Keluar dari ‘Jebakan’
Konsumsi
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
23 Desember 2013
Hampir seluruh proyeksi terkait
dengan perekonomian 2014 nadanya serupa. Proyeksi tersebut umumnya menyatakan
bahwa perekonomian 2014 diperkirakan relatif tidak jauh berbeda dengan capaian
2013, yaitu tumbuh di bawah enam persen. Proyeksi capaian pertumbuhan ekonomi
2014 yang kurang mengesankan ini terutama disebabkan oleh kinerja investasi
dan ekspor belum mampu memberikan kontribusi signifikan.
Kinerja pertumbuhan ekonomi 2014
diperkirakan masih akan bergantung pada konsumsi rumah tangga. Menyadari bahwa
konsumsi rumah tangga memegang peran penting dalam menjaga kinerja
pertumbuhan 2014, pemerintah pun tampaknya akan all out untuk menjaga konsumsi rumah tangga ini agar kinerjanya
tidak mengalami penurunan yang signifikan, terutama akibat pengaruh eksternal
(global) yang masih krisis. Terlebih lagi, pada tahun politik, akan sangat
riskan bagi kepentingan politik penguasa bila sampai konsumsi rumah tangga
terganggu.
Dapat diprediksikan bahwa anggaran
negara pun akan `dikerahkan' bilamana terjadi hal-hal di luar perkiraan yang
dapat mengganggu konsumsi rumah tangga.
Sebagai contoh, bila tren pelemahan nilai tukar rupiah ini masih berlanjut,
pemerintah tampaknya akan mengambil jalan menaikkan subsidi (bisa melalui
insentif fiskal) meski berdam pak pada peningkatan defisit fiskal, dibanding
dengan melepas harga-harga yang akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang
yang berasal dari impor (imported
inflation). Hal yang sama juga akan dilakukan pemerintah, yaitu dengan
menaikkan subsidi, bila terjadi kenaik an harga minyak mentah dibanding
pemerintah harus menaikkan harga BBM bersubsidi.
Tentunya, tidak ada yang salah dengan pilihan kebijakan
seperti ini. Sebab, pada dasarnya, kebijakan itu adalah seni mengelola
kepentingan masyarakat. Yang terpenting adalah muara dari kebijakan tersebut
haruslah tetap kepada tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, yang menjadi
pertanyaan adalah sampai kapan kita terus `terbelenggu' dengan stigma (bahkan
mungkin sudah menjadi mitos) bahwa karena konsumsi rumah tangga memegang peran
penting dalam perekonomian, kita tidak berani memotong mata rantai ketergantungan
pada konsumsi ini? Benarkah basis konsumsi yang besar akan mampu menjamin
pertumbuhan ekonomi yang besar pula?
Bank Dunia pada 16 Desember 2013 merilis satu fakta menarik
yang patut kita jadikan sebagai sinyal. Sebagai contoh, India pada tiga tahun
terakhir ini, peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB-nya mengalami
peningkatan dari sekitar 57 persen (2010) menjadi sekitar 62 persen (2012).
Sayangnya, laju pertumbuhan ekonominya (PDB) justru mengalami penurunan secara
signifikan dari sekitar 11 persen (2010) menjadi hanya sekitar empat persen (2012).
Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada 2005-2007 saat peranan konsumsi
rumah tangga India terhadap PDB-nya hanya sekitar 55-57 persen, tetapi
pertumbuhan ekonominya tinggi (di level sembilan hingga 10 per sen).
Kondisi yang hampir mirip dengan India juga terjadi di Indonesia.
Pada 2010 dan 2011, peranan kontribusi rumah tangga terhadap PDB Indonesia
sekitar 56 persen. Laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2010 dan 2011
ternyata cukup tinggi, ya itu 6,3-6,5 persen. Pada 2012 ketika peranan konsumsi
rumah tangga hampir mencapai 60 persen, justru pertumbuhan ekonomi tidak
bergerak signifikan, yaitu hanya tumbuh 6,2 persen. Pada 2013, ketika peranan
konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai sekitar 60 persen, pertumbuhan
ekonomi 2013 diperkirakan di bawah enam persen.
Secara sederhana, kontradiksi ini terjadi karena tingginya
peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB telah menyebabkan alokasi sumber
daya (termasuk anggaran negara) terlalu banyak dialokasikan untuk mendukung
sektor konsumsi sehingga mengorbankan sektor investasi dan ekspor. Kita bisa menyaksikan bahwa
rendahnya belanja investasi (pemerintah dan swasta) telah menyebabkan pertumbuhan
sektor investasi jauh dari harapan. Belanja pemerintah, misalnya, terlalu
banyak dialokasikan untuk belanja yang bersifat konsumtif, seperti subsidi
BBM yang terlalu tinggi. Pada 2013 (hingga kuartal III), sektor investasi
hanya tumbuh antara 4,5-5,9 persen, jauh dibanding 2012 yang tumbuh setiap
kuartalnya antara 7,3 dan 12,5 persen. Padahal, idealnya pertumbuhan
investasi kita seharusnya di atas 12 per sen.
Tidak hanya sektor investasi yang menjadi korban akibat
terlalu besarnya sumber daya yang dialokasikan ke konsumsi rumah tangga, tetapi
ekspor juga menjadi korban. Kurangnya belanja pemerintah untuk insentif bagi
penguatan sektor manufaktur telah menyebabkan kinerja ekspor dalam beberapa
tahun terakhir menurun dratis. Pada 2012, untuk pertama kalinya sejak 1960,
neraca perdagangan kita mengalami defisit. Penyebabnya, pertumbuhan ekspor
kita tidak mampu mengimbangi impor yang pertumbuhannya sangat cepat.
Rendahnya belanja pemerintah (termasuk swasta) untuk mendukung
kegiatan manufaktur kita telah menyebabkan daya saing produk ekspor kita
tertinggal jauh. Sebagian besar ekspor kita masih berupa ekspor komoditas,
bukan produk dengan kandungan tek nologi tinggi. Berbeda dengan Thailand,
Malaysia, dan Vietnam yang ekspornya tidak terlalu bergantung pada komoditas.
Akibatnya, ketika terjadi tekanan terhadap harga komoditas dan pelemahan
permintaan dari negara tujuan ekspor, kinerja ekspor secara keseluruhan
langsung jatuh.
Melihat fakta-fakta seperti ini, saya kira dibutuhkan keberanian
dalam kebijakan fiskal (termasuk moneter) untuk memotong mata rantai ketergantungan
pada sektor konsumsi rumah tangga ini. Pemerintah harus berani, misalnya,
mengalokasikan belanja modal yang lebih tinggi untuk kegiatan investasi, baik
infrastruktur (termasuk infrastruktur energi), pengembangan inovasi
manufaktur, mau pun industri substitusi impor. Caranya, alihkan belanja yang
sifatnya konsumtif (seperti subsidi BBM) ke belanja modal. Mulailah untuk
membiasakan masyarakat kita ketika dalam berkonsumsi tidak disubsidi lagi,
kecuali masyarakat yang memang perlu disubsidi.
Kebijakan ini memang tidak populer. Tetapi, saya kira ini
adalah langkah yang mendasar untuk mengarahkan ekonomi tetap berada dalam
jalur pertumbuhan ekonomi tinggi (sekaligus berkualitas) untuk menciptakan
semakin banyak kesempatan kerja dan meningkatkan daya saing perekonomian.
Mudah-mudahan saja, pada tahun terakhirnya, pemerintah saat ini berani
melakukan hal ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar