Kamis, 05 Desember 2013

Kasihan, Boediono

Kasihan, Boediono
Redi Panuju  ;   Dosen Pascasarjana Unitomo, Surabaya
TEMPO.CO,  04 Desember 2013

  

Setelah Wakil Presiden Boediono dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi atas kemelut Bank Century, tampak jelas semiotikanya bahwa SBY-Boediono sesungguhnya tidak satu. Indikasinya, tidak ada yang berusaha membela Boediono. Bahkan ia dibiarkan memberikan keterangan pers sendiri dalam keadaan yang tampak lemah. Meski Boediono berusaha untuk tersenyum, bagi mereka yang mempelajari bahasa tubuh dan mimik, kecemasan dan kekecewaannya tak dapat disembunyikan. 

Beda bila ada pihak yang berusaha "mengganggu" SBY, banyak kalangan yang langsung pasang badan. Kesannya, Boediono sedang diskenariokan untuk menanggung beban skandal pemerintahan SBY. Bahkan banyak kalangan yang mulai memprediksi, cepat atau lambat Boediono bakal diposisikan sebagai tumbal. 

Apakah karena Boediono secara politis sudah tidak memiliki masa depan, karena tidak memiliki akar politik dari partai mana pun? Bukankah, dalam politik, tidak ada kawan yang abadi, sebab yang abadi adalah kepentingan? Tapi, dari kacamata komunikasi politik yang kasatmata, minimal tampilan di layar kaca, politik tak ada kawan yang abadi itu sungguh tidak elok. Tampak tidak ada empati atas beban yang dipikul oleh sang Wapres. Padahal, ketika berjuang menggelitik hati rakyat, Boediono dan SBY dicitrakan sebagai dwi-tunggal. Seolah-olah benar pepatah mengatakan bahwa, dalam politik, sering kali berlaku "habis manis, sepah dibuang".

Sangat mungkin persepsi publik saat ini bahwa SBY sedang pusing tujuh keliling mencari jalan keluar dari stigma yang bertumpuk-tumpuk. Dalam paruh akhir kepemimpinannya di periode kedua ini, SBY dan Partai Demokrat seolah tak pernah henti diterpa skandal korupsi. Hasil riset berbagai lembaga survei, yang memperlihatkan tingkat popularitas maupun elektabilitas Partai Demokrat semakin terjun payung, menjadi sangat logis di mata publik. Argumen apa pun yang dikeluarkan kubu SBY untuk menangkis hasil survei tersebut akan sia-sia. Sebab, generalisasi yang muncul di benak masyarakat adalah pertautan antara kesimpulan dan fakta. Fakta yang tengah mengepung SBY memperkuat hasil pemotretan akademik. 

Itulah posisi SBY yang kini sedang dalam situasi serba salah. Semua jalan seolah sudah buntu (no way out). Apa pun yang dilakukan SBY selalu mendapat cibiran, bahkan yang positif sekali pun. Apalagi bila SBY melakukan kesalahan. Jangan-jangan membiarkan Boediono masuk ke mulut KPK sendiri juga dalam kerangka berpikir yang positif. Setidaknya SBY ingin menunjukkan kepada publik bahwa dia benar-benar pro-penegakan hukum, seperti yang pernah ia lakukan kepada besannya, Aulia Pohan, di akhir masa jabatannya yang pertama. Aulia Pohan dibiarkan menjalani proses hukum sendiri, dan dibiarkan pula menikmati dinginnya terali besi. 

Waktu itu pujian mengalir bertubi-tubi, seolah SBY menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Fenomena itu tak dapat dimungkiri memberi andil terhadap kemenangannya yang kedua dalam pemilihan presiden empat tahun silam. Kesan bahwa SBY dan Partai Demokrat benar-benar anti-korupsi menguat bulat oleh terpaan iklan para kader partai di televisi yang narasinya berbunyi "Korupsi, Katakan Tidak!", sambil menunjukkan jempol yang kemudian dibalik ke bawah. Sekarang, fakta itu berbalik sembilan puluh derajat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar