TELEVISI dan politik
sama-sama dibutuhkan masyarakat. Saat ini dua instrumen itu memengaruhi
segenap kehidupan masyarakat, apalagi menjelang pemilu. Politik berurusan
dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara atau bagaimana
mengelola negara, sementara televisi menjadi daya tarik sebagai reflektor
dinamika politik. Politik tanpa televisi ibarat keinginan tanpa nafsu,
televisi tanpa politik ibarat makan pecel tanpa sambel. Televisi
semestinya memediasi kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.
Kekuatan
televisi itu kemudian justru dimanfaatkan (atau disalahgunakan)
orang-orang tertentu untuk tujuan politik. Satu persoalan yang mencekam
dari televisi ketika sudah ada koalisi dengan politik adalah soal isi
atau kontennya. Bahasa dan tayangan yang ditampilkan televisi harus
dipahami sarat kepentingan. Ini penting diketahui agar kita tidak
"sakit hati" ketika menyaksikan tayangan televisi yang berat
sebelah, memihak, atau memojokkan pihak-pihak tertentu.
Dalam kacamata Michael Foucault, bahasa tidak pernah netral, penuh
dengan muatan-muatan tertentu. "Language
as a discourse is never neutral and is always laden with rules,
privileging a particular group while excluding other" (Syahputra, 2013). Dengan kata
lain, bahasa-bahasa, tayangan yang dihasilkan televisi tidak berdiri
sendiri. Ada lingkup yang memengaruhi proses produksi pesan televisi.
Membicarakan isi media kita bisa memakai pendekatan ekonomi politik
media (political economy approach). Maknanya, isi media dengan
pesan-pesan yang dihasilkan itu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi
dan politik di luar pengelolaan media.
Di luar pengelola media, ada faktor pemilik media dan modal yang
menentukan isi media televisi. Semua faktor ini menentukan bagaimana isi
media dipilih, kecenderungan mendukung, mementingkan siapa, bagaimana
media diarahkan untuk kepentingan pemilik media dan modal sangat transparan.
Bagi pemilik media, berbagai upaya akan dilakukan karena dia mempunyai
modal dan kuasa.
Yang sangat berbahaya adalah ketika pemilik modal yang berkuasa
atas media tersebut juga terlibat langsung dalam politik. Di satu sisi
televisi sudah diimpit kepentingan pemilik modal dari segi ekonomi,
sementara itu ia harus mengalokasikan waktu untuk menyiarkan berbagai
peristiwa politik yang tentu berkaitan dengan pemilik tersebut.
Sebenarnya, mereka yang terjun ke dunia politik sangat
berkepentingan dengan televisi, tidak hanya para pemilik modal. Bagi
dunia politik, televisi diperlukan untuk memperluas jangkauan kesan dan
citra ke masyarakat. Media diperlukan karena hanya merekalah yang bisa
memengaruhi secara cepat kepentingan politiknya di masyarakat. Jadi, tidak
ada sejarahnya sebuah cita-cita politik tidak memerlukan media. Asal
politisi dan partai politik itu mempunyai uang dia akan menyebarkannya
melalui media televisi.
Karena tujuannya adalah penyebaran citra, ideologi, dan kesan
tertentu, tidak ada pertimbangan apakah pesan yang dikemukakan itu
berguna bagi masyarakat atau tidak. Apakah informasi itu fakta-fakta
sebenarnya atau tidak. Itu tidak jadi soal. Yang penting apa yang
diinginkannya disiarkan media televisi. Jadi, kepentingan pada tujuan
mengalahkan segalanya.
Tak heran pula jika banyak partai politik memerlukan artis untuk
mendongkrak suara, karena kemampuan artis menarik perhatian televisi.
Sebab, apa pun yang dilakukan seorang artis akan menarik perhatian. Kalau
dibahasakan secara sederhana, potong kuku saja diberitakan oleh televisi.
Kolusi yang kuat antara kepentingan ekonomi politik media massa itu
menghasilkan wacana media yang cenderung membodohi masyarakat. Sebab,
wacana televisi sudah di-setting sedemikian
rupa. Mengapa kisruh Partai Demokrat menarik perhatian semua televisi?
Mengapa kasus impor daging sapi dikerubuti semua televisi? Tetapi,
mengapa kabar konflik di partai baru dihindari televisi tertentu? Mengapa
skandal korupsi Alquran yang membuat geram tak diberitakan televisi tertentu?
Semua ada setting-nya.
Karena itu, mematikan televisi itu sebuah pilihan bijak. Mengapa?
Televisi telah menjadi mantra menakjubkan sehingga banyak orang melihat
acara tontonan dengan tidak mempertimbangkan apakah itu berguna atau
tidak, sehat atau tidak. Pokoknya menonton televisi! Apalagi jika
televisi itu bisa mewakili kepentingannya, misalnya dimiliki partai yang
dia pilih.
Televisi juga menanamkan sebuah kepentingan di benak pemirsa. Dalam
kajian komunikasi massa disebut dengan istilah cultivation theory.
Artinya, apa yang dilihat pada televisi itu dianggap kenyataan yang
sebenarnya. Padahal, politik yang disiarkan televisi bisa disebabkan
sebuah pencitraan semata, bukan?
Jadi, tidak usah bingung dengan acara-acara televisi yang bernuansa
kepentingan politik. Lebih baik matikan televisinya. Tidak perlu risau
dengan hiruk pikuknya. Semua sudah ada yang mengatur atau diatur sendiri
oleh pemangku kepentingan politik.
Selamat Hari Penyiaran Nasional Ke-80, 1 April, hari ini. Semoga
demokratisasi penyiaran bukan cita-cita mati. Ingat, frekuensi yang
digunakan televisi adalah milik publik. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar