Sabtu, 20 April 2013

Putusan Harga BBM


Putusan Harga BBM
Purbayu Budi Santosa ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip Semarang 
REPUBLIKA, 19 April 2013


Akhir-akhir ini, langkanya bahan bakar minyak (BBM), khususnya solar bersubsidi, menggambarkan bagaimana besarnya subsidi yang dikeluarkan untuk BBM. Bersama dengan Premium bersubsidi, ditetapkan BBM bersubsidi sebanyak 46,01 juta kiloliter dengan nilai dalam RAPBN 2013 mencapai Rp 193,8 triliun.

Relatif mudahnya memperoleh Premium bersubsidi dibandingkan dengan solar bersubsidi menggambarkan bagaimana jatah solar bersubsidi sudah mendekati habis. Pertambahan kendaraan yang berkelebihan mengakibatkan konsumsi BBM mengalami kenaikan yang tinggi. Kemacetan terjadi di mana-mana, terlebih di kota besar, sehingga terjadi pemborosan BBM, materi, dan tentunya tenaga. Lengah mengendarai sebentar saja, peluang terjadinya kecelakaan begitu besar. Angka kecelakaan naik begitu banyak, selaras dengan naiknya konsumsi BBM, dan berbanding terbalik dengan makin lamanya jarak tempuh tujuan. 

Jangan Ragu

Dalam hal terjadinya kelangkaan dalam BBM bersubsidi, pemerintah berencana menetapkan dua opsi harga BBM. Pertama, harga BBM bersubsidi yang semula Rp 4.500 per liter akan dinaikkan pada rentang harga Rp 6.500 sampai Rp 7.000 per liter untuk semua kendaraan pribadi. Kedua, untuk kendaraan umum dan sepeda motor, harga BBM per liternya tetap Rp 4.500. 

Sebenarnya, sudah beberapa tahun lalu pemerintah berencana akan menaikkan harga BBM, akan tetapi sampai kini belum juga dapat direalisasikan. Misal, pembatasan BBM untuk wilayah Jabodetabek yang direncanakan sampai Maret 2011 dan secara bertahap akan diberlakukan secara nasional. 

Kemudian, wacana harga BBM bersubsidi untuk mobil di bawah 1.500 cc yang juga belum terealisasi. Yang baru dapat berjalan hanyalah mobil pelat merah yang tidak boleh memakai BBM bersubsidi dan ternyata dapat berjalan dengan baik. Akankah rencana kenaikan harga BBM kali ini juga batal?

Menurut Menteri ESDM Jero Wacik, harga keekonomisan harga BBM yang sebenarnya Rp 9.000 per liter saat ini hanya Rp 4.500. Itu berarti, besarnya subsidi Rp 4.500 per liter. Belum lagi, bila pernyataan menteri ESDM benar bahwa 77 persen dari BBM bersubsidi dinikmati oleh kelompok kaya yang punya mobil. Masyarakat kelas bawah banya menikmati 15 persen BBM bersubsidi dan justru yang menggunakan angkot sama sekali tidak merasakan kue subsidi yang besarnya Rp 137 triliun. 

Terhadap kenyataan terjadinya kelangkaan BBM dan membengkaknya subsidi BBM, pemerintah harus tegas dan tidak ragu dalam menetapkan harga BBM.
Kalau memang benar harus dinaikkan, naikkan dengan harga yang tidak begitu merugikan kalangan menengah dan atas. Akan tetapi, kalangan bawah harus tetap mendapat prioritas dalam suatu kebijakan yang diambil. 

Dengan harga BBM yang naik untuk kendaraan pribadi, langkah efisiensi pemakaian kendaraan semestinya terjadi. Bahkan, dimungkinkan untuk terjadinya penurunan kendaraan pribadi dan pelaksanaan pajak progresif untuk kendaraan bermotor bukan saja untuk nama yang sama yang mempunyai beberapa mobil, tetapi juga untuk satu rumah. Dengan KTP elektronik, melalui Nomor Induk Kependudukan dan kartu keluarga, kepemilikan ganda pada kendaraan bermotor dalam satu keluarga tentu akan lebih mudah terlacak. 

Kenaikan harga BBM bisa juga menyeleksi pemilikan kendaraan bermotor karena hanya orang yang berkelebihan yang akan memilikinya. Nah, saat itu semestinya pemerintah lebih memperbanyak kendaraan umum dengan mutu kendaraan yang baik, pelayanan yang profesional, dan tarif angkutan yang terjangkau. Harapannya, dalam jangka panjang, volume kendaraan bermotor tidak sepadat sekarang ini.

Dampak yang mungkin muncul dari kebijakan ini, seperti telah diduga, akan muncul pasar gelap (black market) BBM bersubsidi. Dimungkinkan, mobil penumpang akan mengisi BBM bersubsidi dan dijual ke kendaraan pribadi. Dengan menaikkan harga Rp 500 di atas harga BBM bersubsidi, keuntungan akan diperoleh. Kasus ini tentunya mirip dengan subsidi pupuk dan munculnya kartel impor pangan yang bisa ada karena tumpulnya hukum di Indonesia.

Kunci utama keberhasilan program kenaikan harga BBM maupun kebijakan lainnya adalah munculnya rasa kepercayaan (trust) sebagai unsur utama modal sosial dalam masyarakat. Para pemimpin sebagai cermin dan panutan masyarakat harus benar-benar menaati peraturan. Segala bentuk pelanggaran hukum oleh siapa pun harus ditegakkan dengan prinsip keadilan.

Kelangkaan BBM di Indonesia tidak bisa dibiarkan. Karena, sudah menjadi kenyataan sekarang ini Indonesia bukan sebagai pengekspor, melainkan sebagai pengimpor. Kalau negara lain dapat mencari alternatif sumber energi lainnya, mengapa Indonesia yang berlimpah sumber daya alam tidak melakukan terobosan baru. 

Bahkan, kita mestinya bisa belajar dari Brasil yang sejak 1973 konsisten mengembangkan pemakaian biofuel untuk bahan bakar kendaraannya. Bahan baku diambil dari komoditas unggulan setempat, seperti singkong, jarak pagar, dan tebu. Para produsen biofuel dan para pemakaian mobil dengan bahan bakar tersebut mendapatkan pemotongan pajak. 

Beberapa waktu lalu, muncul kabar akan dikembangkan besar-besaran tanaman jarak untuk bahan 
bakar kendaraan di Indonesia, akan tetapi realisasinya tidaklah ada. Ke depan, mestinya harus dipikir ulang dan ditindaklanjuti alternatif terbaik dari menurunnya BBM.

Terhadap kalangan bawah, perencanaan pengadaan BLT rasanya tidaklah tepat dan tidak mendidik. Di samping saat menjelang pemilu BLT dapat diselewengkan untuk kepentingan pihak tertentu, juga membuat mereka malas berusaha karena mendapat runtuhan dana. Lebih tepat, misalnya, diberikan program-program insentif untuk berwirausaha dan beasiswa bagi masyarakat tidak mampu yang jumlahnya masih begitu banyak. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar