Jumat, 06 Desember 2013

Solusi Korupsi Pengadaan di Daerah

Solusi Korupsi Pengadaan di Daerah
Richo Andi Wibowo  ;   Dosen FH UGM, peneliti Good Governance and Public Procurement di Institute of Constitutional and Administrative Law, Utrecht University, Belanda
JAWA POS,  06 Desember 2013

  

PADA era desentralisasi, banyak pula korupsi yang terkuak di daerah. Menurut laporan akhir tahun KPK (2012), 45 persen di antara 283 kasus korupsi pada 2004-2012 terjadi di daerah, 3 persen di luar negeri, dan sisanya terjadi di pemerintah pusat. Bila akhir Desember ini dirilis data terbaru, dipercaya hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya. Karena kualitas pengawasan di daerah lebih rendah, perhatian ekstra untuk pencegahan korupsi di daerah menjadi relevan untuk ditekankan. 

Menurut Indonesia Procurement Watch (5/6/2013), 70 persen kasus korupsi di Indonesia terjadi di sektor pengadaan barang/jasa (procurement). Karena itu, diduga sektor itu pulalah yang menjadi episentrum korupsi di daerah. 

Kepala daerah memanfaatkan sektor pengadaan guna mengeruk anggaran daerah untuk kepentingan pribadi, keluarga, partai, hingga para pengusaha penyokong mereka dalam pilkada. Agar perbuatan terlarang tersebut tampak legal, mereka kemudian memengaruhi (menekan) aparatur daerah yang menangani pengadaan. 

Bila disederhanakan, terdapat tiga aparatur kunci dalam sistem pengadaan: (i) pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (PA/KPA), yaitu pihak yang secara umum bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran di institusi; (ii) pejabat pembuat komitmen (PPK), pihak yang menunjuk pemenang lelang; serta (iii) pejabat pengadaan atau unit layanan pengadaan (PP/ULP), yaitu pihak yang mengevaluasi proposal peserta tender, lalu memberikan saran kepada PPK mengenai perusahaan mana yang layak ditunjuk sebagai pemenang.

Dalam struktur pemda, pihak (i) biasanya adalah sekretaris daerah (Sekda) atau kepala dinas, pihak (ii) umumnya merupakan kepala bidang, sedangkan pihak (iii) lazimnya adalah PNS daerah yang berposisi di bawah kepala bidang. 

Aneka struktur tersebut mudah dikondisikan kepala daerah karena ketiganya loyal kepada Sekda selaku pembina karir bagi seluruh PNS daerah. Padahal, Sekda adalah pembantu sekaligus orang pilihan kepala daerah (pasal 121-122 UU Pemda).

Artinya, kepala daerah adalah boss of the boss. Bila kepala daerah mengintervensi, tiga struktur tersebut cenderung akan menjadi good boy agar karir mereka selamat. 

Di antara tiga posisi tersebut, yang paling rentan adalah PP/ULP. Sebagai pihak yang berwenang mengevaluasi proposal tender, mereka kerap diminta menyesuaikan mekanisme evaluasi guna melempangkan jalan kemenangan bagi perusahaan yang terafiliasi ke kepala daerah. Mengingat PP/ULP berada di struktur terbawah, mereka juga kerap menjadi pihak yang paling mudah ''dikorbankan'' dan berhadapan dengan penegak hukum. 

Putus Hierarki di Daerah 

Potret tersebut menunjukkan bahwa korupsi pengadaan di daerah terjadi secara sistemik. Korupsi bisa terjadi dengan bantuan aparatur birokrasi. Menukil kata-kata Senge (1990), ''We must look into the underlying structures which shape individual actions''. Jadi, terdapat struktur dasar yang membentuk perilaku individual. Untuk kasus di daerah, terdapat pihak-pihak yang menopang kepentingan koruptif kepala daerah.

Struktur dasar yang bermasalah tersebut perlu diperbaiki. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah mengamputasi hubungan hierarkis antara kepala daerah dan PP/ULP. Ada dua cara untuk mewujudkan gagasan tersebut.

Pertama, PP dialihstatuskan dari PNS daerah menjadi PNS pusat. Dengan demikian, mereka tidak perlu khawatir untuk menolak intervensi karena kepala daerah, Sekda, hingga PPK bukan lagi atasan mereka. 

Kedua, koheren dengan poin itu, ULP juga perlu dipisahkan dari struktur pemda. Unit tersebut kemudian perlu dialihkan menjadi badan pemerintah pusat di daerah. Artinya, titik tekan poin pertama terletak pada individu, sedangkan titik tekan poin kedua adalah kelembagaan. Perlu ditegaskan, solusi tersebut tidak menyarankan pemerintah untuk merekrut pegawai baru. Tidak pula perlu membentuk badan yang sepenuhnya baru. 

Diyakini, PP/ULP akan bisa mengevaluasi proposal tender dengan lebih objektif. Bahkan, pemisahan itu akan mendorong terbentuknya mekanisme saling kontrol. PP/ULP akan menolak terlibat dalam upaya pemenangan perusahaan yang terafiliasi dengan kepala daerah. Mereka akan enggan dijadikan ''bumper''.

Sebagai gantinya, melalui PPK, kepala daerah beserta PA/KPA akan mengontrol rekomendasi pemenang lelang yang diajukan PP/ULP. Mereka tentu tidak ingin barang/jasa yang akan dipertanggungjawabkan tidak sesuai dengan kebutuhan serta harapan. 

Diyakini, gagasan independensi pejabat pengadaan tersebut bisa menambal kelemahan sistem pengadaan elektronik (e-proc). Selama ini sistem e-proc dianggap berhasil menekan frekuensi bertemunya peserta tender dengan PP sehingga kemungkinan suap-menyuap di antara mereka bisa ditekan. Namun, e-proc tampak kurang optimal untuk mencegah korupsi yang melibatkan struktur kekuasaan seperti kepala daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar