Kamis, 04 April 2013

Meredam Konflik Tambang


Meredam Konflik Tambang
Anang Anas Azhar  ;   Dosen Fisipol UMSU,
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
KORAN SINDO, 04 April 2013
  

Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memiliki banyak sumber daya alam (SDA), mulai dari kekayaan laut, hutan, gunung, sampai potensi alam yang berasal dari perut bumi, salah satunya adalah potensi tambang. 

Andai saja potensi tambang itu dikelola dengan baik, sudah pasti provinsi yang memiliki 33 kabupaten/kota ini menjadi kaya. Tapi sayang, potensi tambang yang begitu luas justru menjadi lahan kepentingan bagi pejabat dan perusahaan tertentu untuk mengorek hasil perut bumi. Sejumlah perusahaan yang melakukan eksplorasi tambang di daerah ini sontak menjadi kaya, mengingat isi kandungan perut bumi untuk tambang emas di Sumatera Utara jumlahnya luar biasa. 

Pernyataannya sekarang adalah, ke mana hasil keuntungan tambang tersebut? Apakah rakyat kita merasakan keuntungan tambang itu? Barang kali kita masih ingat tragedi warga Naga Juang di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), masyarakat tetap memperjuangkan hak-haknya sebagai warga yang berdomisili di daerah itu. Tapi justru tindakan oknum aparat menjadi penghalang warga.

Masyarakat Naga Juang malah diintimidasi dan dilarang melakukan penambangan di daerah ini. PT Sorikmas Mining sebagai perusahaan yang memperoleh izin kontrak karya sejak tahun 1998 di areal 55.000 hektare, justru terganggu dengan hadirnya penambang ilegal yang ada di areal Sorikmas Mining. Lantas siapakah yang salah? Padahal, warga setempat yang tinggal di Naga Juang sudah puluhan tahun menggantungkan nasib di areal pertambangan tersebut. 

Sikap arogansi perusahaan ini mencuat setelah perusahaan memakai aparat dan mengusir warga untuk tidak melakukan penambangan di areal Sorikmas Mining. Konflik pun tidak terelakkan antara oknum aparat dan warga setelah saling mempertahankan kekuasaannya. Warga Naga Juang jika dilihat secara defactotentu memiliki kewenangan, karena lahan yang ada di daerah itu adalah tempat mencari nafkah warga selama puluhan tahun silam. 

Namun jika dilihat dari sisi lain, secara dejure perusahaan tambang Sorikmas Mining memiliki izin eksplorasi untuk melakukan penambangan di areal tersebut. Sungguh paradoks, konflik yang terjadi tidak lagi memandang mana yang sah dan mana yang tidak sah. Keduanya memiliki pertalian erat, karena saya melihat keduanya sudah memiliki kepentingan berbeda. 

Warga ingin menghidupi keluarganya dari tambang, sementara perusahaan mengangkat hasil perut bumi ini untuk mencari untung sebesar-besarnya. Berbeda kepentingan ini menjadi dua kelompok berseteru pecah kongsi dalam mengelola hasil tambang di Madina. Jika merujuk data Badan Kesbang Polinmas Sumut bersama Komunitas Intelijen Daerah Sumut tahun 2012, ternyata Sumatera Utara memiliki 183 titik rawan konflik. 

Ironisnya dari jumlah tersebut, sebanyak 129 potensi konflik berasal dari sumber daya alam, termasuk di dalamnya potensi tambang yang ada di beberapa daerah. Jumlah ini memang mengejutkan, apalagi potensi konflik yang terjadi berasal dari perut bumi. Masalahnya sekarang, bagaimana kita memperkecil potensi konflik tersebut menjadi potensi yang memberikan keuntungan kepada masyarakat? 

Konflik yang terjadi di areal Sorikmas Mining ini merupakan bagian kecil dari rentetan konflik pertambangan yang ada di Sumatera Utara. Mungkin kita masih ingat konflik pertambangan emas Martabe yang ada di Batangtoru, Tapanuli Selatan. Konflik ini pemicunya karena rakyat tidak diberi kesempatan bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan, masyarakat samasekali tidak diberi peluang untuk bekerja di perusahaan itu. 

Meredam Konflik 

Perusahaan apapun ketika membuka pertambangan untuk melakukan eksplorasi tentu tidak menginginkan konflik. Konflik yang berkepanjangan dipastikan mengganggu operasional perusahaan untuk tahapan produksi. Hemat saya, ada strategi untuk meredam konflik, setidaknya memperkecil konflik antara perusahaan dan masyarakat. Sejatinya pengusaha, pemerintah daerah, dan masyarakat harus dipanggil duduk bersamasama. 

Pertama, pengusaha. Pihak yang sangat dirugikan dalam hal finansial tentu pengusaha. Untuk itu, pengusaha harus tahu diri dan menjelaskan secara perinci bagaimana visi dan misi perusahaan untuk melakukan eksplorasi tambang. Pengusaha juga harus tahu diri bahwa masyarakat setempat merupakan bagian stakeholder untuk menyukseskan eksplorasi tambang. 

Dengan demikian, pengusaha memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk ikut serta membangun eksplorasi tersebut. Secara singkat masyarakat harus dilibatkan dalam membantu pengusaha. Kedua, pemerintah daerah. Sebagai lembaga yang mengeluarkan rekomendasi eksplorasi lahan tambang, seharusnya pemerintahan melibatkan masyarakat untuk duduk bersama. 

Hal yang terpenting adalah pelibatan masyarakat sebagai pekerja lokal sebanyak-banyaknya. Selama ini yang terjadi karena pemerintah daerah mengabaikan unsur tersebut, sehingga konflik sulit dielakkan. Ketika sebuah perusahaan masuk ke suatu daerah, yang dipertanyakan tokoh dan warga masyarakat adalah tentang keberpihakan perusahaan kepada masyarakat lokal. 

Akankah perusahaan ini membawa manfaat kepada masyarakat lokal? Apa yang terjadi selama ini akibat mandulnya komunikasi antara tiga unsur tersebut. Antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha saling menyalahkan. Pengelolaan potensi konflik seperti ini tidak dikelola sedemikian rupa, sehingga konflik yang terjadi sering berbuah pada kerusuhan yang merenggut korban jiwa, baik dari pihak aparat maupun dari masyarakat. 

Fakta yang terjadi di Madina misalnya, saat ini ribuan aktivitas pertambangan ilegal masih marak. Pemerintah daerah belum bersikap tegas. Coba kita bayangkan bahwa aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining semakin marak, khususnya di Kecamatan Naga Juang. Di areal ini justru terjadi penambangan liar yang jumlahnya sangat banyak. 

Masyarakat kita tidak tahu yang mana areal milik perusahaan dan mana milik masyarakat. Kegiatan penambangan liar ini sangat merugikan semua pihak, khususnya bagi PT Sorikmas Mining. Sudah jutaan dolar telah dikeluarkan perusahaan ini untuk melakukan eksplorasi, namun wilayah kontrak karya Sorikmas Mining masih dirambah penambang liar. Dengan maraknya kegiatan penambangan liar ini, tidak saja perusahaan tambang yang dirugikan. 

Pemerintah dan masyarakat sekitar akan merasakan kerugian. Pemerintah tidak akan mendapatkan setoran pajak, royalti, dan setoran retribusi yang sah dari para penambang liar. Lingkungan juga tercemar dan masyarakat merasakan dampak negatifnya. Saat ini lahan-lahan yang dilubangi penambang liar dibiarkan terbuka dan ketika hujan tiba akibatnya terjadi erosi tanah. Hal yang sangat merugikan kita semua bahwa sungai-sungai yang berada di sekitar, seperti Aek Gajah menjadi keruh. 

Belum lagi ditambah dengan perilaku buruk penambang liar yang membuang sampah dan limbah kotoran manusia secara sembarangan ke Aek Gajah. Padahal Aek Gajah merupakan sumber air utama masyarakat Kecamatan Naga Juang untuk keperluan mencuci, mandi, dan air minum. Saat ini ada puluhan lubang penambangan liar, ratusan penambang liar termasuk yang berasal dari Pulau Jawa, puluhan kilang galundung terdapat di Kecamatan Naga Juang dan sekitarnya. 

Akhirnya secara pribadi saya khawatir jika tidak ada tindakan penegakan hukum, bukan mustahil jumlah penambang liar, portir, dan pekerja galundung akan semakin bertambah dan keadaannya semakin sulit untuk dikendalikan. Sekali lagi yang merasakan kerugian berada di pihak pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. Solusinya harus duduk bersama antara tiga elemen tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar