Ketika
ludah itu disemburkan ke wajah guru, sekolah itu menjadi gempar dan gaduh
riuh. Mengapa yang meludahi, yang selama ini dikenal cukup santun meski
bila bicara apa adanya apalagi bila mengkritik yang tidak benar,
tega
meludahinya di depan murid-murid apalagi di sekolahan yang termasyhur
mengajarkan bagaimana rasionalitas akal budi harus jadi pandu perilaku
dan tindakan? Belum lagi kepala guru datang bergegas, tiba-tiba kepalan
tangan berlanjut meninju guru yang diludahi itu hingga darah menetes dari
hidungnya.
Mengapa
ledakan dendam yang menurut Freud telah masuk mengeram di bawah sadar
sekian waktu kini diledakkan dalam tindakan meludahi dan memukul hidung
sang guru lain? Korbankah ia? Ketika murid-murid mulai bergerak untuk
memisahkan mereka, tiba-tiba rentetan peristiwa ini berhenti mendadak
seperti film yang tersedak rohnya lalu mati.
Huh, ternyata
hanya mimpi! Si peludah bangun menggosokgosok mata yang masih mengantuk
lalu tersenyum sendiri dan bersyukur karena kejadiannya hanya mimpi. Ia
lega karena tidak sungguh-sungguh jadi meludahi dan memukul tangan si
guru itu. Sebab bila benar terjadi, dua hal akan langsung disebarkan.
Yang pertama,
ia dituduh pelaku kekerasan, padahal di sekolah itu dikhotbahkan terus
moralitas kasih dan etika damai. Yang kedua, analisis psikis Freud memang
sedang menjadi minatnya ketika mimpi dipandang sebagai keinginan obsesif
yang tidak dapat disalurkan di alam nyata karena tata superego yang
melarang tindak kekerasan apalagi menyakiti sesama meskipun balas dendam
mempermalukan akan diwujudkan dalam tindakan balik mempermalukan pula.
Mimpi di atas
adalah petunjuk bahwa alam sadar oleh kesantunan dan superego sosial atau
“adat mempermalukan harus sopan” kerap kali hanya bagian permukaan es
terapung di atas air. Di bawahnya tersimpan alam bawah sadar yang tiap
kali mau agresif diletuskan, tetapi lagilagi dicegah oleh superego yang
berkata “jangan lakukan” hingga akhirnya keluar dan terwujud dalam alam
mimpi yang melegakan karena bisa lepas dan keluar!
Maka, menurut
Freud, nurani itu negatif cirinya karena ia itu superego, hunjaman,
introjeksi hukum, norma, dan aturan yang dihunjamkan ke manusia “kecil”
balita yang belum mampu memakai kesadarannya untuk memilah yang baik dan
yang buruk. Karena itu pula Freud menengarai pentingnya fungsi kesadaran
untuk membereskan “gudang bawah sadar” yang menyimpan kemarahan, dendam,
mau menghantam tak bisa karena aturan sopan apalagi hasrat menghancurkan
lawan yang mempermalukan berikut pengalaman-pengalaman traumatik orang di
usia dininya.
Peran mimpi
itu membuat sehat struktur pribadi psikis orang karena meleluasakan,
membuatnya terlaksana balas dendam sakit dan luka batin hingga gudang
bawah sadar terkurangi isinya. Hasrat untuk hidup, yang berarti harus
berjuang demi kelangsungannya (survival),
merupakan erosyang memberi daya pelihara dan rawat pada kehidupan. Oleh
Freud ini adalah life culture.
Apa artinya?
Untuk Freud, kebudayaan itu “ambigu”,
mendua, yang satu sumber daya perawat kehidupan, adapun yang lain adalah
penghancur atau perusak kehidupan sampai mematikan hidup itu sendiri.
Inilah death culture yang
bersumber pada tanathos.
Karena
kebudayaan di mata Freud itu “berwujud dua”, maka pertanyaan berikut yang
muncul adalah siapa sesama atau orang lain bagi si ego?
Freud memulai
dengan contoh keponakannya yang masih balita sedang becermin. Setiap kali
si anak menatap cermin dan mulai berbahasa sambil menyadari ada dia yang
lain di cermin, ia sekaligus masih bingung kok sama rupa dan sama wajah.
Pokok ini diperdalam fase cermin anak oleh Jacques Lacan dan jadilah
bahasa menjadi penempat yang lainatausesamasebagai alterego.
Menarik
sekali menaruhnya dalam fenomena meniadakan eksistensi yang lain atau
sesama dengan mendiamkannya, tidak menyapanya dalam bahasa. Coba lihat
“orang lain” yang dibenci atau sedang dianggap tidak ada maka tidak
diajak bicara, tidak disapa. Dalam kultur Jawa lebih membunuh eksistensi
orang lain itu dalam fenomena jothakan: mendiamkan saat ketemu dan
meniadakannya dengan tidak mengajaknya bicara. Sebuah proses bahasa yang
meniadakan adanya sesama.
Apakah ini
dendam yang diungkapkan dengan bahasa mengacuhkan? Apakah ini mekanisme
psikis melalui bahasa untuk “menghukum balas orang lain”? Banyak orang
tidak tahan didiamkan karena tidak diberi perhatian, tidak disapa,
ditiadakan. Di balik peniadaan bahasa sapa atau penghentian perhatian ke
orang lain bila terjadi dalam masyarakat publik akan memunculkan masalah
“apatisme sosial” yang akut.
Apalagi kalau
yang diabaikan adalah para pejabat publik yang sudah mengecewakan publik
karena perbaikan keadilan, kesejahteraan tidak kunjung datang. Puncak
apatisme publik pada pemangku jabatan adalah distrust, tidak memercayai
mereka lagi karena seharusnya pelayanan publik merupakan amanah yang tiap
pemilu diberikan oleh masyarakat dengan memilih mereka secara tulus.
Namun,
ternyata janjijanji kesejahteraan tetap omong kosong dan pameran
kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga serta partai politik menjadi
tontonan hasilhasil korupsi. Lalu dibentuklah KPK, semula distrustmulai
berproses menjadi trust kembali. Namun bila politisasi KPK yang diharap
akan memulihkan praktik negara kesejahteraan tetap tidak terwujud, hal
itu akan berdampak pada membekunya kembali apatisme yang di satu pihak
diam mencatat di hati dengan skeptis dan kesangsian akan perbaikan.
Di pihak
lain, mempertanyakan dalam diam ke diri sendiri barangkali harapan
(ekspektasi) perbaikan terlalu besar. Akhirnya, ditaruhlah sikap cuek dan
mendiamkan itu ke bawah sadar. Kadang dilarikan ke alam mimpi hingga
muncul ludah-meludahi serta hasrat meninju sesama hingga berdarah- darah
dalam “mimpi”. Mekanisme ini membuat bisa bertahannya keseimbangan psikis
masyarakat.
Namun bila
ditumpukan dendam atau beban tak terbendung begitu penuhnya akan “meledak
keluar” dalam anarki amuk yang kacau atau aksi menghukum anarkistis. Sisi
lain, di saat ada kesempatan seperti Pemilu 2014 nanti massa akan
menghukum dengan tidak memilih mereka atau menjadi golput sebagai
lanjutan sikap menganggap tidak adanya pemilu atau siapa pun calon-calon
pejabat. Sebelum terlambat, bukankah lebih baik kita sadari persoalan
bangsa ini dengan menatap cermin pilihan antara death culture atau life
culture. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar