Selasa, 02 April 2013

Matikan Televisimu Jelang Pemilu


Matikan Televisimu Jelang Pemilu
Nurudin  ;  Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Pegiat Gerakan Media Literacy 
JAWA POS, 01 April 2013
  

TELEVISI dan politik sama-sama dibutuhkan masyarakat. Saat ini dua instrumen itu memengaruhi segenap kehidupan masyarakat, apalagi menjelang pemilu. Politik berurusan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara atau bagaimana mengelola negara, sementara televisi menjadi daya tarik sebagai reflektor dinamika politik. Politik tanpa televisi ibarat keinginan tanpa nafsu, televisi tanpa politik ibarat makan pecel tanpa sambel. Televisi semestinya memediasi kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.

Kekuatan televisi itu kemudian justru dimanfaatkan (atau disalahgunakan) orang-orang tertentu untuk tujuan politik. Satu persoalan yang mencekam dari televisi ketika sudah ada koalisi dengan politik adalah soal isi atau kontennya. Bahasa dan tayangan yang ditampilkan televisi harus dipahami sarat kepentingan. Ini penting diketahui agar kita tidak "sakit hati" ketika menyaksikan tayangan televisi yang berat sebelah, memihak, atau memojokkan pihak-pihak tertentu.

Dalam kacamata Michael Foucault, bahasa tidak pernah netral, penuh dengan muatan-muatan tertentu. "Language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other" (Syahputra, 2013). Dengan kata lain, bahasa-bahasa, tayangan yang dihasilkan televisi tidak berdiri sendiri. Ada lingkup yang memengaruhi proses produksi pesan televisi. 

Membicarakan isi media kita bisa memakai pendekatan ekonomi politik media (political economy approach). Maknanya, isi media dengan pesan-pesan yang dihasilkan itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. 

Di luar pengelola media, ada faktor pemilik media dan modal yang menentukan isi media televisi. Semua faktor ini menentukan bagaimana isi media dipilih, kecenderungan mendukung, mementingkan siapa, bagaimana media diarahkan untuk kepentingan pemilik media dan modal sangat transparan. Bagi pemilik media, berbagai upaya akan dilakukan karena dia mempunyai modal dan kuasa. 

Yang sangat berbahaya adalah ketika pemilik modal yang berkuasa atas media tersebut juga terlibat langsung dalam politik. Di satu sisi televisi sudah diimpit kepentingan pemilik modal dari segi ekonomi, sementara itu ia harus mengalokasikan waktu untuk menyiarkan berbagai peristiwa politik yang tentu berkaitan dengan pemilik tersebut.

Sebenarnya, mereka yang terjun ke dunia politik sangat berkepentingan dengan televisi, tidak hanya para pemilik modal. Bagi dunia politik, televisi diperlukan untuk memperluas jangkauan kesan dan citra ke masyarakat. Media diperlukan karena hanya merekalah yang bisa memengaruhi secara cepat kepentingan politiknya di masyarakat. Jadi, tidak ada sejarahnya sebuah cita-cita politik tidak memerlukan media. Asal politisi dan partai politik itu mempunyai uang dia akan menyebarkannya melalui media televisi.

Karena tujuannya adalah penyebaran citra, ideologi, dan kesan tertentu, tidak ada pertimbangan apakah pesan yang dikemukakan itu berguna bagi masyarakat atau tidak. Apakah informasi itu fakta-fakta sebenarnya atau tidak. Itu tidak jadi soal. Yang penting apa yang diinginkannya disiarkan media televisi. Jadi, kepentingan pada tujuan mengalahkan segalanya.

Tak heran pula jika banyak partai politik memerlukan artis untuk mendongkrak suara, karena kemampuan artis menarik perhatian televisi. Sebab, apa pun yang dilakukan seorang artis akan menarik perhatian. Kalau dibahasakan secara sederhana, potong kuku saja diberitakan oleh televisi.

Kolusi yang kuat antara kepentingan ekonomi politik media massa itu menghasilkan wacana media yang cenderung membodohi masyarakat. Sebab, wacana televisi sudah di-setting sedemikian rupa. Mengapa kisruh Partai Demokrat menarik perhatian semua televisi? Mengapa kasus impor daging sapi dikerubuti semua televisi? Tetapi, mengapa kabar konflik di partai baru dihindari televisi tertentu? Mengapa skandal korupsi Alquran yang membuat geram tak diberitakan televisi tertentu? Semua ada setting-nya.

Karena itu, mematikan televisi itu sebuah pilihan bijak. Mengapa? Televisi telah menjadi mantra menakjubkan sehingga banyak orang melihat acara tontonan dengan tidak mempertimbangkan apakah itu berguna atau tidak, sehat atau tidak. Pokoknya menonton televisi! Apalagi jika televisi itu bisa mewakili kepentingannya, misalnya dimiliki partai yang dia pilih. 

Televisi juga menanamkan sebuah kepentingan di benak pemirsa. Dalam kajian komunikasi massa disebut dengan istilah cultivation theory. Artinya, apa yang dilihat pada televisi itu dianggap kenyataan yang sebenarnya. Padahal, politik yang disiarkan televisi bisa disebabkan sebuah pencitraan semata, bukan?

Jadi, tidak usah bingung dengan acara-acara televisi yang bernuansa kepentingan politik. Lebih baik matikan televisinya. Tidak perlu risau dengan hiruk pikuknya. Semua sudah ada yang mengatur atau diatur sendiri oleh pemangku kepentingan politik. 

Selamat Hari Penyiaran Nasional Ke-80, 1 April, hari ini. Semoga demokratisasi penyiaran bukan cita-cita mati. Ingat, frekuensi yang digunakan televisi adalah milik publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar