Pada 22 Maret 2013, Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), melalui Sidang Paripurna II, telah menetapkan
Lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menjadi bendera Pemprov Aceh. Seperti
penulis ketahui, Qanun Bendera dan Lambang NAD merupakan inisiatif DPRA.
Ketetapan ini diperkuat
dengan adanya pernyataan dari Gubernur NAD Zaini Abdullah, 25 Maret 2013,
yang menegaskan, qanun telah resmi diberlakukan dan telah ditempatkan
sebagai Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 3 dan Tambahan Lembaran Aceh Nomor
49. Alasannya, kewenangan ini sesuai dengan Memorandum of Understanding Between The Government of The
Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement (MoU Helsinki) dan
UU No 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh (UUPA).
Adanya penolakan oleh
sebagian masyarakat Aceh dan pemerintah pusat, tampaknya tak dihiraukan
DPRA. Ini terlihat dari pernyataannya yang memberikan dukungan terhadap
kebijakan gubernur soal bendera. Dengan demikian, jawaban yang ditunggu
Mendagri dari hasil evaluasi Qanun oleh DPRA sudah jelas, bahwa DPR
setempat menolak merevisi bendera dan lambang daerah.
Penilaian penulis, meski secara
yuridis ketetapan ini memiliki kekuatan hukum dengan adanya pengakuan
dari pemerintah daerah, bisa saja ketetapan ini dibatalkan karena
dikhawatirkan dapat menciptakan kembali konflik di Serambi Mekah yang
berujung kerugian pada masyarakat Aceh.
Penolakan atas penggunaan
atribut GAM, dilatarbelakangi kekhawatiran terjadinya kembali konflik di
Aceh. GAM adalah lambang gerakan separatisme, trauma konflik yang pernah
menyelimuti Serambi Mekah selama 30 tahun, belum juga hilang, disusul
oleh gempa dan tsunami, mengakibatkan Aceh kehilangan segala-galanya.
Sejarah telah mengukir,
tanah Rencong selama Pemerintahan Orde Baru berkuasa, telah menjadi
Daerah Operasi Militer. Provinsi terbarat Indonesia dalam catatan sejarah
bangsa ini, tercatat sejak zaman pendudukan Belanda, hingga tsunami
melanda daerah itu 2004 silam.
Sangat wajar adanya
kekhawatiran bagi rakyat Aceh pada khususnya pasca ketetapan ini. Hampir
setiap hari diberitakan di berbagai media mengenai pengerahan massa pro
dan kontra. Jika hal ini dibiarkan melarut-larut dapat dipastikan akan
menjalar menjadi konflik horizontal. Efeknya, ekonomi Aceh yang
belakangan terus membaik setelah kesepakatan damai RI-GAM ditandatangi di
Helsinki, Finlandia, 2005 lalu, dapat dipastikan akan terganggu kembali.
Sebelumnya, pemerintah pusat
telah mengantisipasi kepada NAD yang telah disampaikan pada 11 November
2012 lalu, dengan memberikan alternatif bendera dan lambang lain. Upaya
ini diharapkan dapat menghindari polemik. Pasalnya, masih banyak qanun
menyangkut kesejahteraan rakyat yang belum diselesaikan pemerintah NAD.
Selama ini, bendera dan lambang lambang zaman Sultan Iskandar Muda, lebih
memiliki nilai historis tersendiri bagi rakyat Aceh.
Di sisi lain, simbol
tersebut merupakaan kebanggan rakyat Aceh di zaman kejayaaan Kerajaan
Iskandar Muda. Sangat wajar, sebagian pihak bersikukuh menjadikan ikon
ini sebagai bendera dan lambang Aceh sekarang, ketimbang bendera GAM.
Sangat jelas bendera tersebut merupakan simbol perdamaian, serta jati
diri dan identitas masyarakat Aceh.
Selama ini dikenal Aceh
merupakan provinsi Indonesia dengan kekuatan otonomi yang lebih besar di
penghujung Pulau Sumatera. Sangat disayangkan jika elite pemerintah
daerah masih memaksakan keinginannya demi kepentingan nafsu politik
sesaat yang pada akhirnya hanya merugikan rakyat Aceh.
Menyikapi masalah ini,
Presiden SBY mengiginkan penyelesaian melalui jalur pendekatan diplomasi,
bukan dengan kekuatan senjata. Langkah yang ditempuh Presiden SBY, bukan
hanya memanggil gubernur, namun DPRA, ulama serta tokoh masyarakat Aceh
juga ikut dipanggil dengan harapan mereka bisa memberikan
penjelasan-penjelasan terkait aspirasi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Upaya ini ditempuh untuk mencegah
timbulnya masalah baru. Karena, langkah mengibarkan bendera GAM dinilai
sebagai suatu kemunduran yang dapat memicu kembali konflik terdahulu. Tak
dapat dipungkiri, MoU Helsinski, merupakan prestasi penyelesaian konflik
bersenjata di Aceh yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Pandangan Alumuni AKABRI
1973 sempat mengemuka bahwa persoalan lambang daerah tidak termasuk
wilayah politik, melainkan ranah hukum yang dapat diselesaikan dengan
undang-undang, dan ketentuan pemerintah yang berlaku. Tak heran, ia lebih
memilih jalur humanis, ketimbang kekuatan militer seperti yang dilakukan
pemerintah sebelumnya.
Keputusan ini sekaligus
menunjukan keinginan dirinya menjadikan Indonesia berbeda dari
sebelumnya, mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera. Kunci dari
masa depan Indonesia terletak pada kapasitas untuk membangun dan
menyebarkan soft power itu di antara masyarakat Indonesia.
Langkah soft power diplomacy yang ditempuh Presiden SBY, pertama kali
dilontarkan dalam pidatonya di forum PBB dan Usindo, New York, 2007.
Dirinya, melihat banyaknya konflik di dunia akhir-akhir ini sulit
mencapai solusi damai. Alasannya, langkah penyelesaian masing-masing
lebih mengandalkan penyelesaian melalui hard power ketimbang soft
power.
Kini, bola ada di tangan
Presiden untuk membuat keputusan, apakah akan membatalkan atau ada
opsi-opsi lain. Dengan kemampuan negosiasi Presiden SBY dan image-nya sebagai tokoh yang
konsisten mengedepankan soft power,
kita berharap ada solusi brilian dari SBY soal bendera Aceh. Seperti,
terobosan MoU dengan GAM 2005 lalu, yang mengakhiri konflik 30 tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar