Kasihan,
Boediono
Redi Panuju ;
Dosen Pascasarjana Unitomo, Surabaya
|
TEMPO.CO,
04 Desember 2013
Setelah Wakil Presiden Boediono dipanggil Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai saksi atas kemelut Bank Century, tampak jelas
semiotikanya bahwa SBY-Boediono sesungguhnya tidak satu. Indikasinya, tidak
ada yang berusaha membela Boediono. Bahkan ia dibiarkan memberikan
keterangan pers sendiri dalam keadaan yang tampak lemah. Meski Boediono
berusaha untuk tersenyum, bagi mereka yang mempelajari bahasa tubuh dan
mimik, kecemasan dan kekecewaannya tak dapat disembunyikan.
Beda
bila ada pihak yang berusaha "mengganggu" SBY, banyak kalangan
yang langsung pasang badan. Kesannya, Boediono sedang diskenariokan untuk
menanggung beban skandal pemerintahan SBY. Bahkan banyak kalangan yang
mulai memprediksi, cepat atau lambat Boediono bakal diposisikan sebagai
tumbal.
Apakah
karena Boediono secara politis sudah tidak memiliki masa depan, karena
tidak memiliki akar politik dari partai mana pun? Bukankah, dalam politik,
tidak ada kawan yang abadi, sebab yang abadi adalah kepentingan? Tapi, dari
kacamata komunikasi politik yang kasatmata, minimal tampilan di layar kaca,
politik tak ada kawan yang abadi itu sungguh tidak elok. Tampak tidak ada
empati atas beban yang dipikul oleh sang Wapres. Padahal, ketika berjuang
menggelitik hati rakyat, Boediono dan SBY dicitrakan sebagai dwi-tunggal.
Seolah-olah benar pepatah mengatakan bahwa, dalam politik, sering kali
berlaku "habis manis, sepah dibuang".
Sangat
mungkin persepsi publik saat ini bahwa SBY sedang pusing tujuh keliling
mencari jalan keluar dari stigma yang bertumpuk-tumpuk. Dalam paruh akhir
kepemimpinannya di periode kedua ini, SBY dan Partai Demokrat seolah tak
pernah henti diterpa skandal korupsi. Hasil riset berbagai lembaga survei,
yang memperlihatkan tingkat popularitas maupun elektabilitas Partai
Demokrat semakin terjun payung, menjadi sangat logis di mata publik.
Argumen apa pun yang dikeluarkan kubu SBY untuk menangkis hasil survei
tersebut akan sia-sia. Sebab, generalisasi yang muncul di benak masyarakat
adalah pertautan antara kesimpulan dan fakta. Fakta yang tengah mengepung
SBY memperkuat hasil pemotretan akademik.
Itulah
posisi SBY yang kini sedang dalam situasi serba salah. Semua jalan seolah
sudah buntu (no way out). Apa pun yang dilakukan SBY selalu mendapat
cibiran, bahkan yang positif sekali pun. Apalagi bila SBY melakukan
kesalahan. Jangan-jangan membiarkan Boediono masuk ke mulut KPK sendiri
juga dalam kerangka berpikir yang positif. Setidaknya SBY ingin menunjukkan
kepada publik bahwa dia benar-benar pro-penegakan hukum, seperti yang
pernah ia lakukan kepada besannya, Aulia Pohan, di akhir masa jabatannya
yang pertama. Aulia Pohan dibiarkan menjalani proses hukum sendiri, dan
dibiarkan pula menikmati dinginnya terali besi.
Waktu
itu pujian mengalir bertubi-tubi, seolah SBY menegakkan hukum tanpa pandang
bulu. Fenomena itu tak dapat dimungkiri memberi andil terhadap
kemenangannya yang kedua dalam pemilihan presiden empat tahun silam. Kesan
bahwa SBY dan Partai Demokrat benar-benar anti-korupsi menguat bulat oleh
terpaan iklan para kader partai di televisi yang narasinya berbunyi
"Korupsi, Katakan Tidak!", sambil menunjukkan jempol yang
kemudian dibalik ke bawah. Sekarang, fakta itu berbalik sembilan puluh
derajat.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar