Terkait dengan Menteri Agama Suryadharma Ali dan
pernyataannya tentang kebebasan beribadah baru-baru ini yang sangat
kontroversial, harian The Jakarta Post edisi 2 April
lalu memberi judul besar: “Minister:
Christians Bring Discrimination on Themselves”. Intinya, Menteri
Agama Suryadharma Ali menyalahkan umat Kristen dalam kaitan dengan
peristiwa penutupan, penyegelan, dan pembongkaran gedung gereja yang
terjadi belakangan ini. Menurut SDA, “Mereka
telah mempolitisasi masalah administratif pembangunan gedung gereja.
Orang Kristen bukan satu-satunya yang memiliki masalah dalam mendapatkan
izin untuk membangun tempat ibadah, tetapi mereka mendapat perhatian
karena mereka berbicara kepada media atau pers. Umat Islam di beberapa
daerah, seperti di Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, juga
kesulitan mendapatkan izin untuk membangun masjid; tapi mereka tidak
bicara kepada pers. Mereka juga tidak memprotes atau melakukan doa di
depan Istana Presiden.”
Pernyataan Menteri Agama tersebut jelas mengandung beberapa kesalahan.
Yang pertama, soal diskriminasi, bahkan menjurus pada sebuah kesesatan
logika (logical fallacy). Bukankah diskriminasi merupakan sebuah
kebijakan berat-sebelah yang ditujukan kepada pihak lain? Jadi, mana
mungkin diri sendiri mendiskriminasi diri sendiri?
Kedua, Menteri Suryadharma mengatakan “masalah administratif pembangunan
gedung gereja”. Sayang, dia tak menyebutkan gedung gereja yang mana.
Tapi mudah diduga bahwa salah satu gereja yang dimaksud adalah GKI
Yasmin. Sebab, SDA juga menyebut-nyebut soal “melakukan doa di depan Istana Presiden”.
Benar, GKI Yasmin secara rutin dua minggu sekali
melaksanakan ibadah di depan Istana Negara, Jakarta. Boleh jadi hal itu
didorong oleh keinginan untuk menggugah perhatian Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang semestinya
bertanggung jawab atas kebuntuan yang dihadapi GKI Yasmin sejak Wali Kota
Bogor Diani Budiarto bergeming atas keputusan Mahkamah Agung tahun 2009
yang memenangkan GKI Yasmin. Sebab, setelah Gubernur Jawa Barat Ahmad
Heryawan dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak berdaya
menertibkan tindakan maladministratif Wali Kota Bogor, siapa lagi yang
dapat diharapkan kalau bukan Presiden SBY?
Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan GKI Yasmin terpaksa
menggelar ibadah di depan istana presiden. Pertama, ibadah yang
sebelumnya mereka laksanakan di halaman gedung gereja mereka sendiri
selalu diganggu oleh massa yang bukan penduduk setempat dan diintimidasi
oleh Satpol PP. Kedua, ibadah yang mereka gelar di rumah-rumah warga
jemaat pun mengalami perlakuan yang sama. Dan anehnya, polisi yang
bertugas saat itu lebih kerap memperlihatkan sikap “mengalah” kepada massa yang bukan penduduk setempat daripada
menjamin keamanan dan ketenteraman warga yang sedang beribadah.
Kembali pada pernyataan Suryadharma Ali (SDA) soal “masalah administrasi”, tidakkah
dia paham bahwa ini sudah menjadi masalah hukum: bahwa pihak GKI Yasmin
sudah mengantongi kemenangan berupa keputusan dari lembaga pengadilan
tertinggi yang menyatakan IMB gedung gereja mereka sah, apalagi kemudian
diperkuat dengan rekomendasi dari Ombudsman RI yang menyatakan tindakan
Wali Kota Bogor itu merupakan sebentuk perbuatan melawan hukum. Sebagai
menteri, yang notabene juga pemimpin bangsa, bukankah SDA semestinya
bangga melihat jemaat GKI Yasmin gigih memperjuangkan kebenaran dan
keadilan hukum? Tidakkah lantaran itu SDA tergerak untuk membantu
perjuangan GKI Yasmin, alih-alih mencelanya?
Yang lebih memprihatinkan, SDA bahkan
memperbandingkan antara umat Kristen dan muslim, antara gereja dan
masjid. Tidakkah dia sadar ada bahaya sentimen primordial yang mengintai
di balik pernyataannya itu?
Saya teringat berita dari situs kbr68h.com (27 Mei
2012), berjudul “LSM Imparsial:
Menag Putar-Balikkan Fakta Intoleransi”. Tertulis dalam berita
tersebut, LSM pemantau hak asasi manusia Imparsial menilai SDA memutarbalikkan fakta soal kerukunan
umat beragama di Indonesia. Hal itu menyusul pernyataan SDA yang
mengklaim Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia.
Peneliti Imparsial, Swandaru,
mengatakan pernyataan Menteri Agama itu sangat bertolak belakang dengan
kekerasan yang sering dilakukan kelompok intoleran. “Artinya, ukuran yang digunakan oleh Menteri adalah presiden
datang di setiap perayaan. Sementara itu, fakta yang terjadi, kekerasan
begitu banyak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada semacam sense of crisis yang dimiliki Menteri, bahwa
sudah ada begitu banyak orang mati, begitu banyak orang harus
meninggalkan rumahnya, kehilangan harta bendanya, karena pemerintah gagal
memberikan perlindungan.”
Sebelumnya, SDA mengklaim Indonesia sebagai negara dengan tingkat
toleransi tertinggi di dunia. Menurut dia, kehadiran dirinya, Presiden
SBY, dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar
keagamaan di Indonesia merupakan bentuk kerukunan umat beragama. SDA juga
menyayangkan tindakan sejumlah LSM yang melaporkan kasus kekerasan oleh
kelompok intoleran di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB. Menurut dia, hal
tersebut memperburuk citra pemerintah di dunia internasional.
Cara berpikir SDA jelas sangat formalistik dan hanya menonjolkan hal-hal
yang seremonial. Itu pun, jika dikaitkan dengan statistik, terkesan SDA
buta data. Bayangkan, pada era Presiden Sukarno, ada dua gereja yang dirusak/ditutup
paksa. Selanjutnya, pada era Soeharto ada 456, era B.J. Habibie ada 156,
era Abdurrahman Wahid ada 232, era Megawati Soekarnoputri ada 92,
sedangkan pada era SBY sampai tahun 2010 ada sekitar 2.442 gereja yang
mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa.
Belum lagi jika kita bicara tentang rumah ibadah milik umat lain, seperti
Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Yang jelas, fakta berbicara bahwa praktek
kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini
meningkat. Penyebabnya? Pertama, adanya kecenderungan meningkatnya
intoleransi di tengah masyarakat. Kedua, absennya negara dalam
menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Inilah yang disebut
kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission), yang pelakunya
adalah negara, dan yang salah satu pemimpinnya adalah SDA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar