PADA era desentralisasi, banyak pula korupsi yang terkuak di
daerah. Menurut laporan akhir tahun KPK (2012), 45 persen di antara 283
kasus korupsi pada 2004-2012 terjadi di daerah, 3 persen di luar negeri,
dan sisanya terjadi di pemerintah pusat. Bila akhir Desember ini dirilis
data terbaru, dipercaya hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya.
Karena kualitas pengawasan di daerah lebih rendah, perhatian ekstra untuk
pencegahan korupsi di daerah menjadi relevan untuk ditekankan.
Menurut Indonesia Procurement Watch
(5/6/2013), 70 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi di sektor
pengadaan barang/jasa (procurement). Karena itu, diduga sektor itu pulalah
yang menjadi episentrum korupsi di daerah.
Kepala daerah memanfaatkan sektor pengadaan
guna mengeruk anggaran daerah untuk kepentingan pribadi, keluarga, partai,
hingga para pengusaha penyokong mereka dalam pilkada. Agar perbuatan
terlarang tersebut tampak legal, mereka kemudian memengaruhi (menekan)
aparatur daerah yang menangani pengadaan.
Bila disederhanakan, terdapat tiga aparatur
kunci dalam sistem pengadaan: (i) pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
(PA/KPA), yaitu pihak yang secara umum bertanggung jawab atas pengelolaan
anggaran di institusi; (ii) pejabat pembuat komitmen (PPK), pihak yang
menunjuk pemenang lelang; serta (iii) pejabat pengadaan atau unit layanan
pengadaan (PP/ULP), yaitu pihak yang mengevaluasi proposal peserta tender,
lalu memberikan saran kepada PPK mengenai perusahaan mana yang layak
ditunjuk sebagai pemenang.
Dalam struktur pemda, pihak (i) biasanya
adalah sekretaris daerah (Sekda) atau kepala dinas, pihak (ii) umumnya
merupakan kepala bidang, sedangkan pihak (iii) lazimnya adalah PNS daerah
yang berposisi di bawah kepala bidang.
Aneka struktur tersebut mudah dikondisikan
kepala daerah karena ketiganya loyal kepada Sekda selaku pembina karir bagi
seluruh PNS daerah. Padahal, Sekda adalah pembantu sekaligus orang pilihan
kepala daerah (pasal 121-122 UU Pemda).
Artinya, kepala daerah adalah boss of the
boss. Bila kepala daerah mengintervensi, tiga struktur tersebut cenderung
akan menjadi good boy agar karir mereka selamat.
Di antara tiga posisi tersebut, yang paling
rentan adalah PP/ULP. Sebagai pihak yang berwenang mengevaluasi proposal
tender, mereka kerap diminta menyesuaikan mekanisme evaluasi guna
melempangkan jalan kemenangan bagi perusahaan yang terafiliasi ke kepala
daerah. Mengingat PP/ULP berada di struktur terbawah, mereka juga kerap
menjadi pihak yang paling mudah ''dikorbankan'' dan berhadapan dengan
penegak hukum.
Putus Hierarki di Daerah
Potret tersebut menunjukkan bahwa korupsi
pengadaan di daerah terjadi secara sistemik. Korupsi bisa terjadi dengan
bantuan aparatur birokrasi. Menukil kata-kata Senge (1990), ''We must look
into the underlying structures which shape individual actions''. Jadi,
terdapat struktur dasar yang membentuk perilaku individual. Untuk kasus di
daerah, terdapat pihak-pihak yang menopang kepentingan koruptif kepala daerah.
Struktur dasar yang bermasalah tersebut
perlu diperbaiki. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah
mengamputasi hubungan hierarkis antara kepala daerah dan PP/ULP. Ada dua
cara untuk mewujudkan gagasan tersebut.
Pertama, PP dialihstatuskan dari PNS daerah
menjadi PNS pusat. Dengan demikian, mereka tidak perlu khawatir untuk
menolak intervensi karena kepala daerah, Sekda, hingga PPK bukan lagi
atasan mereka.
Kedua, koheren dengan poin itu, ULP juga
perlu dipisahkan dari struktur pemda. Unit tersebut kemudian perlu
dialihkan menjadi badan pemerintah pusat di daerah. Artinya, titik tekan
poin pertama terletak pada individu, sedangkan titik tekan poin kedua
adalah kelembagaan. Perlu ditegaskan, solusi tersebut tidak menyarankan
pemerintah untuk merekrut pegawai baru. Tidak pula perlu membentuk badan
yang sepenuhnya baru.
Diyakini, PP/ULP akan bisa mengevaluasi
proposal tender dengan lebih objektif. Bahkan, pemisahan itu akan mendorong
terbentuknya mekanisme saling kontrol. PP/ULP akan menolak terlibat dalam
upaya pemenangan perusahaan yang terafiliasi dengan kepala daerah. Mereka
akan enggan dijadikan ''bumper''.
Sebagai gantinya, melalui PPK, kepala daerah
beserta PA/KPA akan mengontrol rekomendasi pemenang lelang yang diajukan
PP/ULP. Mereka tentu tidak ingin barang/jasa yang akan
dipertanggungjawabkan tidak sesuai dengan kebutuhan serta harapan.
Diyakini, gagasan independensi pejabat
pengadaan tersebut bisa menambal kelemahan sistem pengadaan elektronik (e-proc). Selama ini sistem e-proc dianggap berhasil menekan
frekuensi bertemunya peserta tender dengan PP sehingga kemungkinan
suap-menyuap di antara mereka bisa ditekan. Namun, e-proc tampak kurang optimal untuk mencegah korupsi yang
melibatkan struktur kekuasaan seperti kepala daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar