Jumat, 12 April 2013

Mekanisme Psikis “Survival”


Mekanisme Psikis “Survival”
Mudji Sutrisno ;  Guru Besar STF Driyarkara & Universitas Indonesia, Budayawan
KORAN SINDO, 12 April 2013
  

Ketika ludah itu disemburkan ke wajah guru, sekolah itu menjadi gempar dan gaduh riuh. Mengapa yang meludahi, yang selama ini dikenal cukup santun meski bila bicara apa adanya apalagi bila mengkritik yang tidak benar, 

tega meludahinya di depan murid-murid apalagi di sekolahan yang termasyhur mengajarkan bagaimana rasionalitas akal budi harus jadi pandu perilaku dan tindakan? Belum lagi kepala guru datang bergegas, tiba-tiba kepalan tangan berlanjut meninju guru yang diludahi itu hingga darah menetes dari hidungnya. 

Mengapa ledakan dendam yang menurut Freud telah masuk mengeram di bawah sadar sekian waktu kini diledakkan dalam tindakan meludahi dan memukul hidung sang guru lain? Korbankah ia? Ketika murid-murid mulai bergerak untuk memisahkan mereka, tiba-tiba rentetan peristiwa ini berhenti mendadak seperti film yang tersedak rohnya lalu mati. 

Huh, ternyata hanya mimpi! Si peludah bangun menggosokgosok mata yang masih mengantuk lalu tersenyum sendiri dan bersyukur karena kejadiannya hanya mimpi. Ia lega karena tidak sungguh-sungguh jadi meludahi dan memukul tangan si guru itu. Sebab bila benar terjadi, dua hal akan langsung disebarkan. 

Yang pertama, ia dituduh pelaku kekerasan, padahal di sekolah itu dikhotbahkan terus moralitas kasih dan etika damai. Yang kedua, analisis psikis Freud memang sedang menjadi minatnya ketika mimpi dipandang sebagai keinginan obsesif yang tidak dapat disalurkan di alam nyata karena tata superego yang melarang tindak kekerasan apalagi menyakiti sesama meskipun balas dendam mempermalukan akan diwujudkan dalam tindakan balik mempermalukan pula. 

Mimpi di atas adalah petunjuk bahwa alam sadar oleh kesantunan dan superego sosial atau “adat mempermalukan harus sopan” kerap kali hanya bagian permukaan es terapung di atas air. Di bawahnya tersimpan alam bawah sadar yang tiap kali mau agresif diletuskan, tetapi lagilagi dicegah oleh superego yang berkata “jangan lakukan” hingga akhirnya keluar dan terwujud dalam alam mimpi yang melegakan karena bisa lepas dan keluar! 

Maka, menurut Freud, nurani itu negatif cirinya karena ia itu superego, hunjaman, introjeksi hukum, norma, dan aturan yang dihunjamkan ke manusia “kecil” balita yang belum mampu memakai kesadarannya untuk memilah yang baik dan yang buruk. Karena itu pula Freud menengarai pentingnya fungsi kesadaran untuk membereskan “gudang bawah sadar” yang menyimpan kemarahan, dendam, mau menghantam tak bisa karena aturan sopan apalagi hasrat menghancurkan lawan yang mempermalukan berikut pengalaman-pengalaman traumatik orang di usia dininya. 

Peran mimpi itu membuat sehat struktur pribadi psikis orang karena meleluasakan, membuatnya terlaksana balas dendam sakit dan luka batin hingga gudang bawah sadar terkurangi isinya. Hasrat untuk hidup, yang berarti harus berjuang demi kelangsungannya (survival), merupakan erosyang memberi daya pelihara dan rawat pada kehidupan. Oleh Freud ini adalah life culture. 

Apa artinya? Untuk Freud, kebudayaan itu “ambigu”, mendua, yang satu sumber daya perawat kehidupan, adapun yang lain adalah penghancur atau perusak kehidupan sampai mematikan hidup itu sendiri. Inilah death culture yang bersumber pada tanathos.
Karena kebudayaan di mata Freud itu “berwujud dua”, maka pertanyaan berikut yang muncul adalah siapa sesama atau orang lain bagi si ego? 
Freud memulai dengan contoh keponakannya yang masih balita sedang becermin. Setiap kali si anak menatap cermin dan mulai berbahasa sambil menyadari ada dia yang lain di cermin, ia sekaligus masih bingung kok sama rupa dan sama wajah. Pokok ini diperdalam fase cermin anak oleh Jacques Lacan dan jadilah bahasa menjadi penempat yang lainatausesamasebagai alterego. 

Menarik sekali menaruhnya dalam fenomena meniadakan eksistensi yang lain atau sesama dengan mendiamkannya, tidak menyapanya dalam bahasa. Coba lihat “orang lain” yang dibenci atau sedang dianggap tidak ada maka tidak diajak bicara, tidak disapa. Dalam kultur Jawa lebih membunuh eksistensi orang lain itu dalam fenomena jothakan: mendiamkan saat ketemu dan meniadakannya dengan tidak mengajaknya bicara. Sebuah proses bahasa yang meniadakan adanya sesama. 

Apakah ini dendam yang diungkapkan dengan bahasa mengacuhkan? Apakah ini mekanisme psikis melalui bahasa untuk “menghukum balas orang lain”? Banyak orang tidak tahan didiamkan karena tidak diberi perhatian, tidak disapa, ditiadakan. Di balik peniadaan bahasa sapa atau penghentian perhatian ke orang lain bila terjadi dalam masyarakat publik akan memunculkan masalah “apatisme sosial” yang akut. 

Apalagi kalau yang diabaikan adalah para pejabat publik yang sudah mengecewakan publik karena perbaikan keadilan, kesejahteraan tidak kunjung datang. Puncak apatisme publik pada pemangku jabatan adalah distrust, tidak memercayai mereka lagi karena seharusnya pelayanan publik merupakan amanah yang tiap pemilu diberikan oleh masyarakat dengan memilih mereka secara tulus. 

Namun, ternyata janjijanji kesejahteraan tetap omong kosong dan pameran kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga serta partai politik menjadi tontonan hasilhasil korupsi. Lalu dibentuklah KPK, semula distrustmulai berproses menjadi trust kembali. Namun bila politisasi KPK yang diharap akan memulihkan praktik negara kesejahteraan tetap tidak terwujud, hal itu akan berdampak pada membekunya kembali apatisme yang di satu pihak diam mencatat di hati dengan skeptis dan kesangsian akan perbaikan. 

Di pihak lain, mempertanyakan dalam diam ke diri sendiri barangkali harapan (ekspektasi) perbaikan terlalu besar. Akhirnya, ditaruhlah sikap cuek dan mendiamkan itu ke bawah sadar. Kadang dilarikan ke alam mimpi hingga muncul ludah-meludahi serta hasrat meninju sesama hingga berdarah- darah dalam “mimpi”. Mekanisme ini membuat bisa bertahannya keseimbangan psikis masyarakat. 

Namun bila ditumpukan dendam atau beban tak terbendung begitu penuhnya akan “meledak keluar” dalam anarki amuk yang kacau atau aksi menghukum anarkistis. Sisi lain, di saat ada kesempatan seperti Pemilu 2014 nanti massa akan menghukum dengan tidak memilih mereka atau menjadi golput sebagai lanjutan sikap menganggap tidak adanya pemilu atau siapa pun calon-calon pejabat. Sebelum terlambat, bukankah lebih baik kita sadari persoalan bangsa ini dengan menatap cermin pilihan antara death culture atau life culture. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar