Meskipun sempat bertandang bersama sang ibunda, Sinta Nuriyah, ke
kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor, Yenny
Wahid akhirnya batal berlabuh di pangkuan Partai Demokrat. Ke mana arah
politik kaum nahdliyin pada Pemilu 2014?
Keputusan putri sulung almarhum KH Abdurrahman Wahid itu tampaknya
diambil lantaran kalangan internal Demokrat menolak memosisikan Yenny
sebagai salah seorang wakil ketua yang direncanakan ditambah
pasca-kongres luar biasa di Bali.
Setelah gagal meloloskan partai yang didirikannya, Partai
Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), dalam verifikasi partai politik
peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum, Yenny diwartakan hendak
bergabung ke partai segitiga biru. PKBIB sendiri semula dimaksudkan Yenny
untuk mewadahi kepentingan massa pendukungnya, yakni kaum nahdliyin yang
setia pada perjuangan mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Secara formal, kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sebenarnya memiliki
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang lahir dari rahim Pengurus Besar NU
pada era almarhum Gus Dur. Namun, parpol yang menjadi tiga besar dalam
perolehan suara pada Pemilu 1999 ini belakangan didera konflik internal.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara PKB merosot drastis sehingga hanya
memiliki 27 kursi DPR, padahal sebelumnya 52 kursi (1999) dan 51 kursi
(2004).
Sebagian kalangan nahdliyin menyalurkan aspirasi melalui
parpol-parpol lain, termasuk Partai Golkar dan Partai Demokrat. Dalam
perkembangan terakhir, PKB juga ditinggalkan oleh Lily Wahid, adik
kandung Gus Dur, yang pindah ke Partai Hanura setelah sebelumnya bersama-
sama dengan Effendy Choirie dipecat dari keanggotaan DPR oleh partainya.
Di luar PKBIB Yenny Wahid dan PKB pimpinan Muhaimin Iskandar, di
lingkungan nahdliyin masih ada Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU)
pimpinan Chairul Anam yang juga gagal dalam verifikasi Komisi Pemilihan
Umum. Yang menarik, sebagian pengurus PKNU menyatakan bergabung ke Partai
Gerindra, sedangkan sebagian kader lainnya dicalonkan sebagai legislator
oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), parpol Islam yang juga menjadi
”rumah singgah” sebagian kalangan NU.
Gerbong ”Kaum Sarungan”
Kiprah politik kalangan pewaris ahlussunnah waljamaah ini selalu
menarik perhatian. Setelah kecewa dengan Partai Masyumi, pada 1952 NU
akhirnya keluar dan bahkan menjadi parpol dengan suara terbanyak ketiga
setelah PNI dan Masyumi pada Pemilu 1955. Ketika kecewa dengan PPP pada
1984, NU lagi-lagi keluar melalui kebijakan kembali ke Khitah 1926
sehingga satu-satu parpol Islam pada era Soeharto tersebut merosot
drastis pada Pemilu 1987. Dalam pemilu pertama era Reformasi pada 1999,
NU kembali berjaya sebagai peraih suara terbanyak ketiga setelah Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar.
Namun, kini menjelang Pemilu 2014 peta aspirasi kalangan yang di
era kolonial dikenal sebagai ”kaum sarungan” ini tidaklah seragam seperti
pada masa lalu. Fenomena basis NU di Jawa Timur pada Pemilu 2009,
misalnya, memperlihatkan semakin beragamnya pilihan politik kaum
nahdliyin.
Sebagian bertahan di PKB Muhaimin, sebagian ke Golkar dan Demokrat,
sebagian lagi ke PPP dan parpol lain. Oleh karena itu, meskipun Yenny
Wahid akhirnya bergabung ke Demokrat, tidak berarti gerbong kaum sarungan
tumpah ruah mendukung parpol segitiga biru yang kini dipimpin langsung
oleh Presiden SBY itu.
Walaupun demikian, pilihan Yenny Wahid ke Demokrat dan Lily Wahid
yang bergabung ke Gerindra bagaimanapun merupakan ”pukulan” bagi PKB
Muhaimin. Di tengah meningkatnya daya tarik dan popularitas partai-partai
nasionalis baru, seperti Gerindra, Hanura, dan Nasdem, semakin sulit bagi
PKB dan parpol berbasis Islam lain mengulang sukses elektoral dalam
pemilu mendatang. Belum lagi menghitung partai-partai nasionalis lama,
Golkar dan PDI-P, yang juga menjadikan basis NU di Jawa sebagai lumbung
pendulangan suara.
Berita Gembira?
Semakin beragamnya pilihan politik warga NU harus dipandang sebagai
berita positif. Itu artinya, pilihan politik kalangan nahdliyin tidak
semata-mata ditentukan oleh para kiai dan elite politik, tetapi juga
rasionalitas mereka sendiri. Kecenderungan tersebut sekaligus
merefleksikan semakin memudarnya politik aliran dalam pemilu-pemilu
demokratis sesudah Orde Baru. Masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan
identifikasi agama dan atau aliran yang dianut suatu parpol, tetapi lebih
pada preferensi individual masing-masing.
Di sisi lain, jika pilihan masyarakat, termasuk kaum sarungan, dari
pemilu ke pemilu terlalu ”cair” dan begitu mudah berubah-ubah, hal itu
juga bukanlah berita gembira. Kecenderungan demikian justru merefleksikan
lemahnya ikatan kelembagaan antara parpol dan konstituennya. Artinya,
parpol gagal membangun identitas diri secara institusional sehingga
terbuka peluang bagi parpol baru merebut simpati publik. Tak mengherankan
jika, seperti dikonfirmasi sejumlah hasil survei, persentase responden
yang belum menentukan pilihan (Swing Voters) hampir selalu lebih besar
dibandingkan dengan elektabilitas parpol terbesar pada survei yang sama.
Mengingat sebagian besar pemilih adalah konstituen di Jawa dan
Madura, warga nahdliyin yang basisnya berada di wilayah tersebut menjadi
segmen pemilih terbesar yang selalu menjadi incaran parpol pada setiap
pemilu. Tidak mengherankan jika berita perpindahan Yenny pada umumnya
disambut positif oleh kalangan internal Demokrat. Para petinggi partai
segitiga biru berharap Yenny turut membawa serta gerbong kaum sarungan
pendukung Gus Dur yang mungkin masih ”gamang” menentukan pilihan dalam
Pemilu 2014.
Oleh karena itu, fenomena Yenny Wahid dan juga bibinya, Lily Wahid,
pada dasarnya menggarisbawahi transformasi budaya politik yang tengah
berlangsung di lingkungan elite kaum sarungan. Meski arah transformasi
itu belum begitu jelas, relatif tidak ada lagi arus utama arah politik
kaum sarungan seperti tecermin pada Pemilu 1955, 1999, dan 2004.
Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siroj tampaknya cenderung
mendukung PKB sebagai representasi politik NU. Akan tetapi, di sisi lain,
Rois Aam Syuriah PBNU KH Sahal Mahfudh berpendirian agar warga NU menjaga
jarak yang sama dengan semua parpol. Quo
vadis politik kaum sarungan pada Pemilu 2014? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar