Selasa, 02 April 2013

Pudarnya Politik Patron Kiai di Jatim


Pudarnya Politik Patron Kiai di Jatim
Faza Dhora Nailufar  ;  Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang,
Ketua Litbang PW ISNU Jawa Timur
KORAN SINDO, 02 April 2013
  

Pada pertengahan Maret 2013, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) merilis hasil survei Perilaku Politik Warga NU di Jatim. 

Salah satu aspek yang diteliti pada survei yang dilakukan di seluruh kabupaten/kota Jawa Timur ini adalah tingkat kepatuhan warga Nahdliyin terhadap fatwa politik kiai. Hasilnya, secara kumulatif 51% responden mengaku masih patuh terhadap fatwa politik kiai, dan sisanya 49% responden mengaku tidak lagi mematuhi fatwa politik yang diberikan kiai. 

Walaupun secara distributif masih ada beberapa daerah yang tingkat kepatuhannya tergolong tinggi, hasil ini menjadi salah satu shock therapy bagi publik yang menganggap bahwa salah satu ciri warga Nahdliyin adalah sami’na wa atho’na, terlebih ini terjadi di Jawa Timur, yang merupakan gudangnya kiai dan warga Nahdliyin. Politik patron adalah politik yang didasarkan pada hubungan keteladanan. Fenomena politik patron sebenarnya sudah sejak lama mewarnai dunia politik Indonesia. 

Dari zaman prakemerdekaan hingga pascareformasi seperti sekarang, politik patron masih menjadi warna yang unik di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Dengan berbagai macam jenis penyebutan, dukungan dari seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama sering kali merepresentasikan dukungan masyarakat di bawahnya. Oleh karena itu, kontestan-kontestan pemilu sering lebih memilih mendekati dan menjalin komunikasi dengan tokoh tersebut dari pada dengan massa secara umum. 

Cara ini dianggap lebih efektif dan efisien, karena kontestan hanya berhadapan dengan beberapa orang saja. Keith R Legg (1983) memandang bahwa hubungan patron klien secara umum berkaitan dengan tiga hal, yaitu sumber daya yang timpang, hubungan yang bersifat pribadi (particularistic), dan hubungan mutualisme. Hubungan yang terbangun di atas penguasaan sumber daya yang timpang bisa mencakup kekayaan, kedudukan, ataupun pengaruh. Sedangkan hubungan pribadi dapat dimaknai sebagai hubungan timbal balik, muncul atas perhatian yang diberikan patron dan kapatuhan yang diberikan klien. 

Selanjutnya, hubungan mutualisme dapat diartikan sebagai hubungan yang didasari oleh pertukaran antara patron dan klien saling menguntungkan. Dalam hal ini dapat berupa adanya dukungan atau kepatuhan klien karena adanya transfer pengetahuan dari patron. Dalam kultur masyarakat santri, kiai diposisikan menjadi patron, sedangkan masyarakat sebagai klien. Proses pertukaran yang terjadi dapat berupa pengetahuan agama, tuntunan, dan perlindungan yang diberikan oleh kiai pada masyarakat. 

Hal ini kemudian akan dibalas dengan kepercayaan, kepatuhan, kesetiaan, dan dukungan. Tuntunan hidup yang diberikan kiai pun bersifat universal, mulai dari petunjuk menjalankan agama sesuai dengan ajaran yang diyakini kebenarannya sampai pada hubungan sosial dan politik. Jauh sebelum survei ini dilakukan, fenomena memudarnya hubungan patron-klien sudah berusaha dijelaskan oleh Legg (1983). Legg mengungkapkan bahwa suatu saat hubungan patron- klien tersebut tidak akan berjalan harmonis. 

Hal ini lambat laun akan terjadi seiring berkembangnya masyarakat ke arah modern. Masyarakat modern di sini bercirikan kemakmuran dan keadilan. Pudarnya hubungan patron- klien tersebut dikarenakan tiga hal. Pertama, kemakmuran dan keadilan telah mengg o y a h - kan kelangsungan hubungan patron klien. Kedua, lahirnya masyarakat modern menampilkan pola hubungan yang lain. 

Ketiga, pola perekrutan politik dalam masyarakat modern melenyapkan rangsangan untuk melakukan peranan seorang patron. Korelasinya dengan hasil survei ini adalah terjadinya pergeseran tingkat kepatuhan di daerah-daerah yang justru dianggap sebagai daerah hijau. Dari empat kabupaten di Madura misalnya, tingkat kepatuhan terhadap kiai di Bangkalan dan Sampang sudah sangat bergeser. Pergeseran ini dapat dinilai dari disparitas atau jarak antara nilai patuh dan tidak. Hal ini bisa dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya, yaitu Pamekasan dan Sumenep, disparitas nilainya masih tergolong tinggi. 

Fenomena ini menunjukkan sudah mulai lunturnya pengaruh kiai dalam hal politik di dua kabupaten tersebut. Bila dikaitkan faktor geografis, hal ini menjadi sangat masuk akal karena Bangkalan dan Sampang relatif lebih dekat ke Surabaya dibanding dua kabupaten lain. Kedekatan jarak geografis ini memungkinkan tersebarnya pengaruh modernisasi yang ada di Surabaya ke Bangkalan dan Sampang dengan lebih cepat. Modernisasi tersebut mencakup segala hal mulai dari gaya hidup, ekonomi, hingga sikap politik. Selain di Madura, pudarnya pengaruh politik kiai juga terjadi di beberapa daerah Tapal Kuda. 

Banyuwangi dan Situbondo misalnya, merupakan dua kabupaten yang nilai kepatuhan terhadap fatwa politik kiainya mulai menurun. Bahkan, di Banyuwangi, nilai ketidakpatuhan jauh melesat di atas nilai patuhnya. Sama seperti analisis pada Bangkalan dan Sampang, kedekatan geografis antara Banyuwangi dengan Bali yang dimungkinkan menjadi faktor kuat pudarnya pengaruh kiai di Banyuwangi. Seperti efek domino, pengaruh modernisasi Bali ini kemudian juga memengaruhi kabupaten lain yang berdekatan dengan Banyuwangi, yakni Situbondo. 

Berbeda dengan Banyuwangi, letak geografis Situbondo dengan Bali tidak sedekat Banyuwangi, ditambah keberadaan pondok pesantren besar yang sudah legendaris membuat pudarnya tingkat kepatuhan kepada kiai dapat sedikit terbendung. Walaupun nilai ketidakpatuhannya tetap lebih tinggi, rentang jarak di antaranya tidak terlalu jauh, seperti di Banyuwangi. Analisis geografis mungkin bisa sedikit menjelaskan fenomena lunturnya pengaruh fatwa politik kiai dalam masyarakat santri. 

Analisis ini ibarat kulit terluar sebuah salak, yakni setelah kupasan kulit luar ini, sejatinya masih ada lagi kulit ari yang juga harus dikupas agar kita bisa menikmati daging buah dengan nikmat. Analisa yang lebih dalam lagi terkait dengan perilaku dan sikap kiai itu sendiri dalam menempatkan dirinya. Ali Maschan Moesa (2007) mengungkapkan, perdebatan antara Kiai dan Politik sama halnya dengan agama dan politik. Apabila kita menyandingkan antara agama dan politik, maka akan ada tiga pilihan. 

Tiga pilihan dimaksud adalah; (1) sangat dekat atau integrated, (2) simbiotik, dan yang ketiga (3) sekuler. Sekuler yakni memisahkan sama sekali antara agama dan politik. Pola hubungan yang sering digunakan adalah yang kedua, yakni simbiotik. Dalam arti, antara agama dan negara terdapat kebutuhan yang saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Sejatinya, pola hubungan simbiotik antara kiai dan politik akan melahirkan iklim politik yang kondusif. Namun, iklim yang kondusif itu akan berangsur memudar apabila terdapat kedekatan yang melebihi batas. 

Hal ini dikarenakan masyarakat menilai figur kiai merupakan penerus budaya keislaman (cultural broker), bukan broker politik. Sebagai cultural broker, kiai diharapkan mampu menjadi penyejuk panasnya iklim politik. Kiai diharapkan dapat menjadi solution giverbagi kedua atau beberapa aktor politik yang bertikai. Kiai diharapkan dapat menjadi jujugan ketika masyarakat mengalami kebingungan politik. Berbagai harapan terhadap kiai ini tidak akan tercapai apabila jarak kiai dengan politik terlalu dekat, karena masyarakat akan mempunyai penilaian lain. Penilaian yang kemudian memunculkan asumsi bahwa kiai terlibat intrik dan konflik politik. 

Karena politik selalu identik dengan kekuasaan, maka kiai dianggap ikut berburu kekuasaan sama dengan politisi- politisi yang selama ini tidak bisa dipandang sebagai pihak netral. Akibatnya, klien dalam hal ini masyarakat akan menyamakan kedudukan kiai dengan politisi sehingga perlakuan istimewa terhadap kiai tidak akan lagi diberikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar