Selasa, 24 Desember 2013

Keluar dari ‘Jebakan’ Konsumsi

Keluar dari ‘Jebakan’ Konsumsi
Sunarsip ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  23 Desember 2013

  

Hampir seluruh proyeksi terkait dengan perekonomian 2014 nadanya serupa. Proyeksi tersebut umumnya menyatakan bahwa perekonomian 2014 diperkirakan relatif tidak jauh berbeda dengan capaian 2013, yaitu tumbuh di bawah enam persen. Proyeksi capaian pertumbuhan ekonomi 2014 yang kurang mengesankan ini terutama disebabkan oleh kinerja investasi dan ekspor belum mampu memberikan kontribusi signifikan. 

Kinerja pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan masih akan bergantung pada konsumsi rumah tangga. Menyadari bahwa konsumsi rumah tangga memegang peran penting dalam menjaga kinerja pertumbuhan 2014, pemerintah pun tampaknya akan all out untuk menjaga konsumsi rumah tangga ini agar kinerjanya tidak mengalami penurunan yang signifikan, terutama akibat pengaruh eksternal (global) yang masih krisis. Terlebih lagi, pada tahun politik, akan sangat riskan bagi kepentingan politik penguasa bila sampai konsumsi rumah tangga terganggu. 

Dapat diprediksikan bahwa anggaran negara pun akan `dikerahkan' bilamana terjadi hal-hal di luar perkiraan yang dapat mengganggu konsumsi rumah tangga. Sebagai contoh, bila tren pelemahan nilai tukar rupiah ini masih berlanjut, pemerintah tampaknya akan mengambil jalan menaikkan subsidi (bisa melalui insentif fiskal) meski berdam pak pada peningkatan defisit fiskal, dibanding dengan melepas harga-harga yang akan menyebabkan kenaikan harga barang-barang yang berasal dari impor (imported inflation). Hal yang sama juga akan dilakukan pemerintah, yaitu dengan menaikkan subsidi, bila terjadi kenaik an harga minyak mentah dibanding pemerintah harus menaikkan harga BBM bersubsidi.

Tentunya, tidak ada yang salah dengan pilihan kebijakan seperti ini. Sebab, pada dasarnya, kebijakan itu adalah seni mengelola kepentingan masyarakat. Yang terpenting adalah muara dari kebijakan tersebut haruslah tetap kepada tujuan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan kita terus `terbelenggu' dengan stigma (bahkan mungkin sudah menjadi mitos) bahwa karena konsumsi rumah tangga memegang peran penting dalam perekonomian, kita tidak berani memotong mata rantai ketergantungan pada konsumsi ini? Benarkah basis konsumsi yang besar akan mampu menjamin pertumbuhan ekonomi yang besar pula?

Bank Dunia pada 16 Desember 2013 merilis satu fakta menarik yang patut kita jadikan sebagai sinyal. Sebagai contoh, India pada tiga tahun terakhir ini, peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB-nya mengalami peningkatan dari sekitar 57 persen (2010) menjadi sekitar 62 persen (2012). Sayangnya, laju pertumbuhan ekonominya (PDB) justru mengalami penurunan secara signifikan dari sekitar 11 persen (2010) menjadi hanya sekitar empat persen (2012). 

Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada 2005-2007 saat peranan konsumsi rumah tangga India terhadap PDB-nya hanya sekitar 55-57 persen, tetapi pertumbuhan ekonominya tinggi (di level sembilan hingga 10 per sen).

Kondisi yang hampir mirip dengan India juga terjadi di Indonesia. Pada 2010 dan 2011, peranan kontribusi rumah tangga terhadap PDB Indonesia sekitar 56 persen. Laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada 2010 dan 2011 ternyata cukup tinggi, ya itu 6,3-6,5 persen. Pada 2012 ketika peranan konsumsi rumah tangga hampir mencapai 60 persen, justru pertumbuhan ekonomi tidak bergerak signifikan, yaitu hanya tumbuh 6,2 persen. Pada 2013, ketika peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB mencapai sekitar 60 persen, pertumbuhan ekonomi 2013 diperkirakan di bawah enam persen.

Secara sederhana, kontradiksi ini terjadi karena tingginya peranan konsumsi rumah tangga terhadap PDB telah menyebabkan alokasi sumber daya (termasuk anggaran negara) terlalu banyak dialokasikan untuk mendukung sektor konsumsi sehingga mengorbankan sektor investasi dan ekspor.  Kita bisa menyaksikan bahwa rendahnya belanja investasi (pemerintah dan swasta) telah menyebabkan pertumbuhan sektor investasi jauh dari harapan. Belanja pemerintah, misalnya, terlalu banyak dialokasikan untuk belanja yang bersifat konsumtif, seperti subsidi BBM yang terlalu tinggi. Pada 2013 (hingga kuartal III), sektor investasi hanya tumbuh antara 4,5-5,9 persen, jauh dibanding 2012 yang tumbuh setiap kuartalnya antara 7,3 dan 12,5 persen. Padahal, idealnya pertumbuhan investasi kita seharusnya di atas 12 per sen.

Tidak hanya sektor investasi yang menjadi korban akibat terlalu besarnya sumber daya yang dialokasikan ke konsumsi rumah tangga, tetapi ekspor juga menjadi korban. Kurangnya belanja pemerintah untuk insentif bagi penguatan sektor manufaktur telah menyebabkan kinerja ekspor dalam beberapa tahun terakhir menurun dratis. Pada 2012, untuk pertama kalinya sejak 1960, neraca perdagangan kita mengalami defisit. Penyebabnya, pertumbuhan ekspor kita tidak mampu mengimbangi impor yang pertumbuhannya sangat cepat. 

Rendahnya belanja pemerintah (termasuk swasta) untuk mendukung kegiatan manufaktur kita telah menyebabkan daya saing produk ekspor kita tertinggal jauh. Sebagian besar ekspor kita masih berupa ekspor komoditas, bukan produk dengan kandungan tek nologi tinggi. Berbeda dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang ekspornya tidak terlalu bergantung pada komoditas. Akibatnya, ketika terjadi tekanan terhadap harga komoditas dan pelemahan permintaan dari negara tujuan ekspor, kinerja ekspor secara keseluruhan langsung jatuh.

Melihat fakta-fakta seperti ini, saya kira dibutuhkan keberanian dalam kebijakan fiskal (termasuk moneter) untuk memotong mata rantai ketergantungan pada sektor konsumsi rumah tangga ini. Pemerintah harus berani, misalnya, mengalokasikan belanja modal yang lebih tinggi untuk kegiatan investasi, baik infrastruktur (termasuk infrastruktur energi), pengembangan inovasi manufaktur, mau pun industri substitusi impor. Caranya, alihkan belanja yang sifatnya konsumtif (seperti subsidi BBM) ke belanja modal. Mulailah untuk membiasakan masyarakat kita ketika dalam berkonsumsi tidak disubsidi lagi, kecuali masyarakat yang memang perlu disubsidi.

Kebijakan ini memang tidak populer. Tetapi, saya kira ini adalah langkah yang mendasar untuk mengarahkan ekonomi tetap berada dalam jalur pertumbuhan ekonomi tinggi (sekaligus berkualitas) untuk menciptakan semakin banyak kesempatan kerja dan meningkatkan daya saing perekonomian. Mudah-mudahan saja, pada tahun terakhirnya, pemerintah saat ini berani melakukan hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar