|
SINAR HARAPAN, 06 Mei 2013
Membaca
fenomena calon legislatif yang diajukan partai-partai politik menghadapi Pemilu
2014 benar-benar membuat miris. Jangan-jangan Indonesia ini mau dijadikan
republik keluarga pejabat dan kerabat, negara pesohor, dan negara kaum
plutokrat.
Betapa
tidak, dengan tanpa merasa risih dan atau malu sedikit pun, para pejabat,
suami, istri, anak, menantu, keponakan, dan kerabat, serta para pesohor alias
artis dan para penguasa uang alias plutokrat ramai-ramai mendaftarkan diri
menjadi calon anggota legislatif.
Bila
fenomena ini dikritik maka pembelaan yang dikemukakan itu sangat mulia, rasional,
dan konstitusional. Bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kebebasan, yang
dijamin oleh konstitusi, untuk berpolitik demi memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun,
apakah betul itu adalah alasan yang sesungguhnya? Tidakkah di balik alasan itu
tersirat keinginan untuk mendapatkan “job” bergengsi dengan gaji besar serta
predikat sebagai “poli(tikus)”? Apakah para elite pemimpin partai benar-benar
memperhatikan integritas, kapabilitas, kualitas, dan kompetensi
akademik-multidisipliner dari para caleg yang diajukan itu?
Tidak
itu saja, dana yang harus dimiliki oleh setiap caleg untuk “menyogok”
konstituen supaya memilih sang caleg saat pemilu pun tidak sedikit. Bunyinya
miliaran rupiah. Tentu saja bagi sang plutokrat, bunyi miliaran itu tidak
menjadi masalah.
Tetapi
bagaimana dengan caleg yang tidak memiliki uang miliaran? Berutang di bank atau
menjual aset pribadi/keluarga? Kalau utang, tentu harus dibayar setelah
terpilih menjadi legislator, tetapi bagaimana kalau tidak terpilih? Apa pula
dampak dan implikasi “utang politik” sang caleg dan “investasi politik” yang
telah ditanam sang plutokrat itu bagi kinerja mereka sebagai legislator kelak
jika terpilih?
Parpol
“Rusak”
Fenomena
caleg keluarga pejabat, kerabat, plutokrat, dan pesohor untuk Pemilu 2014 merefleksikan
betapa partai politik mengalami “kerusakan” sangat parah dalam hal perekrutan
politik, kaderisasi politik, dan pendidikan politik.
Rupanya
fungsi-fungsi yang sangat esensial tersebut tidak dijalankan sebagaimana
mestinya oleh parpol. Buktinya setiap kali pemilu, partai politik tidak percaya
diri alias tidak pede, sehingga mengandalkan pesohor, plutokrat, dan pejabat
untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya.
Bukti
lain bahwa partai politik tidak pede dan tidak memiliki kader adalah
memasang iklan mencari calon anggota legislatif. Padahal partai politik
mempunyai waktu yang sangat banyak, yaitu empat atau lima tahun untuk melakukan
perekrutan politik, kaderisasi politik, dan pendidikan politik, sehingga akan
menghasilkan kader-kader yang memiliki kompetensi dan kualitas teruji, serta
memiliki integritas tepecaya dan siap berlaga di atas panggung kontestasi
politik pemilu.
Ketika
dipersoalkan tentang kualitas, kapabitas, kompetensi, dan integritas dari para
caleg yang “dicomot” lewat iklan atau yang diambil dari keluarga pejabat dan
kerabat serta pesohor, maka dengan enteng para elite parpol mengatakan bahwa
para caleg itu akan diberikan “kursus” politik. Coba bayangkan betapa rusaknya
otak elite partai seperti itu.
Dengan
kursus politik kilat, mereka berpikir bahwa akan mampu menghasilkan legislator
yang kompeten, kapabel, berkualitas, dan berintegritas. Padahal para legislator
itu akan mengurus negara yang begini besar dengan kompleksitas permasalahan
pembangunan nasionalnya. Oleh sebab itu, hanya dengan kursus politik kilat
saja, saya yakin, tidak akan menghasilkan legislator yang sesuai dengan harapan
rakyat.
Begitu
pula faktor fulus telah membuat parpol menjadi rusak. Saya tidak bermaksud
mengatakan bahwa uang tidak penting untuk membangun dan membesarkan sebuah
partai politik. Namun kenyataan membuktikan bahwa fulus juga telah
menjerumuskan partai politik di Indonesia menjadi “pilar korupsi”, dan bukan
lagi menjadi pilar demokrasi.
Celaka
tiga belas! Ada oknum-oknum politikus parpol yang tersangkut masalah korupsi
yang masih sedang dalam proses, namun tetap saja dicalonkan dengan argumentasi
“praduga tak bersalah”. Sungguh, ini hanya mempertontonkan perilaku politik
tunaetika, tunamoral, dan tunamalu.
Dari
pengajuan caleg-caleg yang sangat berbau nepotisme itu—sadar atau tidak
sadar—para elite politik Indonesia tengah mempraktikkan apa yang oleh sosiolog
Amerika, Robert Michael (1950), disebut power elite dan hukum besi
oligarki. Para elite politik Indonesia bersekongkol untuk melanggengkan apa
yang disebut the well establishment group dengan memonopoli sumber daya politik
maupun sumber daya ekonomi.
“Tobat
Nasuha”
Melihat
parahnya kerusakan partai politik kita, maka partai politik harus melakukan
tobat nasuha. Saya sengaja mengontekskan tobat nasuha ke dalam dunia
politik karena saya ingin Republik ini diselamatkan dan rakyat dimakmurkan dan
disejahterakan. Tobat nasuha adalah tobat besar yang harus dilakukan ketika
manusia telah mengingkari hukum Tuhan. Ini sangat relevan bagi dunia
perpolitikan kita.
Parpol—tepatnya—para
elite pemimpinnya, harus secara radikal dan sungguh-sungguh bertobat kepada
Tuhan dan meminta maaf kepada rakyat, kemudian melakukan perubahan radikal
dalam membangun kembali eksistensi, citra, dan kinerja parpol. Ingat partai
politik adalah sumber utama lahirnya kader dan para tokoh pemimpin bangsa baik
di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Apabila partai politik rusak maka
negara akan rusak, dan rakyat pun akan sengsara.
Untuk
dimaklumi, rusaknya partai politik Indonesia merupakan akibat logis dan tragis
dari amendemen UUD 1945. Partai politik melalui para politikusnya di parlemen
berkeja sama dengan pihak asing telah melakukan “mutilasi konstitusi” secara
sangat liberalistik dan kapitalistik hanya untuk melayani nafsu kaum neoimperialis
dan neokolonialis, sehingga lahirlah “UUD Neolib 2002”. Maka, tidak ada solusi
lain, selain kembali ke Pancasila dan UUD 1945 murni untuk menata haluan
politik negara ke depan yang lebih baik.
Ini
bukan langkah mundur, melainkan langkah penyelamatan Republik. Hanya orang yang
ingin mempertahankan status quo dan malas berpikirlah yang mengatakan
bahwa kembali ke UUD 1945 adalah langkah mundur. Tentu saja, ketika kembali ke
UUD 1945, semua yang baik dan positif dari rezim reformasi akan kita pertahankan.
Sebaliknya
semua yang merugikan bangsa, negara, dan rakyat harus dibuang jauh-jauh.
Perihal jalan mana yang akan ditempuh untuk kembali ke UUD 1945, ini pekerjaan
rumah atau PR yang menantang sekaligus mengasyikkan buat para pakar konstitusi,
pakar hukum tata negara, dan para aktivis.
Akhirul kalam, menurut saya, kembali ke Pancasila dan UUD 1945 adalah
aktualisasi tobat nasuha dalam kehidupan politik kenegaraan. Sila pertama
Pancasila mengandung imperatif teologis bagi manusia Indonesia untuk melakukan
pertobatan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa (hablum minallah).
Sila
kedua sampai kelima mengandung imperatif filosofis bagi manusia Indonesia untuk
menata relasi horizontal (hablum minanas)
dengan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk melakukan tobat nasuha! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar