Selasa, 07 Mei 2013

Parpol Harus “Tobat Nasuha”


Parpol Harus “Tobat Nasuha”
Peter Lewuk  Peneliti Senior the Adam Malik Center
SINAR HARAPAN, 06 Mei 2013



Membaca fenomena calon legislatif yang diajukan partai-partai politik menghadapi Pemilu 2014 benar-benar membuat miris. Jangan-jangan Indonesia ini mau dijadikan republik keluarga pejabat dan kerabat, negara pesohor, dan negara kaum plutokrat.

Betapa tidak, dengan tanpa merasa risih dan atau malu sedikit pun, para pejabat, suami, istri, anak, menantu, keponakan, dan kerabat, serta para pesohor alias artis dan para penguasa uang alias plutokrat ramai-ramai mendaftarkan diri menjadi calon anggota legislatif.

Bila fenomena ini dikritik maka pembelaan yang dikemukakan itu sangat mulia, rasional, dan konstitusional. Bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kebebasan, yang dijamin oleh konstitusi, untuk berpolitik demi memperjuangkan aspirasi rakyat.

Namun, apakah betul itu adalah alasan yang sesungguhnya? Tidakkah di balik alasan itu tersirat keinginan untuk mendapatkan “job” bergengsi dengan gaji besar serta predikat sebagai “poli(tikus)”? Apakah para elite pemimpin partai benar-benar memperhatikan integritas, kapabilitas, kualitas, dan kompetensi akademik-multidisipliner dari para caleg yang diajukan itu?

Tidak itu saja, dana yang harus dimiliki oleh setiap caleg untuk “menyogok” konstituen supaya memilih sang caleg saat pemilu pun tidak sedikit. Bunyinya miliaran rupiah. Tentu saja bagi sang plutokrat, bunyi miliaran itu tidak menjadi masalah.

Tetapi bagaimana dengan caleg yang tidak memiliki uang miliaran? Berutang di bank atau menjual aset pribadi/keluarga? Kalau utang, tentu harus dibayar setelah terpilih menjadi legislator, tetapi bagaimana kalau tidak terpilih? Apa pula dampak dan implikasi “utang politik” sang caleg dan “investasi politik” yang telah ditanam sang plutokrat itu bagi kinerja mereka sebagai legislator kelak jika terpilih?

Parpol “Rusak”

Fenomena caleg keluarga pejabat, kerabat, plutokrat, dan pesohor untuk Pemilu 2014 merefleksikan betapa partai politik mengalami “kerusakan” sangat parah dalam hal perekrutan politik, kaderisasi politik, dan pendidikan politik.

Rupanya fungsi-fungsi yang sangat esensial tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh parpol. Buktinya setiap kali pemilu, partai politik tidak percaya diri alias tidak pede, sehingga mengandalkan pesohor, plutokrat, dan pejabat untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya.

Bukti lain bahwa partai politik tidak pede dan tidak memiliki kader adalah memasang iklan mencari calon anggota legislatif. Padahal partai politik mempunyai waktu yang sangat banyak, yaitu empat atau lima tahun untuk melakukan perekrutan politik, kaderisasi politik, dan pendidikan politik, sehingga akan menghasilkan kader-kader yang memiliki kompetensi dan kualitas teruji, serta memiliki integritas tepecaya dan siap berlaga di atas panggung kontestasi politik pemilu.

Ketika dipersoalkan tentang kualitas, kapabitas, kompetensi, dan integritas dari para caleg yang “dicomot” lewat iklan atau yang diambil dari keluarga pejabat dan kerabat serta pesohor, maka dengan enteng para elite parpol mengatakan bahwa para caleg itu akan diberikan “kursus” politik. Coba bayangkan betapa rusaknya otak elite partai seperti itu.

Dengan kursus politik kilat, mereka berpikir bahwa akan mampu menghasilkan legislator yang kompeten, kapabel, berkualitas, dan berintegritas. Padahal para legislator itu akan mengurus negara yang begini besar dengan kompleksitas permasalahan pembangunan nasionalnya. Oleh sebab itu, hanya dengan kursus politik kilat saja, saya yakin, tidak akan menghasilkan legislator yang sesuai dengan harapan rakyat.

Begitu pula faktor fulus telah membuat parpol menjadi rusak. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa uang tidak penting untuk membangun dan membesarkan sebuah partai politik. Namun kenyataan membuktikan bahwa fulus juga telah menjerumuskan partai politik di Indonesia menjadi “pilar korupsi”, dan bukan lagi menjadi pilar demokrasi.

Celaka tiga belas! Ada oknum-oknum politikus parpol yang tersangkut masalah korupsi yang masih sedang dalam proses, namun tetap saja dicalonkan dengan argumentasi “praduga tak bersalah”. Sungguh, ini hanya mempertontonkan perilaku politik tunaetika, tunamoral, dan tunamalu.

Dari pengajuan caleg-caleg yang sangat berbau nepotisme itu—sadar atau tidak sadar—para elite politik Indonesia tengah mempraktikkan apa yang oleh sosiolog Amerika, Robert Michael (1950), disebut power elite dan hukum besi oligarki. Para elite politik Indonesia bersekongkol untuk melanggengkan apa yang disebut the well establishment group dengan memonopoli sumber daya politik maupun sumber daya ekonomi.

“Tobat Nasuha”

Melihat parahnya kerusakan partai politik kita, maka partai politik harus melakukan tobat nasuha. Saya sengaja mengontekskan tobat nasuha ke dalam dunia politik karena saya ingin Republik ini diselamatkan dan rakyat dimakmurkan dan disejahterakan. Tobat nasuha adalah tobat besar yang harus dilakukan ketika manusia telah mengingkari hukum Tuhan. Ini sangat relevan bagi dunia perpolitikan kita.

Parpol—tepatnya—para elite pemimpinnya, harus secara radikal dan sungguh-sungguh bertobat kepada Tuhan dan meminta maaf kepada rakyat, kemudian melakukan perubahan radikal dalam membangun kembali eksistensi, citra, dan kinerja parpol. Ingat partai politik adalah sumber utama lahirnya kader dan para tokoh pemimpin bangsa baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Apabila partai politik rusak maka negara akan rusak, dan rakyat pun akan sengsara.

Untuk dimaklumi, rusaknya partai politik Indonesia merupakan akibat logis dan tragis dari amendemen UUD 1945. Partai politik melalui para politikusnya di parlemen berkeja sama dengan pihak asing telah melakukan “mutilasi konstitusi” secara sangat liberalistik dan kapitalistik hanya untuk melayani nafsu kaum neoimperialis dan neokolonialis, sehingga lahirlah “UUD Neolib 2002”. Maka, tidak ada solusi lain, selain kembali ke Pancasila dan UUD 1945 murni untuk menata haluan politik negara ke depan yang lebih baik.

Ini bukan langkah mundur, melainkan langkah penyelamatan Republik. Hanya orang yang ingin mempertahankan status quo dan malas berpikirlah yang mengatakan bahwa kembali ke UUD 1945 adalah langkah mundur. Tentu saja, ketika kembali ke UUD 1945, semua yang baik dan positif dari rezim reformasi akan kita pertahankan.

Sebaliknya semua yang merugikan bangsa, negara, dan rakyat harus dibuang jauh-jauh. Perihal jalan mana yang akan ditempuh untuk kembali ke UUD 1945, ini pekerjaan rumah atau PR yang menantang sekaligus mengasyikkan buat para pakar konstitusi, pakar hukum tata negara, dan para aktivis.

Akhirul kalam, menurut saya, kembali ke Pancasila dan UUD 1945 adalah aktualisasi tobat nasuha dalam kehidupan politik kenegaraan. Sila pertama Pancasila mengandung imperatif teologis bagi manusia Indonesia untuk melakukan pertobatan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa (hablum minallah).

Sila kedua sampai kelima mengandung imperatif filosofis bagi manusia Indonesia untuk menata relasi horizontal (hablum minanas) dengan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk melakukan tobat nasuha! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar