|
KOMPAS, 07 Mei 2013
Rakyat
pemilih Malaysia telah memberikan suara pada Pemilu 5 Mei 2013. Koalisi partai
berkuasa, Barisan Nasional, sementara unggul dalam perolehan kursi di parlemen
federal.
Isu-isu
kampanye selama dua minggu hingga hari pencoblosan yang diadvokasikan para
kandidat dan serangan-serangan terhadap moralitas pribadi pimpinan tertinggi
kedua koalisi menunjukkan sengitnya pertarungan. Berbeda dengan pemilu
sebelumnya, kalangan analis, akademisi, dan intelektual organik parpol kedua
kubu menghindarkan untuk membuat ramalan tegas dan meyakinkan tentang hasil
pemilu ini. Selain diwarnai pertarungan sengit, pemilu kali ini paling tidak
dapat diramalkan dalam politik Malaysia.
Malaysia
menerapkan sistem politik demokrasi parlementer yang berbasis pada negara
federal. Pemilu 5 Mei memilih 222 anggota parlemen atau Dewan Rakyat (DR) dalam
sistem distrik. Setiap daerah pemilihan (dapil) diperebutkan untuk diwakili
hanya oleh satu anggota parlemen yang menang. Sistem pemilihan yang sama
berlaku juga untuk memilih anggota Dewan Undangan Negeri (DUN) atau parlemen di
negara bagian.
Federasi
Malaysia memiliki 13 negara bagian atau negeri, termasuk Sabah dan Sarawak yang
berada di Kalimantan Utara. DR selanjutnya memilih perdana menteri (berkuasa
atas pemerintahan federal di Putrajaya) dan DUN memilih menteri besar (berkuasa
untuk tiap negeri di ibu kota negeri masing-masing).
Pemilu
ini dalam politik Malaysia dikenal sebagai Pilihan Raya Umum (PRU) Ke-13, yang
tak pelak merupakan batu ujian menentukan bagi PM Najib Razak dan pemimpin
oposisi Ibrahim Anwar, dua figur utama dalam politik Malaysia. Najib—Ketua
Partai Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (United Malay National
Organisation/UMNO) dan koalisi Barisan Nasional (BN)–menghabiskan energi
politik dan perhatian selama empat tahun terakhir untuk reformasi
sosial-ekonomi—Najib menyebutnya sebagai transformasi—untuk memastikan
kelanjutan pemerintahan BN.
Anwar–penasihat
Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan ketua koalisi PR–telah tiga kali bertarung
dalam pemilu sebagai pemimpin oposisi, dan dalam pemilu ini bertarung untuk
keempat kalinya. Bagi Najib, hasil pemilu ini menjadi ujian bagi transformasi
yang dijalankannya. Bagi Anwar, ini pertarungan politik paling menentukan,
barangkali sekaligus ujian bagi popularitas dan kepemimpinan politiknya.
Korupsi
dan Isu Lain
Banyak
isu dikontestasikan dalam kampanye yang hampir seluruhnya beredar di publik
sebelumnya. Sebagian bahkan dapat dikatakan sebagai isu lama yang
dikontestasikan sejak Pemilu 1999 menyusul peristiwa Gerakan Reformasi Malaysia
(GRM) 1998. Sebagian isu yang lebih baru juga muncul dalam perdebatan di media
massa dan pada kampanye pemilu sela. Malaysia memberlakukan pemilu sela untuk
memilih anggota parlemen pada dapil yang kosong karena anggota parlemen lama
meninggal atau mengundurkan diri. Pemilu sela merupakan konsekuensi lain dari
sistem distrik. Sejak Pemilu 2008, Malaysia telah menyelenggarakan 14 pemilu
sela, baik untuk anggota DR maupun DUN, dengan kemenangan seimbang antara BN
dan PR.
Isu
kampanye yang banyak dan beragam dapat diringkas jadi tiga isu utama, yakni
korupsi, hudud (syariah Islam), dan demokrasi. Isu korupsi sebagai isu lama dan
permanen mencakup pembangunan ekonomi, daya saing pemerintah, dan kinerja
birokrasi. Korupsi menjadi isu kampanye utama dan favorit dari oposisi, dan
selalu muncul sebagai topik pada setiap kampanye. Oposisi menuduh pemerintah BN
korup dan menyerukan penghapusan korupsi dengan mengganti pemerintah yang ada.
Di
samping ketiga isu itu, pemilu tahun ini juga diwarnai isu moralitas kandidat,
terutama menyangkut pemimpin tertinggi kedua koalisi, Najib (BN) dan Anwar
(PR). Isu moral pemimpin sesungguhnya isu lama. Hadirnya isu moral–yang membawa
ke tingkat publik dugaan cacat moral kedua pemimpin politik tertinggi
Malaysia–muncul setidaknya tiga tahun terakhir. Dalam sistem demokrasi
parlementer seperti di Malaysia, kedua pemimpin partai/koalisi partai harus
bertarung memperebutkan kursi di parlemen untuk selanjutnya mendapatkan jabatan
PM lewat pemilihan di parlemen dengan partai atau koalisi partai pemenang
pemilu, sekaligus memenangkan jabatan PM.
Untuk
menilai kekuatan politik di Malaysia saat ini, acuan yang dapat digunakan tentu
hasil pemilu terakhir, Pemilu 8 Maret 2008 atau PRU Ke-12. Koalisi BN
mempertahankan mayoritas di DR, paling tipis dalam sejarah BN, yakni 140 kursi
pada Pemilu 2008. Sumbangan terbesar bagi kursi BN didapat dari UMNO. Adapun BN
mengalami penurunan kontribusi kursi dari dua mitra utama koalisi, Malaysian
Chinese Association dan Malaysian Indian Congress. Sebaliknya, koalisi oposisi
PR meraih 82 kursi DR dengan alokasi PKR 31 kursi, Partai Islam Se-Malaysia 23
kursi, dan Partai Aksi Demokratik 28 kursi.
Selain
tambahan kursi hampir empat kali dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya 20 kursi,
koalisi oposisi PR juga menang di lima negara bagian (Kelantan, Perak, Kedah,
Selangor, dan Pulau Pinang). Ini prestasi terbaik oposisi dalam penguasaan
negara bagian, sekaligus prestasi terburuk BN, meski PR akhirnya kehilangan
Negeri Perak akibat tiga DUN PR menyatakan diri independen. Perkembangan paling
fenomenal pasca-Pemilu 2008 adalah kemenangan Anwar pada pemilu sela di dapil
Permatang Pauh pada 26 Agustus 2008. Setelah membawa oposisi membuat debut
politik penting dalam Pemilu 8 Maret 2008, Anwar kembali ke parlemen dan
kemudian memimpin oposisi di parlemen.
Dengan
kemenangan ini, oposisi berkesempatan mewujudkan proyek Malaysia yang
demokratis dan berkeadilan sosial (sesuai manifesto utamanya) di negara bagian
yang dikuasai. Keberhasilan proyek showcase ini, tak bisa dimungkiri,
memberikan dampak politik besar, terutama pada pengalihan dukungan ke oposisi
dari pemilih di negara bagian yang dikuasai BN. Kehilangan lima negara bagian
ini (atau bisa dibaca empat) harus dicatat sebagai kekalahan BN meski masih
menguasai kursi di DR dan kursi PM di tingkat federal.
Baru
vs Transformasi
Pemilu
5 Mei berlangsung dalam setting pematangan politik baru (new politics) dan liberalisasi politik, kecenderungan politik yang
telah berjalan di Malaysia dua dekade terakhir. Terminologi politik baru
merujuk lahirnya orientasi politik di kalangan warga dan pemilih yang
sebelumnya bertumpu pada etnisitas dan pembangunan ekonomi berbasis etnis
menuju nilai-nilai politik baru, yakni kebebasan individu, demokrasi,
pluralisme, dan penghargaan pada HAM. Ini juga pemilu pertama dalam
liberalisasi politik di bawah Najib—ditandai antara lain penghapusan sensor
atas media, pencabutan UU Keamanan Dalam Negeri, dan reformasi sistem pemilu
sepanjang tahun 2011.
Politik
baru ini lahir bersamaan dengan GRM. Meski demikian, politik baru ini bukan
lahir karena GRM, tetapi akarnya sebetulnya terletak pada perluasan kelas
menengah berpendidikan tinggi sebagai buah dari kemakmuran ekonomi. Dengan kata
lain, politik baru lahir berkat keberhasilan pembangunan ekonomi dan
modernisasi. GRM hanya pemicu atau ekspresi politik baru. Faktor lain
penyumbang kelahiran politik baru adalah globalisasi dan persentuhan kelas
menengah yang besar dengan nilai-nilai yang diadvokasikan oleh individu dan
organisasi internasional sejalan dengan demokratisasi global. Kemakmuran
ekonomi dan kelahiran politik baru ini memberikan darah baru bagi revitalisasi
demokrasi yang mencakup kebebasan individu, penghargaan HAM, dan tuntutan akan
pemerintahan bersih.
Kelahiran
dan pematangan politik baru bukan tidak diantisipasi Najib dan BN. Program
transformasi Najib digagas untuk merespons tantangan yang dihadapi UMNO dan BN.
Program transformasi terdiri dari empat agenda kebijakan yang memberikan
implikasi transformatif pada kondisi sosial-ekonomi dan politik. Dengan keempat
agenda—konsep Satu Malaysia, Model Ekonomi Baru (MEB), Program Transformasi
Pemerintahan, dan Program Transformasi Politik—ini, Najib sesungguhnya menghadirkan
sistem politik demokrasi di Malaysia yang lebih maju dan liberal dibandingkan
dengan satu dekade lalu.
Najib
memang mewarisi Malaysia dengan lanskap politik yang baru sehingga ia harus
juga menampilkan pemerintahan BN yang baru seperti tata kelola pemerintahan
baik, bersih, melayani, adil, dan adaptif terhadap perubahan. Najib melangkah
lebih maju dengan program tranformasi seperti disebutkan sebelumnya. Inti dari
keseluruhan program tranformasi atau reformasi ini sesungguhnya secara politis adalah
menjaga pemerintahan BN tetap relevan dalam politik Malaysia. Sungguh, sebuah
transformasi sosial-politik-ekonomi yang tidak mudah. Apakah transformasi ini
dianggap memadai dan berhasil oleh pemilih? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar