, Meksiko. Indonesia sebagai negara yang berbasis agraria, dipercaya menjadi koordinator.

Pada prinsipnya, kelompok ini menyatukan dirinya untuk bersikap dan bersuara secara kritis terhadap dimasukkannya isu pertanian pada sistem perjanjian perdagangan global. Negara-negara yang tergabung dalam G-33 meminta agar perjanjian perdagangan yang terkait dengan komoditas perta nian diberlakukan secara khusus dan berbeda (special and differential treatment/SDT).

Untuk menangkal desakan pembukaan akses pasar yang seluas-luasnya, G-33 berupaya memperjuangkan gagasan special product (SP) dan special safe guard mechanism (SSM). SP dan SSM pada pokoknya adalah penggolongan produk pertanian sebagai komoditas perdagangan khusus sehingga negara bo leh menetapkan aturan-aturan dan pembatasan impor secara lebih "fleksibel". 

Di sisi lain, terkait dengan subsidi- subsidi yang oleh spirit perdagangan bebas dianggap mendistorsi pasar, G-33 terus mengingatkan negara-negara maju untuk memangkas subsidi-subsidi kepada para petani mereka. Subsidi yang besar telah membuat para petani mereka mampu memproduksi berlimpah dengan harga lebih murah.

Tiga negara adidaya di WTO, Uni Eropa memberikan subsidi 151 miliar dolar AS per tahun, AS 102 miliar dolar AS, dan Jepang 49 miliar dolar AS. Ilustrasi jelasnya, Uni Eropa memberikan subsidi untuk setiap ekor sapi sebesar 2 dolar AS per hari. Sedangkan, total subsidi pertanian negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencapai 320 miliar dolar AS per tahun atau kurang lebih 1 miliar dolar AS per hari.

Bandingkan kontrasnya, total anggaran pertanian Indonesia tahun 2013 hanya Rp 16,43 triliun atau 1,45 miliar do lar AS. Untuk 2014 bahkan akan turun menjadi hanya Rp 15,5 triliun (1,37 miliar dolar AS). Dalam konstelasi WTO, Indonesia menempati posisi yang unik. Di satu sisi Indonesia adalah pemimpin kelompok G-33 yang pandangannya jelas kontra liberalisasi demi melindungi produk pertanian dan nasib para petani kecilnya di dalam negeri. Pada sisi lain, Indonesia juga bergabung dengan Cairns Group bersama sejumlah negara yang mendefinisikan dirinya sebagai agricultural exporting countries yang justru sebaliknya menghendaki liberalisasi.

Vision statement Cairns Group sangat jelas merepresentasikan kepentingan dan pandangan liberal dalam WTO. Mereka menghendaki akses pasar dengan menghilangkan hambatan-hambatan tarif dan mendorong dihapuskannya support domestik dan subsidi ekspor. Bahkan AS sendiri sebagai eksportir per tanian terbesar di dunia tidak berminat masuk ke dalam kelompok ini.

Untuk mencoba memahami posisi dan sikap Indonesia yang mendua dapat ditelusuri dari kondisi perdagangan produk pertanian. Neracanya menunjukkan surplus. Sebagai gambaran, ekspor produk pertanian Indonesia pada 2012 mengalami surplus lebih dari 17 miliar dolar AS. Untuk tahun 2013 juga diproyeksikan surplus 16,7 miliar dolar AS hingga 22,8 miliar dolar AS. Dari sini Indonesia bangga dan mengelompokkan diri sebagai eksportir.

Sayangnya, surplus neraca ekspor-impor itu ditopang hanya oleh komoditas perkebunan seperti karet, sawit, kopi dan kakao. Pada bagian lain, Indonesia justru mengalami defisit untuk subsektor tanaman pangan (4,44 miliar dolar AS), hortikultura (1,16 miliar dolar AS), dan peternakan (1,67 miliar dolar AS) untuk tahun 2012. Untuk tahun 2013, periode Januari-Juli juga tercatat surplus 10,2 miliar dolar AS yang ditopang oleh subsektor perkebunan, namun untuk subsektor pangan, hortikultura, peternakan defisit masing-masing 3,21 miliar dolar AS, 724 juta dolar AS, dan 1,28 miliar dolar AS.

Kondisi defisit neraca perdagangan pangan menempatkan Indonesia sebagai nett importerpangan. Realitas ini mau tidak mau mendorong Indonesia untuk bergabung dengan kelompok G-33 yang perlu melindungi kepentingan ketahanan pangan dan petani kecilnya.

Sikap dan posisi Indonesia yang mendua tersebut sebenarnya sebuah komplikasi tersendiri yang bisa jadi merepotkan dalam negosiasi. Dalam hal ini, pemerintah harus secara serius mempertimbangkan untuk mengambil garis yang tegas agar tidak gamang ketika memperjuangkan kepentingan pembangunan pertaniannya demi ketahanan pangan.

Fokus pada G-33 adalah pilihan yang paling relevan jika bermaksud melindungi petani kecil dan memantapkan keta hanan dan kemandirian pangan sebagai komoditas sensitif, strategis, dan berdimensi luas menyangkut ekonomi, politik, martabat, ketahanan, bahkan kedaulatan bangsa. Apalagi, secara khusus UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menetapkan mandat baru yang mewajibkan negara mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan bagi setiap warganya.  Untuk itu UU juga menegaskan pengakuan akan gagasan kedaulatan pangan sebagai hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan dan sistem pangannya. Tentu tidak akan kedaulatan dikompromikan di meja perundingan dagang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar