Jumat, 12 April 2013

Diplomasi Efektif di Aceh


Diplomasi Efektif di Aceh
Ferry Ferdiansyah  ;  Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercubuana
Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi
SUARA KARYA, 12 April 2013
  

Pada 22 Maret 2013, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), melalui Sidang Paripurna II, telah menetapkan Lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menjadi bendera Pemprov Aceh. Seperti penulis ketahui, Qanun Bendera dan Lambang NAD merupakan inisiatif DPRA.

Ketetapan ini diperkuat dengan adanya pernyataan dari Gubernur NAD Zaini Abdullah, 25 Maret 2013, yang menegaskan, qanun telah resmi diberlakukan dan telah ditempatkan sebagai Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor 49. Alasannya, kewenangan ini sesuai dengan Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement (MoU Helsinki) dan UU No 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh (UUPA).

Adanya penolakan oleh sebagian masyarakat Aceh dan pemerintah pusat, tampaknya tak dihiraukan DPRA. Ini terlihat dari pernyataannya yang memberikan dukungan terhadap kebijakan gubernur soal bendera. Dengan demikian, jawaban yang ditunggu Mendagri dari hasil evaluasi Qanun oleh DPRA sudah jelas, bahwa DPR setempat menolak merevisi bendera dan lambang daerah.

Penilaian penulis, meski secara yuridis ketetapan ini memiliki kekuatan hukum dengan adanya pengakuan dari pemerintah daerah, bisa saja ketetapan ini dibatalkan karena dikhawatirkan dapat menciptakan kembali konflik di Serambi Mekah yang berujung kerugian pada masyarakat Aceh.
Penolakan atas penggunaan atribut GAM, dilatarbelakangi kekhawatiran terjadinya kembali konflik di Aceh. GAM adalah lambang gerakan separatisme, trauma konflik yang pernah menyelimuti Serambi Mekah selama 30 tahun, belum juga hilang, disusul oleh gempa dan tsunami, mengakibatkan Aceh kehilangan segala-galanya.

Sejarah telah mengukir, tanah Rencong selama Pemerintahan Orde Baru berkuasa, telah menjadi Daerah Operasi Militer. Provinsi terbarat Indonesia dalam catatan sejarah bangsa ini, tercatat sejak zaman pendudukan Belanda, hingga tsunami melanda daerah itu 2004 silam.

Sangat wajar adanya kekhawatiran bagi rakyat Aceh pada khususnya pasca ketetapan ini. Hampir setiap hari diberitakan di berbagai media mengenai pengerahan massa pro dan kontra. Jika hal ini dibiarkan melarut-larut dapat dipastikan akan menjalar menjadi konflik horizontal. Efeknya, ekonomi Aceh yang belakangan terus membaik setelah kesepakatan damai RI-GAM ditandatangi di Helsinki, Finlandia, 2005 lalu, dapat dipastikan akan terganggu kembali.

Sebelumnya, pemerintah pusat telah mengantisipasi kepada NAD yang telah disampaikan pada 11 November 2012 lalu, dengan memberikan alternatif bendera dan lambang lain. Upaya ini diharapkan dapat menghindari polemik. Pasalnya, masih banyak qanun menyangkut kesejahteraan rakyat yang belum diselesaikan pemerintah NAD. Selama ini, bendera dan lambang lambang zaman Sultan Iskandar Muda, lebih memiliki nilai historis tersendiri bagi rakyat Aceh.

Di sisi lain, simbol tersebut merupakaan kebanggan rakyat Aceh di zaman kejayaaan Kerajaan Iskandar Muda. Sangat wajar, sebagian pihak bersikukuh menjadikan ikon ini sebagai bendera dan lambang Aceh sekarang, ketimbang bendera GAM. Sangat jelas bendera tersebut merupakan simbol perdamaian, serta jati diri dan identitas masyarakat Aceh.

Selama ini dikenal Aceh merupakan provinsi Indonesia dengan kekuatan otonomi yang lebih besar di penghujung Pulau Sumatera. Sangat disayangkan jika elite pemerintah daerah masih memaksakan keinginannya demi kepentingan nafsu politik sesaat yang pada akhirnya hanya merugikan rakyat Aceh.
Menyikapi masalah ini, Presiden SBY mengiginkan penyelesaian melalui jalur pendekatan diplomasi, bukan dengan kekuatan senjata. Langkah yang ditempuh Presiden SBY, bukan hanya memanggil gubernur, namun DPRA, ulama serta tokoh masyarakat Aceh juga ikut dipanggil dengan harapan mereka bisa memberikan penjelasan-penjelasan terkait aspirasi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Upaya ini ditempuh untuk mencegah timbulnya masalah baru. Karena, langkah mengibarkan bendera GAM dinilai sebagai suatu kemunduran yang dapat memicu kembali konflik terdahulu. Tak dapat dipungkiri, MoU Helsinski, merupakan prestasi penyelesaian konflik bersenjata di Aceh yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Pandangan Alumuni AKABRI 1973 sempat mengemuka bahwa persoalan lambang daerah tidak termasuk wilayah politik, melainkan ranah hukum yang dapat diselesaikan dengan undang-undang, dan ketentuan pemerintah yang berlaku. Tak heran, ia lebih memilih jalur humanis, ketimbang kekuatan militer seperti yang dilakukan pemerintah sebelumnya.

Keputusan ini sekaligus menunjukan keinginan dirinya menjadikan Indonesia berbeda dari sebelumnya, mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera. Kunci dari masa depan Indonesia terletak pada kapasitas untuk membangun dan menyebarkan soft power itu di antara masyarakat Indonesia.

Langkah soft power diplomacy yang ditempuh Presiden SBY, pertama kali dilontarkan dalam pidatonya di forum PBB dan Usindo, New York, 2007. Dirinya, melihat banyaknya konflik di dunia akhir-akhir ini sulit mencapai solusi damai. Alasannya, langkah penyelesaian masing-masing lebih mengandalkan penyelesaian melalui hard power ketimbang soft power.

Kini, bola ada di tangan Presiden untuk membuat keputusan, apakah akan membatalkan atau ada opsi-opsi lain. Dengan kemampuan negosiasi Presiden SBY dan image-nya sebagai tokoh yang konsisten mengedepankan soft power, kita berharap ada solusi brilian dari SBY soal bendera Aceh. Seperti, terobosan MoU dengan GAM 2005 lalu, yang mengakhiri konflik 30 tahun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar