Sabtu, 13 April 2013

Sesat Pikir Menteri Agama


Sesat Pikir Menteri Agama
Victor Silaen  ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
TEMPO.CO, 12 April 2013
  

Terkait dengan Menteri Agama Suryadharma Ali dan pernyataannya tentang kebebasan beribadah baru-baru ini yang sangat kontroversial, harian The Jakarta Post edisi 2 April lalu memberi judul besar: “Minister: Christians Bring Discrimination on Themselves”. Intinya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyalahkan umat Kristen dalam kaitan dengan peristiwa penutupan, penyegelan, dan pembongkaran gedung gereja yang terjadi belakangan ini. Menurut SDA, “Mereka telah mempolitisasi masalah administratif pembangunan gedung gereja. Orang Kristen bukan satu-satunya yang memiliki masalah dalam mendapatkan izin untuk membangun tempat ibadah, tetapi mereka mendapat perhatian karena mereka berbicara kepada media atau pers. Umat Islam di beberapa daerah, seperti di Bali, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, juga kesulitan mendapatkan izin untuk membangun masjid; tapi mereka tidak bicara kepada pers. Mereka juga tidak memprotes atau melakukan doa di depan Istana Presiden.”

Pernyataan Menteri Agama tersebut jelas mengandung beberapa kesalahan. Yang pertama, soal diskriminasi, bahkan menjurus pada sebuah kesesatan logika (logical fallacy). Bukankah diskriminasi merupakan sebuah kebijakan berat-sebelah yang ditujukan kepada pihak lain? Jadi, mana mungkin diri sendiri mendiskriminasi diri sendiri?

Kedua, Menteri Suryadharma mengatakan “masalah administratif pembangunan gedung gereja”. Sayang, dia tak menyebutkan gedung gereja yang mana. Tapi mudah diduga bahwa salah satu gereja yang dimaksud adalah GKI Yasmin. Sebab, SDA juga menyebut-nyebut soal “melakukan doa di depan Istana Presiden”.

Benar, GKI Yasmin secara rutin dua minggu sekali melaksanakan ibadah di depan Istana Negara, Jakarta. Boleh jadi hal itu didorong oleh keinginan untuk menggugah perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang semestinya bertanggung jawab atas kebuntuan yang dihadapi GKI Yasmin sejak Wali Kota Bogor Diani Budiarto bergeming atas keputusan Mahkamah Agung tahun 2009 yang memenangkan GKI Yasmin. Sebab, setelah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak berdaya menertibkan tindakan maladministratif Wali Kota Bogor, siapa lagi yang dapat diharapkan kalau bukan Presiden SBY?

Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan GKI Yasmin terpaksa menggelar ibadah di depan istana presiden. Pertama, ibadah yang sebelumnya mereka laksanakan di halaman gedung gereja mereka sendiri selalu diganggu oleh massa yang bukan penduduk setempat dan diintimidasi oleh Satpol PP. Kedua, ibadah yang mereka gelar di rumah-rumah warga jemaat pun mengalami perlakuan yang sama. Dan anehnya, polisi yang bertugas saat itu lebih kerap memperlihatkan sikap “mengalah” kepada massa yang bukan penduduk setempat daripada menjamin keamanan dan ketenteraman warga yang sedang beribadah.

Kembali pada pernyataan Suryadharma Ali (SDA) soal “masalah administrasi”, tidakkah dia paham bahwa ini sudah menjadi masalah hukum: bahwa pihak GKI Yasmin sudah mengantongi kemenangan berupa keputusan dari lembaga pengadilan tertinggi yang menyatakan IMB gedung gereja mereka sah, apalagi kemudian diperkuat dengan rekomendasi dari Ombudsman RI yang menyatakan tindakan Wali Kota Bogor itu merupakan sebentuk perbuatan melawan hukum. Sebagai menteri, yang notabene juga pemimpin bangsa, bukankah SDA semestinya bangga melihat jemaat GKI Yasmin gigih memperjuangkan kebenaran dan keadilan hukum? Tidakkah lantaran itu SDA tergerak untuk membantu perjuangan GKI Yasmin, alih-alih mencelanya?

Yang lebih memprihatinkan, SDA bahkan memperbandingkan antara umat Kristen dan muslim, antara gereja dan masjid. Tidakkah dia sadar ada bahaya sentimen primordial yang mengintai di balik pernyataannya itu?

Saya teringat berita dari situs kbr68h.com (27 Mei 2012), berjudul “LSM Imparsial: Menag Putar-Balikkan Fakta Intoleransi”. Tertulis dalam berita tersebut, LSM pemantau hak asasi manusia Imparsial menilai SDA memutarbalikkan fakta soal kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu menyusul pernyataan SDA yang mengklaim Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia.

Peneliti Imparsial, Swandaru, mengatakan pernyataan Menteri Agama itu sangat bertolak belakang dengan kekerasan yang sering dilakukan kelompok intoleran. “Artinya, ukuran yang digunakan oleh Menteri adalah presiden datang di setiap perayaan. Sementara itu, fakta yang terjadi, kekerasan begitu banyak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada semacam sense of crisis yang dimiliki Menteri, bahwa sudah ada begitu banyak orang mati, begitu banyak orang harus meninggalkan rumahnya, kehilangan harta bendanya, karena pemerintah gagal memberikan perlindungan.”

Sebelumnya, SDA mengklaim Indonesia sebagai negara dengan tingkat toleransi tertinggi di dunia. Menurut dia, kehadiran dirinya, Presiden SBY, dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia merupakan bentuk kerukunan umat beragama. SDA juga menyayangkan tindakan sejumlah LSM yang melaporkan kasus kekerasan oleh kelompok intoleran di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB. Menurut dia, hal tersebut memperburuk citra pemerintah di dunia internasional.

Cara berpikir SDA jelas sangat formalistik dan hanya menonjolkan hal-hal yang seremonial. Itu pun, jika dikaitkan dengan statistik, terkesan SDA buta data. Bayangkan, pada era Presiden Sukarno, ada dua gereja yang dirusak/ditutup paksa. Selanjutnya, pada era Soeharto ada 456, era B.J. Habibie ada 156, era Abdurrahman Wahid ada 232, era Megawati Soekarnoputri ada 92, sedangkan pada era SBY sampai tahun 2010 ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa.

Belum lagi jika kita bicara tentang rumah ibadah milik umat lain, seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Yang jelas, fakta berbicara bahwa praktek kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat. Penyebabnya? Pertama, adanya kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Kedua, absennya negara dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Inilah yang disebut kejahatan melalui tindakan pembiaran (crime by omission), yang pelakunya adalah negara, dan yang salah satu pemimpinnya adalah SDA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar