|
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memiliki
banyak sumber daya alam (SDA), mulai dari kekayaan laut, hutan, gunung,
sampai potensi alam yang berasal dari perut bumi, salah satunya adalah
potensi tambang.
Andai saja
potensi tambang itu dikelola dengan baik, sudah pasti provinsi yang
memiliki 33 kabupaten/kota ini menjadi kaya. Tapi sayang, potensi tambang
yang begitu luas justru menjadi lahan kepentingan bagi pejabat dan perusahaan
tertentu untuk mengorek hasil perut bumi. Sejumlah perusahaan yang
melakukan eksplorasi tambang di daerah ini sontak menjadi kaya, mengingat
isi kandungan perut bumi untuk tambang emas di Sumatera Utara jumlahnya
luar biasa.
Pernyataannya
sekarang adalah, ke mana hasil keuntungan tambang tersebut? Apakah rakyat
kita merasakan keuntungan tambang itu? Barang kali kita masih ingat
tragedi warga Naga Juang di Kabupaten Mandailing Natal (Madina),
masyarakat tetap memperjuangkan hak-haknya sebagai warga yang berdomisili
di daerah itu. Tapi justru tindakan oknum aparat menjadi penghalang warga.
Masyarakat
Naga Juang malah diintimidasi dan dilarang melakukan penambangan di
daerah ini. PT Sorikmas Mining sebagai perusahaan yang memperoleh izin
kontrak karya sejak tahun 1998 di areal 55.000 hektare, justru terganggu
dengan hadirnya penambang ilegal yang ada di areal Sorikmas Mining.
Lantas siapakah yang salah? Padahal, warga setempat yang tinggal di Naga
Juang sudah puluhan tahun menggantungkan nasib di areal pertambangan
tersebut.
Sikap
arogansi perusahaan ini mencuat setelah perusahaan memakai aparat dan
mengusir warga untuk tidak melakukan penambangan di areal Sorikmas
Mining. Konflik pun tidak terelakkan antara oknum aparat dan warga
setelah saling mempertahankan kekuasaannya. Warga Naga Juang jika dilihat
secara defactotentu memiliki kewenangan, karena lahan yang ada di daerah
itu adalah tempat mencari nafkah warga selama puluhan tahun silam.
Namun jika
dilihat dari sisi lain, secara dejure perusahaan tambang Sorikmas Mining
memiliki izin eksplorasi untuk melakukan penambangan di areal tersebut.
Sungguh paradoks, konflik yang terjadi tidak lagi memandang mana yang sah
dan mana yang tidak sah. Keduanya memiliki pertalian erat, karena saya
melihat keduanya sudah memiliki kepentingan berbeda.
Warga ingin
menghidupi keluarganya dari tambang, sementara perusahaan mengangkat
hasil perut bumi ini untuk mencari untung sebesar-besarnya. Berbeda
kepentingan ini menjadi dua kelompok berseteru pecah kongsi dalam
mengelola hasil tambang di Madina. Jika merujuk data Badan Kesbang
Polinmas Sumut bersama Komunitas Intelijen Daerah Sumut tahun 2012,
ternyata Sumatera Utara memiliki 183 titik rawan konflik.
Ironisnya
dari jumlah tersebut, sebanyak 129 potensi konflik berasal dari sumber
daya alam, termasuk di dalamnya potensi tambang yang ada di beberapa
daerah. Jumlah ini memang mengejutkan, apalagi potensi konflik yang
terjadi berasal dari perut bumi. Masalahnya sekarang, bagaimana kita
memperkecil potensi konflik tersebut menjadi potensi yang memberikan
keuntungan kepada masyarakat?
Konflik yang
terjadi di areal Sorikmas Mining ini merupakan bagian kecil dari rentetan
konflik pertambangan yang ada di Sumatera Utara. Mungkin kita masih ingat
konflik pertambangan emas Martabe yang ada di Batangtoru, Tapanuli
Selatan. Konflik ini pemicunya karena rakyat tidak diberi kesempatan
bekerja di perusahaan tersebut. Bahkan, masyarakat samasekali tidak
diberi peluang untuk bekerja di perusahaan itu.
Meredam Konflik
Perusahaan
apapun ketika membuka pertambangan untuk melakukan eksplorasi tentu tidak
menginginkan konflik. Konflik yang berkepanjangan dipastikan mengganggu
operasional perusahaan untuk tahapan produksi. Hemat saya, ada strategi
untuk meredam konflik, setidaknya memperkecil konflik antara perusahaan
dan masyarakat. Sejatinya pengusaha, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus dipanggil duduk bersamasama.
Pertama,
pengusaha. Pihak yang sangat dirugikan dalam hal finansial tentu
pengusaha. Untuk itu, pengusaha harus tahu diri dan menjelaskan secara
perinci bagaimana visi dan misi perusahaan untuk melakukan eksplorasi
tambang. Pengusaha juga harus tahu diri bahwa masyarakat setempat
merupakan bagian stakeholder untuk menyukseskan eksplorasi tambang.
Dengan
demikian, pengusaha memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk ikut serta
membangun eksplorasi tersebut. Secara singkat masyarakat harus dilibatkan
dalam membantu pengusaha. Kedua, pemerintah daerah. Sebagai lembaga yang
mengeluarkan rekomendasi eksplorasi lahan tambang, seharusnya
pemerintahan melibatkan masyarakat untuk duduk bersama.
Hal yang
terpenting adalah pelibatan masyarakat sebagai pekerja lokal
sebanyak-banyaknya. Selama ini yang terjadi karena pemerintah daerah
mengabaikan unsur tersebut, sehingga konflik sulit dielakkan. Ketika
sebuah perusahaan masuk ke suatu daerah, yang dipertanyakan tokoh dan
warga masyarakat adalah tentang keberpihakan perusahaan kepada masyarakat
lokal.
Akankah
perusahaan ini membawa manfaat kepada masyarakat lokal? Apa yang terjadi
selama ini akibat mandulnya komunikasi antara tiga unsur tersebut. Antara
pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha saling menyalahkan.
Pengelolaan potensi konflik seperti ini tidak dikelola sedemikian rupa,
sehingga konflik yang terjadi sering berbuah pada kerusuhan yang
merenggut korban jiwa, baik dari pihak aparat maupun dari masyarakat.
Fakta yang
terjadi di Madina misalnya, saat ini ribuan aktivitas pertambangan ilegal
masih marak. Pemerintah daerah belum bersikap tegas. Coba kita bayangkan
bahwa aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kontrak
Karya PT Sorikmas Mining semakin marak, khususnya di Kecamatan Naga
Juang. Di areal ini justru terjadi penambangan liar yang jumlahnya sangat
banyak.
Masyarakat
kita tidak tahu yang mana areal milik perusahaan dan mana milik
masyarakat. Kegiatan penambangan liar ini sangat merugikan semua pihak,
khususnya bagi PT Sorikmas Mining. Sudah jutaan dolar telah dikeluarkan
perusahaan ini untuk melakukan eksplorasi, namun wilayah kontrak karya
Sorikmas Mining masih dirambah penambang liar. Dengan maraknya kegiatan
penambangan liar ini, tidak saja perusahaan tambang yang dirugikan.
Pemerintah
dan masyarakat sekitar akan merasakan kerugian. Pemerintah tidak akan
mendapatkan setoran pajak, royalti, dan setoran retribusi yang sah dari
para penambang liar. Lingkungan juga tercemar dan masyarakat merasakan
dampak negatifnya. Saat ini lahan-lahan yang dilubangi penambang liar
dibiarkan terbuka dan ketika hujan tiba akibatnya terjadi erosi tanah.
Hal yang sangat merugikan kita semua bahwa sungai-sungai yang berada di
sekitar, seperti Aek Gajah menjadi keruh.
Belum lagi
ditambah dengan perilaku buruk penambang liar yang membuang sampah dan
limbah kotoran manusia secara sembarangan ke Aek Gajah. Padahal Aek Gajah
merupakan sumber air utama masyarakat Kecamatan Naga Juang untuk
keperluan mencuci, mandi, dan air minum. Saat ini ada puluhan lubang
penambangan liar, ratusan penambang liar termasuk yang berasal dari Pulau
Jawa, puluhan kilang galundung terdapat di Kecamatan Naga Juang dan
sekitarnya.
Akhirnya
secara pribadi saya khawatir jika tidak ada tindakan penegakan hukum,
bukan mustahil jumlah penambang liar, portir, dan pekerja galundung akan semakin
bertambah dan keadaannya semakin sulit untuk dikendalikan. Sekali lagi
yang merasakan kerugian berada di pihak pemerintah daerah, pengusaha, dan
masyarakat. Solusinya harus duduk bersama antara tiga elemen tersebut.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar